Kakawin Ramayana adalah kakawin (syair) berisi cerita Ramayana. Ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuna, diduga dibuat di Jawa Tengah pada akhir abad ke-9 M, sekitar tahun 870, kakawin ini disebut-sebut sebagai adikakawin karena dianggap yang pertama, terpanjang, dan terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa.

Syair dalam bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi India mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita agung yang versi awalnya konon digubah oleh Walmiki dalam bahasa Sanskrit.

Ringkasan sunting

Prabu Dasaratha dari negeri Alengka memiliki empat putra; Rama, Bharata, Lakshmana dan Satrughna. Maka suatu hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari serangan para raksasa. Maka Rama dan Laksamana berangkat.

Di pertapaan, Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.

Di Ayodya Rama suatu hari akan dipersiapkan dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian. Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak dan memberikan sandalnya (bahasa Sanskrit: pâduka) kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.

Maka Rama, Sita dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan malahan akhirnya ujung hidungnya terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana) dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap, akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh Rahwana.

Teriakan Sita terdengar oleh burung Jentayu yang pernah berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana lebih kuat dan bisa mengalahkan Jentayu; Jentayu yang masih nyawa-nyawa ikan sempat melapor kepada Rama dan Laksmana bahawa Sita dibawa ke Langkapura, kerajaan sang Raja Rawana.

Kemudian Rama dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan kera-kera dan seorang raja kera bernama Bali yang menculik isteri kakaknya. Akhirnya Bali bisa dibunuh dan isterinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang dipimpin Hanuman, mereka berhasil membunuh Rawana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.

Contoh teks sunting

Oleh para pakar dan sasterawan, kakawin Ramayana dianggap sebuah syair yang sangat indah dalam bahasa Jawa Kuna seperti sudah disinggung di atas. Di bawah disajikan beberapa cuplikan dari teks ini beserta terjemahannya dalam bahasa Melayu.

Kiasan sunting

I.5

Jawa Kuna Terjemahan
Kadi mégha manghudanaken, Seolah-olah awan yang menghujani,
pad.anira yar wéhaken ikang dâna, begitu persamaannya apabila memberi sumbangan,
dînândha krepan.a ya winéh, orang hina-dina dan cacat juga diberi,
nguni-nguni d.ang hyang d.ang âcârya. apalagi para pandita dan orang suci.

Aliterasi sunting

XI.7

Jawa Kuna Terjemahan
Molah wwaining tasik ghûrnnitatara gumuruh dényangin sang Hanûmân, Air laut berombang-ambing dengan dahsyat dan bergemuruh karena angin sang Hanuman.
kagyat sésînikang sâgara kadi ginugah nâga kolâh alâwû, Terkejutlah seluruh isi laut, seakan-akan naga dikocok dan menjerit terbangun.
lunghâ tang bâyu madres kayu-kayu ya katûb kampitékang Mahéndra, Berlalulah angin ribut dan pohon-pohon kayu jatuh bertumbangan, seakan-akan gunung Mahendra bergetar.
sakwéhning wânarâ nghér kaburu kabarasat sangshayé shatru shakti. Semua kera yang berdiam di sana terbirit-birit lari ketakutan seakan-akan dikejar oleh musuh yang sakti.

Lukisan alam sunting

XVI.31 (Bhramara Wilasita)

Jawa Kuna Terjemahan
Jahnî yâhning talaga kadi langit, Air telaga jernih bagaikan langit,
mambang tang pâs wulan upamanikâ, Seekor kura-kura yang mengambang seolah-olah bulan,
wintang tulya ng kusuma ya sumawur, Bintang-bintangnya adalah bunga-bunga yang tersebar,
lumrâ pwêkang sari kadi jalada. Menyebarlah sari-sarinya, seakan-akan awan.

Hubungan dengan teks-teks lain sunting

Kakawin Ramayana setelah diteliti oleh para pakar ternyata secara detail tidak mirip dengan versi-versi Ramayana di Nusantara lainnya, seperti Hikayat Seri Rama dalam bahasa Melayu, Serat Rama Keling dalam bahasa Jawa Baru dan juga berhala-berhala Ramayana yang terdapatkan di candi Prambanan.

Setelah diteliti ternyata sebagian besar kakawin Ramayana berdasarkan sebuah syair dalam bahasa Sanskrit dari India yang berjudul Rāvaṇavadha atau lebih dikenal dengan nama Bhaṭṭikāvya dari abad ke-6 sampai 7.

Dalam sastra Jawa Baru, kakawin Ramayana digubah ulang oleh kyahi Yasadipura menjadi Serat Rama Kawi.

Bacaan lebih lanjut sunting

  • Dinas Pendidikan Dasar Propinsi DATI Bali, 1987, Kekawin Rāmāyaṇa. 2 jilid. (Suntingan teks dan terjemahan dalam bahasa Indonesia)
  • C. Hooykaas, 1955, The Old-Javanese Rāmāyaṇa kakawin, VKI 16, The Hague: Martinus Nijhoff. (Resensi)
  • Hendrik Kern, 1900, Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht, ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff. (Suntingan teks saja, menggunakan aksara Jawa)
  • Soewito Santoso, 1980, Rāmāyaṇa kakawin, New Delhi: International Academy of Indian Culture. 3 jilid. (Suntingan teks dalam huruf Latin dan terjemahan dalam bahasa Inggris)
  • P. J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Jakarta: Djambatan. (Resensi, hal. 277-297)