Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir 29 Julai 1941) adalah seorang sasterawan Indonesia terkemuka. Beliau juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Beliau merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.

Goenawan Mohamad
Kelahiran
Goenawan Soesatyo Mohamad

(1941-07-29) 29 Julai 1941 (umur 83)
Pusat pendidikanUniversitas Indonesia
College of Europe
Harvard University
Pekerjaanpenyajak, penulis, kolumnis, dramawan
Terkenal keranaManifesto Kebudayaan, Catatan Pinggir, Tempo, Aliansi Jurnalis Independen, Partai Amanat Nasional, Jaringan Islam Liberal, Komunitas Salihara.
Kredit yang dikenali
Majalah Tempo, beberapa buku
PasanganWidarti Djajadisastra
Anak-anakParamita Mohamad
SaudaraKartono Mohamad
Anugerah
Laman web rasmiwww.goenawanmohamad.com

Beliau dikenali atas penulisan berasaskan fahaman liberalismenya. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.

Biografi

sunting

Awal hidup

sunting

Beliau dilahirkan di Kabupaten Batang, provinsi Jawa Timur pada 29 Julai 1941 semasa Perang Dunia Kedua meletus.

Beliau bersekolah di Sekolah Rakjat Negeri Parakan di Batang (1953) serta SMP Negeri II (1956) dan SMA Negeri di Pekalongan (1959). Beliau menulis syair sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika Syarikat, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD, beliau mengaku menyenangi acara puisi siaran Radio Republik Indonesia. Majalah Kisah asuhan H.B Jassin yang dilanggan kakaknya yang bekerja sebagai doktor turut menjadi ilham dalam penulisannya.

Beliau melanjutkan pengajian tingginya di Universitas Indonesia dalam bidang psikologi namun beliau berubah jurusan ke ilmu politik di Belgium menjadi Nieman Fellow di Universiti Harvard, Amerika Syarikat.

Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak. [note 4]

Kerjaya jurnalistik

sunting

Karier GM—panggilan singkatnya—dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985).[2]

Beliau ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.

1971: Pengasasan TEMPO

sunting

Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana, beliau banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah, sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohammad awalnya berharap bisa membangkitkan Tempo lagi lewat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), di mana beliau menjadi salah satu anggota. Setelah PWI yang terkooptasi rezim Soeharto ternyata tak bisa diandalkan, Goenawan kemudian mendukung inisiatif para jurnalis muda idealis yang mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Beliau juga turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada tahun 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tommy Winata. Pernyataan Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Artha Graha itu.

Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan 1998-1999), Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan.

Selepas 1998

sunting

Pada tahun 2006, Goenawan meraih anugerah sastera Hadiah Dan David Prize, bersama esais dan pejuang kemerdekaan Poland, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-Yo Ma. Tahun 2005 beliau bersama wartawan Joesoef Ishak dapat Wertheim Award.

Karya terbaru Goenawan Mohamad adalah buku berjudul Tuhan dan Hal Hal yang Tak Selesai (2007), berisi 99 esai liris pendek. Edisi bahasa Inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished Things diterjemahkan oleh Laksmi Pamuntjak.

Penceburan bidang pementasan

sunting

Setelah pembredelan Tempo pada 1994, beliau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi, antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu. Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan Kayu”. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pemberangusan ekspresi. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian Jaringan Islam Liberal.[3][4][5]

Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel beliau membuat libretto untuk opera Kali (dimulai 1996, tetapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Pada tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan, dimainkan di Tokyo tahun 2006. Pada tahun ini juga beliau mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California.Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.

Senarai karya

sunting

Karangan (esai)

sunting
  • Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972)
  • Seks, Sastra, Kita (1980)
  • Kesusastraan dan Kekuasaan (1993)
  • Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001)
  • Kata, Waktu (2001)
  • Eksotopi (2002).

Himpunan sajak

sunting
  • Parikesit (1971)
  • Interlude (1973)
  • Asmaradana (1992)
  • Misalkan Kita di Sarajevo (1998)
  • Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001).

Artikel

sunting

Puisi-puisi dalam Parikesit dan Interlude sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa termasuk bahasa Belanda, bahasa Inggeris, bahasa Jepun dan bahasa Perancis. Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo, (kini terbit jilid ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan bahasa Inggeris oleh Jennifer Lindsay dalam Sidelines (Lontar Foundation, 1994) dan Conversations with Difference (19….). Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya, “dengan raung yang tak terserap karang”.

Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).

Bacaan lanjut

sunting
  • Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965 - Bagaimana Orde Baru melegitimasi anti-komunisme melaui sastra dan film. Marjin Kiri. ISBN 978-979-1260-26-8

Lihat pula

sunting

Pautan luar

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ Presiden Joko Widodo atas nama negara menyematkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada Budayawan Goenawan Susatyo Mohamad. Acara penyematan berlangsung di Istana Negara. Jakarta, 13 Agustus 2015[1]
  2. ^ Tahun 2005 ia bersama wartawan Joesoef Ishak mendapatkan penghargaan tersebut.
  3. ^ Bersama esais dan pejuang kemerdekaan Polandia, Adam Michnik, dan musikus Amerika, Yo-yo-Ma (2006).
  4. ^ Melanjutkan pendidikan ke Fakultas Psikologi UI, GM -- demikian ia dipanggil di kalangan dekat -- segera terbilang di kalangan intelektual muda yang gelisah menjelang keruntuhan Orde Lama. Bersama antara lain Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan H.B. Jassin, ia ikut menyusun Manifesto Kebudayaan, yang di zaman Soekarno diejek sebagai Manikebu. Begitu Orde Lama tumbang, GM malah seperti menyingkir, menuntut ilmu ke College of Europe, Belgia. Pulang dari sana, ia sempat menjadi wartawan harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kemudian turut mendirikan majalah Ekspres, dan terakhir, bersama sejumlah rekan, memisahkan diri dan mendirikan Majalah Berita Mingguan Tempo.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ Hutasoit, Moksa (Kamis 13 Aug 2015, 11:18 WIB). "Jokowi Beri Tanda Kehormatan ke 46 Orang, dari Paloh Sampai Goenawan Mohamad". Jakarta: News.detik.com. Dicapai pada 13 Agustus 2015. Check date values in: |accessdate= dan |date= (bantuan)CS1 maint: date and year (link)
  2. ^ a b "Pusat Data & Analisis TEMPO Apa & Siapa '85/86". Dicapai pada 1 Julai 2015.[pautan mati kekal]
  3. ^ Republika.co.id (Senin, 13 Oktober 2014, 14:49 WIB). "Apa Itu Jaringan Islam Liberal (JIL)?". Dicapai pada 3 September 2015. Check date values in: |date= (bantuan)CS1 maint: uses authors parameter (link)
  4. ^ Fadh Ahmad Arifan (2014). "Jaringan Islam Liberal, Riwayatmu Kini". UIN-Maliki Press. Dicapai pada 3 September 2015.CS1 maint: uses authors parameter (link)
  5. ^ Budhy Munawar Rachman, Moh. Shofan (Ed.), M. Dawam Rahardjo (Pengantar) (2010). Sekularisme, liberalisme, dan pluralisme - Islam progresif dan perkembangan diskursusnya. Jakarta: PT Grasindo Widiasara Indonesia.CS1 maint: uses authors parameter (link)

Templat:Kusala Sastra Khatulistiwa