Bahasa Gayo: Perbezaan antara semakan

Kandungan dihapus Kandungan ditambah
Yosri (bincang | sumb.)
Tiada ringkasan suntingan
Yosri (bincang | sumb.)
Baris 56:
 
== Bahasa Gayo “Hari Ini” ==
Bahasa Gayo terus mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Pengaruh bahasa luar turut mempengaruhi bahasa Gayo terutama dalam koleksi perbendaharaan kata-kata, misalnya dari bahasa Arab, Melayu, bahasa [[bahasa Batak|Batak]], Aceh, [[bahasa Karo|Karo]], [[bahasa Belanda|Belanda]], [[bahasa Jepang|JepangJepun]], [[bahasa Indonesia]], dan lain-lain. Pengaruh yang dimaksud tidak terlepas dari kehadiran dan interaksi suku-suku dimaksud dengan orang Gayo. Sebagai contoh, bahasa Arab, pengaruh ini erat kaitannya saat penyebaran awal [[Islam]] ke Aceh, yang mana orang Gayo sebagai suku asli telah lebih dahulu mendiami daerah ini (Aceh). Sebagai akibatnya, pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Gayo cukup dirasakan. Selain itu, sebelum abad ke-16, sudah terdapat orang Melayu, Batak dan beberapa suku lainnya untuk mencari penghidupan di daerah ini. Selain itu, pengaruh kerje angkap (perkawinan angkap) yang ada pada masyarakat Gayo turut mempengaruhi keberadaan suku-suku ini terutama dari [[suku Aceh]]. Disamping itu, pengaruh Batak&Karo sendiri dirasakan karena kontak dagang orang Gayo-Karo di Gayo Lues, [[Kutacane]] dan Karo, [[Sumatera Utara]]. Pada saat itu, komoditi yang menjadi andalan Gayo adalah [[tembakau]]. Selain itu, juga terdapat kopi Gayo, bahkan [[teh]] redelong yang sudah merambah ke pasar [[Eropa]]. Pada abad ke-16, datang pula Karo-27 ke dataran tinggi tanoh Gayo dibawah pimpinan Leube Kader. Saat ini, mereka ada di daerah Bebesen atau dikenal dengan kerajaan Cik Bebesen. Penulis sendiri lebih menyebut Karo-27 daripada Batak-27 dengan melihat sejarah dan beberapa perbedaan antara kedua suku bangsa tersebut, dengan melihat keturunan mereka di daerah Bebesen hari ini. Namun, bukan berarti, semua masyarakat Bebesen hari ini adalah keturunan Karo 27.
 
Kedatangan kolonialis [[Belanda]] ke daerah ini; perjalanan ke tanoh Gayo mulai tahun 1901 (Hurgronje, 1996: XVIII), turut menambah serapan bahasa Belanda pada bahasa Gayo. Beberapa contoh misalnya, arloji, disentri, kamar, lapor, martil dan reken (Baihaqi, 1981: 34) Begitu juga halnya dengan kedatangan Jepang tahun 1942. Pada umumnya, unsur serapan tersebut diterima dalam bentuk asli atau kadang-kadang mengalami variasi bunyi dalam penyesuaian dengan pengucapan wilayah penuturan (Baihaqi, 1981: 32). Dewasa ini, bahasa Indonesia sendiri menunjukkan pengaruh yang cukup besar dalam serapan bahasa Gayo. Hal tersebut sangat memungkinkan karena bahasa ini digunakan sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat Gayo.