Ratu

pemerintah diraja perempuan yang memerintah sesebuah negara atas haknya

Ratu (Jawi: راتو) merupakan gelaran bagi wanita yang memerintah bagi sesuatu negara yang bersistem raja (atau "kerajaan"), suami si ratu sementara ini tetap berpangkat biasa malah tiada kuasa memerintah. Ini berbeza dengan permaisuri yang merupakan isteri kepada seorang raja dengan peranan sehad itu sahaja.

Pemberian kuasa ini boleh terjadi jika sesuatu pewarisan tidak membezakan jantina pemerintahnya, ataupun dalam pewarisan yang mengutamakan keturunan lelaki, jika raja negara tersebut tidak mempunyai anak lelaki untuk diwariskan tahkta.

Peristilahan sunting

Istilah ratu sekognat dengan istilah datu dan latu (latuhalat = ratu barat) khususnya daripada bahasa Jawa Kuno bererti penguasa atau pemimpin suatu kelompok; malah ia ada kaitan dengan gelaran "datuk". Keempat-empat istilah ini sekembar akar Melayu-Polinesia sama iaitu *Datuʔ.[1]:31

Gelaran ini tidak memandang jenis kelamin. Prasasti Canggal misalnya, menyebut raja pertama Mataram Hindu sebagai "Rake Mataram Sang Ratu Sanjaya". Dalam sejarah Kerajaan Singhasari terdapat nama Mahisa Campaka yang menjabat sebagai "Ratu Angabhaya". Kedua-dua nama "Sanjaya" mahupun "Mahisa Campaka" merupakan nama lelaki lalu membuktikan gelaran "ratu" ini tidak semestinya dikait rapat dengan perempuan. Nammun begitu, hal ini berubah dengan datangnya unsur pengaruh budaya Hindu semakin berkembang di rantau Nusantara termasuk bahasa Sanskerta yang memperkenalkan istilah "raja" yang menggantikan penggunaan gelar ratu, istilah ratu pula bergeser menjadi feminin dan bersinonim dengan rani.

Titik masa istilah "ratu" mulai dipakai khusus untuk kaum perempuan tidak dapat dikenal pasti dengan tepatnya. Naskah Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-17 mulai membedakan penggunaan gelar jabatan, yaitu untuk perempuan digunakan istilah ratu, misalnya Ratu Kalinyamat atau Ratu Pembayun, sedangkan untuk lelaki digunakan istilah "sultan", "prabu", "pangeran", "panembahan", atau "sunan". Akan tetapi tidak sepenuhnya istilah ratu tergeser oleh raja. Meskipun raja-raja Jawa zaman sekarang menggunakan gelar sultan atau sunan, tetapi bahasa Jawa untuk istilah istana tetap menggunakan kata keraton yang berasal dari kata "ke-ratu-an", yang berarti tempat tinggal ratu.

Peranan sebagai penguasa sunting

Dalam konteksnya sebagai penguasa monarki, ratu adalah padanan dari gelar raja, dan merujuk pada wanita yang memimpin kerajaan. Sepanjang sejarah, jumlah ratu jauh lebih sedikit daripada raja. Hal ini karena banyak kebudayaan di masa lalu yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pemuda.

Dalam hukum Sali yang dianut banyak monarki Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.[2] Selain itu, terdapat pula prinsip yang dianut kebanyakan masyarakat bahwa kepemilikan wanita akan lebur saat menikah dengan kepemilikan suaminya, dan hal ini menjadikan wanita yang telah menikah memiliki hak kepemilikan pribadi yang sangat terbatas.[3] Kepemilikan ini termasuk dalam masalah gelar. Saat seorang wanita naik takhta sebagai ratu dan kemudian menikah, suaminya akan menjadi raja dan memiliki wewenang untuk mengatur kerajaan, menjadikan sang suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari permaisuri. Prinsip ini disebut jure uxoris. Seiring berjalannya waktu, beberapa pengecualian dibuat. Saat Mary I yang saat itu menjadi Ratu Inggris menikah dengan Felipe II, Raja Sepanyol, dibuat perjanjian agar kekuasaan Felipe di Inggris tidak terlalu kuat mengungguli Mary. Saudari sekaligus penerus Mary, Elizabeth I, menghindari polemik ini dengan tidak menikah seumur hidupnya. Saat gerakan hak asasi wanita semakin meningkat, wanita pada akhirnya memiliki kepemilikan atas namanya sendiri di masa modern ini. Terkait gelar, saat wanita menjadi ratu, suaminya akan dianugerahi gelar pangeran, dan bukan raja sebagaimana di abad pertengahan, menghindari agar kedudukan sang pemuda tidak lebih tinggi dari ratu itu sendiri. Di masa modern ini, hampir semua monarki Eropa telah mengubah aturan pewarisan takhtanya menjadi primogenitur mutlak, yang menyatakan bahwa takhta akan diwariskan kepada anak pertama tanpa memandang jenis kelamin.

Di Asia Timur sendiri, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi penguasa monarki. Jepun memiliki delapan wanita yang menjadi Maharani. Namun saat Jepun mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia pada Zaman Meiji, wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi Maharani. Saat Kerajaan Silla di bawah kepemimpinan Ratu Seondeok, salah satu pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak dapat memimpin negara" (女主不能善理).[4]

Pada abad ketiga belas, dunia Islam menyaksikan dua wanita yang menjadi penguasa monarki. Di Kesultanan Delhi, Sultan Iltutmish menjadikan putrinya, Raziya, puteri mahkota, suatu hal yang tidak lazim di masa itu. Para bangsawan sepeninggal Iltutmish mengabaikan pencalonan itu dan memilih Rukn ud din Firuz sebagai sultan. Namun terbukti bahwa Firuz tidak cocok untuk menjadi seorang penguasa, terlebih saat itu ibunya justru memegang kendali negara dengan tangan besi. Sepeninggal Firuz, barulah Raziya dinobatkan sebagai sultan. Di Mesir, Syajar Ad Durr yang merupakan janda Sultan Mesir terdahulu naik takhta pada 1250. Namun Khalifah Al-Mus'tashim tidak memberi restu terhadapnya, sehingga takhta selanjutnya diberikan kepada Izzuddin Aybak yang kemudian menjadi suami Syajar Ad Durr[5]. Meskipun begitu, beberapa kesultanan di luar Timur Tengah cenderung lebih longgar terhadap kepemimpinan wanita. Maladewa memiliki lima sultanah, Samudera Pasai memiliki satu sultanah, dan Aceh Darussalam pernah diperintah empat sultanah berturut-turut.

Meskipun demikian, tidak setiap monarki di masa lampau membatasi kepemimpinan wanita. Di Majapahit, Tribhuwana Tunggadewi dapat mewarisi takhta menjadi maharani saat saudaranya mangkat tanpa memiliki keturunan.

Senarai sunting

Asia sunting

Eropah sunting

Lihat juga sunting

Rujukan sunting

  1. ^ Nothofer, Bernd (2009). "Patut dan turut; dua dan separuh; datar dan rata: kata warisan atau kata pinjaman? Catatan mengenai etimologi kosakata Melayu". Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia. 27 (1): 23-43.[pautan mati kekal]
  2. ^ Cave, Roy and Coulson, Herbert. A Source Book for Medieval Economic History, Biblo and Tannen, New York (1965) p. 336
  3. ^ Emanuel, Steven L. (2004). Property. New York: Aspen Publishers, inc. m/s. 121.
  4. ^ * (7. Silla and Wa) - Bidam Diarkibkan Oktober 5, 2011, di Wayback Machine
  5. ^ Al-Maqrizi, p.463/vol.1

Jika anda melihat rencana yang menggunakan templat {{tunas}} ini, gantikanlah ia dengan templat tunas yang lebih spesifik.