Petai belalang

spesies tumbuhan

Petai belalang, petai jawa, petai cina atau petai tiga bulan (nama botani: Leucaena leucocephala)[9][10] ialah sebuah pokok daripada keluarga kekacang yang ditemukan di kawasan tropika El Salvador, Guatemala dan Honduras di Amerika Tengah,[9] tetapi ia telah disebarkan ke Asia Tenggara di kawasabn terbiar dan pantai-pantai.[4][10]

Petai belalang
Petai jawa
Petai cina
Pengelasan saintifik
Alam:
(tanpa pangkat):
(tanpa pangkat):
(tanpa pangkat):
Order:
Keluarga:
Subkeluarga:
Tribus:
Genus:
Spesies:
L. leucocephala
Nama binomial
Leucaena leucocephala
Sinonim[8]
Senarai
    • Acacia glauca Willd.[2]
    • Acacia leucophala Link
    • Acacia leucocephala, Lam., 1783[3]
    • Leucaena glauca[4] (L.) Benth.[5][6]
    • Mimosa glauca L.[7] (misappl.)
    • Mimosa leucocephala Lam.
    • Mimosa leucophala Lam.

Ia adalah antara tumbuhan pemberi sumber protein terbaik untuk makanan lembu, dimakan segar, muda, matang, hijau ataupun kering. Nilai pemakanannya sama atau lebih elok jika dibandingkan dengan alfalfa. Pokok petai belalang semakin mendapat tempat dalam memulihkan tanah, mengawal hakisan, pemuliharaan air, penghutanan semula dan pengurusan tanah, dan baik sebagai tanaman penutup bumi dan tanaman baja hijau. Penggunaan daunnya sebagai sungkupan pada tanaman dikatakan berjaya meningkatkan hasil tanaman tersebut secara signifikan.[11]

Pokok petai belalang kini digunakan sebagai sumber biojisim bagi menjana tenaga untuk kilang-kilang di Kertih, Terengganu.[12][13] Cip kayu petai belalang dan pokok akasia akan digunakan dalam menjana tenaga untuk Taman Bio Polimer Kertih kelak.[14] Di sesetengah tempat di Indonesia bijinya dijadikan tempe.

Pengistilahan sunting

Nama petai jawa (Jawi: ڤتاي جاوا) digunakan di Semenanjung Melayu[9] dan Singapura.[10]

Nama petai cina (Jawi: ڤتاي چينا) digunakan di Riau.[15][16]

Nama petai tiga bulan (Jawi: ڤتاي تيݢ بولن) datang daripada tempoh lenggai-lenggainya masak.[4]

Tumbuhan ini juga dikenal dengan nama setempat rantau Nusantara lain seperti:[16]

  • pĕlĕnding, peuteuy sélong (Bahasa Sunda);
  • tembara/temboro, kemlandingan, mètir, lamtoro, lamtoro gung ("lamtoro besar" untuk varieti lebih besar, Bahasa Jawa);
  • kalandhingan, lantoro (Bahasa Madura).

Botani sunting

Pokok sunting

 
Daun-daun petai belalang.

Pokok petai belalang boleh tumbuh mencapai ketinggian sehingga 20 meter;[17] tetapi kebanyakan pokok petai hanya boleh tumbuh sekitar 2-10 meter.[18] Kulit kayunya b Dahan-dahannya rendah dan banyak, dengan kulit berwarna keperangan atau kekelabuan dengan permukaan yang berbintil-bintil terbuka. Ranting-rantingnya berbentuk bulat torak dengan hujung yang berbulu halus dan rapat.[9] Tumbuhan ini sukakan cahaya matahari.

Setangkai daun pokok terdiri daripada 3-10 pasang pelepah, sebatang pelepah ini mempunyai 5-20 pasang anak daun kecil yang berhadapan. Sehelai anak daun berbentuk runcing dengan ukuran 6-21 milimeter panjang dan 1-5 mm lebar, permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.[9][19] Pelepah-pelepah daun paling bawah pokok mempunyai kelenjar pada pangkalnya.[9][19]

Bunga dan buah sunting

Bunga petai belalang sangat kecil, sekuntum bunga terdiri daripada 5 kelopak berbentuk sudip dengan gigi pendek berukuran 3 milimeter lebar membentuk tabung berbentuk loceng dengan ukuran lebih kurang 5 mm, kuntum ini mempunyai 10 helai benang sari yang berukuran lebih kurang 1 sentimeter.[19] Kira-kira 100-180 kuntum bunga ini disusun dalam bongkol membentuk bola berwarna putih atau kekuningan dengan diameter 12–21 mm, satu jambak bunga petai belalang dibentuk daripada 2-6 bongkol yang tumbuh pada hujung tangkai sepanjang 2-5 sm.[15]

Petai belalang mekar pada malam hari dan menutup daunnya pada siang hari.[20]

Buah lenggainya lurus dan pipih dengan ruas biji menyerupai petai, namun ia berukuran lebih kecil dengan ukuran 14–26 sm panjang dan 2 cm lebar dan kulitnya lebih nipis.[21][18] Sepapan lenggai petai belalang mengandungi 15-30 biji benih yang berbentuk bujur[18] berukuran 6–10 mm panjang dan 3-4.5 mm lebar, biji-biji lenggai petai belalang berwarna perang tua dan pecah apabila masak.[9][19] Rasa bijinya pahit dan neutral.

Pemanfaatan sunting

Perhutanan sunting

 
Pemanfaatan petai belalang sebagai peneduh tanaman koko (1910)

Sejak lama petai belalang telah dimanfaatkan sebagai pohon peneduh, pencegah hakisan, sumber kayu bakar dan pakan ternak. Di tanah-tanah yang cukup subur, petai belalang tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ukuran dewasanya (tinggi 13–18 m) dalam waktu 3 sampai 5 tahun. Tegakan yang padat (lebih dari 5000 pohon/ha) mampu menghasilkan riap kayu sebesar 20 hingga 60 m³ per hektare per tahun. Pohon yang ditanam sendirian dapat tumbuh mencapai gemang 50 cm.[22] Jika ditanam di dekat-dekat pohon lainnya, maka pohon di sampingnya akan kekurangan sinar matahari. Oleh sebab itu, biasanya petai jawa/cina/belalang ditanam sebagai pohon pelindung/peneduh, dan untuk menanggulangi terjangan angin ribut. Tumbuhan ini juga dapat dipakai untuk pupuk hijau -dengan cara membenamkan daun pangkasnya sebagai pupuk dalam tanah.[20]

 
Pemanfaatan petai belalang sebagai rambatan hidup tanaman vanila (1920-1930)

Petai belalang adalah salah satu jenis pokok kacang serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran (wanatani). Pohon ini sering ditanam dalam jalur-jalur berjarak 3–10 m, di antara larikan-larikan tanaman pokok. Kegunaan lainnya adalah sebagai pagar hidup, sekat api, penahan angin, jalur hijau, rambatan hidup bagi tanaman-tanaman yang melilit seperti lada, vanila, markisa dan gadung, serta pohon penaung di perkebunan kopi dan koko.[9][23] Di hutan-hutan tanaman jati yang dikelola Perhutani di Jawa, petai belalang kerap ditanam sebagai tanaman sela untuk mengendalikan hanyutan tanah (erosi) dan meningkatkan kesuburan tanah.[24] Perakaran petai belalang memiliki nodul-nodul akar tempat mengikat nitrogen dan banyak menghasilkan daun sebagai sumber organik.[25]

Perkayuan sunting

 
Batang petai belalang. India.

Petai belalang sangat disukai sebagai penghasil kayu api dengan nilai kalori sebesar 19.250 kJ/kg membakar perlahan serta menghasilkan sedikit asap dan abu. Arang kayunya bermutu sangat baik, dengan nilai kalori 48.400 kJ/kg.[9][22]

Kayunya termasuk padat untuk ukuran pohon yang lekas tumbuh (kepadatan 500–600 kg/m³) dan kadar air kayu basah antara 30—50%, bergantung pada umurnya. Petai belalang cukup mudah dikeringkan dengan hasil yang baik, dan mudah dikerjakan. Sayangnya kayu ini jarang yang memiliki ukuran besar; batang bebas cabang umumnya pendek dan banyak mata kayu, karena pohon ini banyak bercabang-cabang. Kayu terasnya berwarna cokelat kemerahan atau keemasan, bertekstur sedang, cukup keras dan kuat sebagai kayu perkakas, perabot, tiang atau penutup lantai. Ia tidak tahan serangan rayap dan agak cepat membusuk apabila digunakan di luar ruangan, akan tetapi mudah menyerap bahan pengawet.[9][15][22] Kayu petaiini juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar, arang, dan juga pagar.[25]

Di Jawa Timur, biasanya digunakan sebagai bahan mentah baik untuk mengilang kertas[17][15] atau rayon[15] mengandungi 50—52% pulpa dengan kadar lignin rendah dan serat kayu sepanjang 1.1—1.3 mm. Mutu kertas yang dihasilkan agak baik.[9]

Penternakan sunting

Daun-daun dan ranting muda petai belalang merupakan dedak ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminan. Daun-daun ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis kacangan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Petai belalang yang ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campurannya (jarak tanam 5–8 m) dengan rumput yang ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.[22]

 
Lukisan menurut Blanco

Ternak lembu dan kambing menghasilkan pertambahan bobot yang baik dengan komposisi hijauan pakan berupa campuran rumput dan 20—30% petai belalang.[22] Meskipun semua ternak menyukai petai belalang, akan tetapi kandungan yang tinggi dari mimosin —sejenis asid amino terkandung pada daun-daun dan biji hingga sebesar 4% berat kering[26] diuraikan dalam usus ruminan oleh bakteria Synergistes jonesii— dapat menyebabkan keguguran rambut pada ternak bukan ruminan seperti kuda dan babi,[18] yang biasanya diberika dalam bentuk segar.[17] Selain itu, apabila sapi diberi makan petai jawa selama 6 bulan terus-menerus, maka si sapi yang bersangkutan akan mengalami kehilangan rambut, penurunan kesuburan badan, gangguan pada kelenjar tiroid, dan katarak.[27] Pemanasan dan pemberian garam besi-belerang pun dapat mengurangi keracunan mimosin.[22]

Daun, tunas bunga, dan lenggai buah yang muda biasa dimakan mentah (sebagai ulam atau lalap) atau dimasak terlebih dahulu.[18][a] Biji-bijinya yang tua dirandang sebagai pengganti kopi dengan bau harum yang lebih keras dari kopi.[16] Biji-biji yang sudah cukup tua tetapi belum menghitam biasa digunakan sebagai campuran pecal dan botok dalam masakan Jawa. Buah mudanya juga bisa dimanfaatkan sebagai sayur.[25] Biji petai belalang bisa juga diolah menjadi pengganti kedelai dengan gizi yang hampir sama. Karbohidrat yang terkandung pada gula reduksi adalah 164.29 mg/g sedang patinya 179.50 mg/g. Protein mencapai 208,56 mg/g. Sedangkan, lemaknya mencapai 80.86 mg/g, masih kalah dengan kadar lemak kedelai yang mencapai 141,05 mg/g.[28]

Daun-daunnya juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun-daun petai belalang cepat reput.

Produk lain sunting

Petai belalang diketahui menghasilkan tanin dan pigmen warna merah, cokelat dan hitam dari kulit batang, daun, dan lenggai buahnya. Sejenis resin atau gum juga dihasilkan dari batang yang terluka atau yang kena penyakit, terutama dari persilangan L. leucocephala × L. esculenta. Gum ini memiliki mutu yang baik serupa getah Arab.[9][15][23]

Berbunga sepanjang tahun, petai jawa menyediakan sumber makanan yang baik bagi lebah madu sehingga cocok mendukung apikultur.[15]

Biji-biji petai belalang tua boleh dirajut menjadi kalung selepas direndam sampai kembang atau "mekar" dan empuk..[29]

Perubatan sunting

Tumbuhan ini lawas kencing dan cacing usus.[18][30] Selain mengandung mimosin, leukanin, leukanol, dan protein, daun tumbuhan ini juga mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, protein, lemak, kalsium, fosforus, besi, dan sejumlah vitamin (A, B1, dan C). Untuk pemakaian sebagai ubat, biji dan seluruh bahagian tumbuhan ini dipakai. Bijinya dikeringkan dan dijadikan bubuk. Sebanyak 1 sudu teh biji yang direbus dalam 1/2 cangkir panas dapat digunakan untuk ubat kencing manis.[18] Masyarakat Sunda di Jawa Barat merawat luka tusukan atau potongan tajam dengan tempelan pucuk muda yang dikunyah; begitu juga di Cilacap yang menggunakan campuran buah dengan kulit batang talas dapat dipergunakan untuk mengubati luka hirian pisau.[31]

Berikut adalah beberapa kajian penting terhadap sifat berubat petai belalang:

  • Ekstrak metanol biji dapat menyebabkan berkurangnya berat badan dan panjang janin seiring dengan meningkatnya takar pemberian, tapi tidak bermakna secara statistik.[27]
  • Selain itu juga, telah diteliti pengaruh ekstrak biji terhadap toleransi dan kadar glukosa darah tikus diabetes yang diuji dengan suntikan aloksan tetrahidrat takar 250 mg/kg bb. Ekstrak yang diberikan secara oral dosis 0.5 g/kg dan 1 g/kg bb (berat badan) menunjukkan penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes yang berarti sebesar 27,28 mg/dL dan 43,72 mg/dL, kesan penurunan ini lebih kecil dibandingkan terhadap tikus yang diberi gliklazid 7,2 mg/kg bb.[32]
  • Pada tahun 2006, telah dibuktikan bahwasanya ekstrak air biji dapat bertindak sebagai agen penurun gula darah pada mencit yang pankreasnya disuntik streptozotocin. Ditemukan, β-cell dari pankreas juga ikut terlindungi dari kesan nekrotik kimia biji. Pada akhirnya, disimpulkan bahawanya ekstrak air biji petai belalang menunjukkan kesan tawar anti-diabetes yang signifikan setelah diberikan melalui mulut.[33]

Ekologi dan persebaran sunting

Petai belalang menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-30 °C); ketinggian di atas 1000 m dpl dapat menghambat pertumbuhannya. Tanaman ini cukup tahan kering dan bisa ditanam di mana-mana,[20] termasuk di wilayah dengan curah hujan antara 650—3.000 mm (optimal 800—1.500 mm) pertahun. Namun, tumbuhan ini tidak dapat tumbuh dalam genangan air.[23]

Bisa ditanam dalam keadaan tanah apa saja, mudah beradaptasi dengan iklim setempat, tanaman petai belalang mudah diperbanyak dengan biji[25] yang sudah tua,[21][b] setek batang,[21][20] dan dengan pemindahan anakan. Karena mudah bertumbuh, di banyak tempat petai belalang sering kali merajalela menjadi gulma. Tanaman ini pun mudah tumbuh; setelah dipangkas, ditebang atau dibakar, tunas-tunasnya akan tumbuh kembali dalam jumlah banyak.[15][25][34]

Tidak banyak hama yang menyerang tanaman ini, akan tetapi petai belalang teristimewa rentan terhadap serangan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana) dan hama wereng. Serangan hama wereng pernah hampir memusnahkan petai belalang.[21] Selain itu, serangan hama kutu loncat di Indonesia pada akhir tahun 1980-an telah mengakibatkan habisnya jenis petai belalang ‘lokal’ di banyak tempat.[22] Catatan lain mengatakan bahwa petai belalang gung/petai cina ini masuk ke Indonesia setelah petai belalang biasa (Leucaena diversifolia) diserang oleh kutu loncat di Indonesia pada tahun 1980-an.[25]

Selain itu, cendawan yang menyerang petai belalang biasanya adalah Meliola sp. Cendawan ini, selain menyerang petai belalang, juga menyerang melati, teh, dan juga buluh.[35] Adapun, bahagian yang diserang adalah daun bahagian atas, sehingga ada warna hitam yang berbentuk bintang pada daun. Cendawan ini sulit dikelupas, karena adanya hifodium yang masuk ke dalam daun. Guna dari hifodium untuk menyerap makanan. Sporanya tersebar lewat angin dan aliran air.[35] Sehingga, untuk mencegah dan mengendalikan cendawan ini, cukup membuang dan membakar daun yang terserang dan memakai fungisida yang cocok.[35]

Tumbuhan ini dapat dituai setiap 5 bulan sekali agar pohon ini tetap masih rendah memudahkan buahnya diambil.[20]

Galeri sunting

Nota sunting

  1. ^ Tulisan asli:..., "sedangkan daun muda, tunas bunga, dan polong bisa dimakan sebagai lalap mentah atau dimasak terlebih dahulu."
  2. ^ Menurut sumber dari LIPI, untuk mempercepat perkecambahan biji lamtoro (di sumber LIPI malah disebut mlanding), biji direndam terlebih dahulu di air panas (80 °C) selama 2-3 menit sebelum disemaikan.[17]

Rujukan sunting

  1. ^ "Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit". Germplasm Resources Information Network. United States Department of Agriculture. 1995-03-24. Dicapai pada 2010-01-18.
  2. ^ Willdenow, C.L. 1806. Species plantarum: exhibentes plantas ... Ed. 4 T. II(2): 1075.
  3. ^ Lamarck, J.B. 1783. Encycl. Méth. Bot. 1: 12
  4. ^ a b c Corner, E. J. H. (1997). Wayside Trees of Malaya. I (ed. ke-4). Persatuan Pencinta Alam Tanah Melayu. m/s. 413.
  5. ^ "Leucaena leucocephala (tree)". Global Invasive Species Database. Invasive Species Specialist Group. Dicapai pada 2010-01-18.
  6. ^ Bentham, G. 1842. Notes on Mimoseae, with a short synopsis of species. The Journal of Botany. v. 4: 416.
  7. ^ Linnaeus, C. 1763. Species plantarum: exhibentes plantas ... Ed. 2 T. II: 1504.
  8. ^ "Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit". Plants of the World Online. Royal Botanic Gardens, Kew. 2024. Dicapai pada 13 March 2024.
  9. ^ a b c d e f g h i j k l "Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit". E-Prosea. Diarkibkan daripada yang asal pada 6 Mac 2016.
  10. ^ a b c Tan, Ria (Januari 2013). "Petai jawa (Leucaena leucocephala)". Wild Singapore. Dicapai pada 12 Mac 2024.
  11. ^ Duke, James A. (1983). "Leucaena leucocephala (Lam.) deWit.". Handbook of Energy Crops. Universiti Purdue.
  12. ^ 6,000 hektar petai belalang bakal dituai.
  13. ^ Terengganu terima pelaburan biotek RM7 bilion
  14. ^ Terengganu bakal miliki kompleks biopenapisan terbesar di Asia
  15. ^ a b c d e f g h ICRAF Agroforestry Tree Database: Leucaena leucocephala Diarkibkan 2010-12-19 di Wayback Machine
  16. ^ a b c Heyne, Karel (1987). "Leucaena glauca Benth.". Tumbuhan Berguna Indonesia. 2. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. m/s. 885–7.
  17. ^ a b c d Sastrapradja, Setijati; Naiola, Beth Paul; Rasmadi, Endi Rochandi; Roemantyo; Soepardijono, Ernawati Kasim; Waluyo, Eko Baroto (1980). Sastrapradja, Setijati (penyunting). Tanaman Pekarangan. 16. Jakarta, Indonesia: LBN - LIPI dengan Balai Pustaka. m/s. 73.
  18. ^ a b c d e f g Dalimartha, Setiawan (2009). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. 6. Jakarta, Indonesia: Puspa Swara. m/s. 87–89. ISBN 978-979-1480-19-2.
  19. ^ a b c d van Steenis, CGGJ (1981). "Leucàena glàuca Bth.". Flora, untuk sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita. m/s. 216.
  20. ^ a b c d e Soeseno, Slamet (1985). Sayur-Mayur Karang Gizi. hal.35-36. Jakarta:Penebar Swadaya.
  21. ^ a b c d "Lamtoro". IPTEKnet. Diarkibkan daripada yang asal pada 2013-03-08. Dicapai pada 6 April 2013. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)
  22. ^ a b c d e f g FACT Sheet: Leucaena leucocephala - a versatile nitrogen fixing tree Diarkibkan 2008-08-28 di Wayback Machine. FACT 97-06, September 1997.
  23. ^ a b c FAO–AGPC: Leucaena leucocephala - the Most Widely Used Forage Tree Legume Diarkibkan 2016-07-15 di Wayback Machine
  24. ^ Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan. Manual RTT Tehnis Hutan. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Malang, Oktober 2003.
  25. ^ a b c d e f Purwanto, Iman (2007) [1996]. Mengenal Lebih Dekat LeguminosaseaeTemplat:Pranala mati. hal.84, 86, & 88. Yogyakarta:Kanisius. ISBN 979-21-1470-X.
  26. ^ Handbook of Energy Crops (Purdue): Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit
  27. ^ a b Syamsudin; Rizikiyan, Yayan; Darmono (Julai 2006). "Efek Teratogenik Ekstrak Metanol Biji Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lmk.) De Wit) Pada Mencit Hamil". Jurnal Bahan Alam Indonesia. 6 (1): 33 –&#32, 37. ISSN 1412-2855.Templat:Pranala mati
  28. ^ Rahayu, Ani; Suranto; Purwoko, Tjahjadi (2005). "Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae" (PDF). Bioteknologi. 2 (1): 14–20. ISSN 0216-6687 Check |issn= value (bantuan).CS1 maint: multiple names: authors list (link)
  29. ^ Wan's. Jari-jari Tangan yang Terampil. hal. 17-22. Jakarta:Azka Press. ISBN 979-744-391-4.
  30. ^ Yulisma (2009-03-10). "Pengaruh Pemberian Petai Cina (Leucaena glauca.Benth) sebagai Obat Tradisional Penyakit Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Tebing Tinggi Kota Sumatera Utara" (dalam bahasa Inggeris). Universitas Medan Area. Cite journal requires |journal= (bantuan)
  31. ^ Hidayat, Syamsul (2005). Ramuan Tradisional ala 12 Etnis Indonesia. hal. 90 & 226. Jakarta:Penebar Swadaya. ISBN 979-489-944-5.
  32. ^ Hardani, Nina; Soegiarso, N.C.; Ranti, Anna Setiadi (1991). "Pengujian Efek Ekstrak Biji Leucaena leucocephala (Lam) De Wit terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus". Penelitian Obat Bahan Alam - Sekolah Farmasi ITB. Diarkibkan daripada yang asal pada 2009-11-07. Dicapai pada 19 September 2013. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)CS1 maint: multiple names: authors list (link)
  33. ^ Syamsudin, Simanjuntak Darmono; Simanjuntak, Partomuan. "The Effects of Leucaena leucocephala (Lmk) de Wit Seeds on Blood Sugar Levels: An Experimental Study" (PDF). International Journal of Science and Research. 2 (1): 49 –&#32, 52.CS1 maint: multiple names: authors list (link)Templat:Pranala mati
  34. ^ Kuo, Y.L. 2003. Ecological Characteristics of Three Invasive Plants (Leucaena Leucocephala, Mikania Micrantha, and Stachytarpheta Urticaefolia) in Southern Taiwan. Diarkibkan 2008-05-16 di Wayback Machine Food and Fertilizer Technology Center (FFTC)
  35. ^ a b c Tjahjadi, Nur (2001). Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 53. ISBN 978-979-413-009-4.

Pautan luar sunting