===Sejarah kajian tradisi lisan===
Tradisi lisan merupakan bidang kajian yang diketahui permulaannya<ref>Sejarah teori tradisi lisan telah dilaporkan sebegitu oleh John Miles Foley; pandangan kasar berikut diambil dari ''Oral-Formulaic Theory and Research: An Introduction and Annotated Bibliograph'', (NY: Garland Publishing, 1985, 1986, 1989); bahan tambahan diringkaskan dari pengenalan bertindan dari jilid berikut: The Theory of Oral Composition: History and Methodology, (Indiana University Press, 1988, 1992); Immanent Art: From Structure to Meaning in Traditional Oral Epic (Bloomington: Indiana University Press, 1991); The Singer of Tales in Performance (Bloomington: Indiana University Press, 1995) and Comparative Research on Oral Traditions: A Memorial for Milman Parry (Columbus, OH: Slavica Publishers, 1987).</ref> dalam karya cendikiawan Serbia [[Vuk Stefanovic Karadzic]] (1787-1864), sezaman dengan [[Brothers Grimm]]. Vuk mengejar projek seumpamanya dalam "salvage folklore" dalam tradisi [[cognate]] di daerah selatan [[Eropah Timur|Slavic]] yang kemudiannya bergabung sebagai [[Yugoslavia]], dan dalam campuran yang sama minat romantik dan nasionalis. Terkemudian, tetapi masih dalam pengajian yang sama, [[turkologi]] [[Vasily Radlov]] (1837-1918) akan mengkaji lagi di [[Kara-Kyrgyz Autonomous Oblast|Kara-Kirghiz]] yang kemudiannya membentuk [[Kesatuan Soviet]].
===Tradisi Lisan Upacara Adat Perkawinan Tapanuli Selatan===
Tradisi lisan pada upacara adat perkawinan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemakainya, tradisi lisan bagi masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing, Angkola, dan Batak) merupakan identitas masyarakat pemakai sebagai komunitas guyub tutur. Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat memiliki kearifan lokal, dan nilai-nilai yang diyakini sudah menyatu dan merupakan perekat masyarakat adat, hal tersebut yang berupaya diungkap pada penelitian ini. Tradisi lisan sebagai produk kultural, mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia, 2003: 1).
Tradisi lisan pada upacara perkawinan adat merupakan bias keyakinan masyarakat kepada tradisi yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. Tradisi etnik masyarakat adat memiliki nilai yang terkandung sesuai dengan norma yang diyakini masyarakat, menurut Roland Barthes (1957: 140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1) nilai yang berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu; 3) nilai menyangkut sifat-sifat yang ‘ditambah’ oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya.
Tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan menurut Roger Tol dan Prudentia (1995: 2) dalam B. H. Hoed (2008:184) harus mencakup hal-hal yakni:
Oral traditions do not only contain folktales, myths, and legends (…), but store complete indegeneous cognate systems. To name a few: histories, legal practices, adat law, medication.
Djuweng (2008:157) menyatakan, tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang, dan masa depan. Tradisi lisan itu diturunkan dari generasi ke generasi dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi senyatanya dari teks-teks lisan itu.
Salah satu warisan budaya yang amat berharga dan penting dalam pembentukan identitas dan karakter bangsa adalah Intangible Cultural Heritage (ICH). UNESCO dalam konvensi tanggal 16 Oktober 2003 menyebutkan salah satu unsur penting dalam ICH adalah tradisi lisan (Prudentia 2010).
Tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya sangat kompleks yang mengandung tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, seperti kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowledge), sejarah, hukum, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, hasil seni, dan upacara adat.
Memahami nilai-nilai dengan baik, maka perlu dilakukan perbandingan dengan fakta pada konteks tradisi lisan agar unsur nilai tradisi yang ada pada tradisi tersebut dapat diretas, sehingga nilai tradisi lisan dapat diterima setiap orang, walaupun menurut apresiasi setiap orang nilai tersebut dapat berbeda-beda. Roland Barthes (1957: 140-142) ada tiga ciri-ciri nilai, yaitu: 1) nilai yang berkaitan dengan subyek; 2) nilai tampil dalam konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu; 3) nilai menyangkut sifat-sifat yang ‘ditambah’ oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek, nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Tradisi lisan sebagai produk kultural, mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara bagaimana dinamika sosial itu berlangsung (Pudentia, 2003: 1).
Begitu pula tradisi Lisan di Tapanuli Selatan, walaupun sudah mengalami perkembangan, tetapi tetap tidak melepaskan diri dari norma-norma tradisi yang telah berlaku turun temurun. Tradisi lisan ini memiliki tatanan aturan yang tertib yang dipimpin oleh Orang Kaya yang berfungsi sebagai moderator (MC ’Master of Ceremonial) jalannya upacara perkawinan adat tersebut. Keputusan akhir upacara adat yang berwujud tradisi lisan diputuskan oleh Raja Panusunan Bulung, yang sebelumnya telah meminta pendapat masing-masing elemen adat ’dalihan na Tolu’ yang telah ditentukan sesuai dengan tuturan dan berada pada pihak mempelai laki-laki atau mempelai perempuan.
Upacara perkawinan khususnya dan pada upacara adat pada umumnya, setiap keputusan yang diambil oleh Raja Panusunan Bulung (Ompungi/ oppui Sian Bagas Godang) melalui proses upacara adat istiadat yang panjang dan bertele-tele, tetapi tetap dengan jalan musyawarah dan merupakan keputusan bersama.
Pada upacara adat istiadat ini juga setiap orang diposisikan sesuai dengan hubungan kekerabatanya dari posisi yang mempunyai horja sirion (upacara perkawinan adat). Sehingga tak jarang sesorang yang tidak diberi kesempatan berbicara pada acara adat istiadat tersebut, ia merasa kurang dihargai. Oleh karena itu, penguasaan tradisi lisan dan leksikon adat sangat menentukan penghargaan masyarakat terhadap personal yang memiliki pemahaman adat istiadat.
Hal ini menurut Fortes dalam Tilaar (2000: 54-55), dari pewarisan budaya ada variabel-variabel yang perlu dicermati, yakni: unsur-unsur yang ditransmisikan/ diwariskan, proses pewarisan, dan cara pewarisannya. Dalam hal ini unsur-unsur yang diwariskan adalah nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi masyarakat, dan pandangan-pandangan hidup masyarakat yang mengandung kearifan, kebenaran esensial, dan ide. Pengetahuan tradisional atau indigenous knowledge (IK) memungkinkan masyarakat pemilik dan atau pendukung sebagai kearifan lokal atau local wisdom dan berusaha untuk memahami Tradisi lisan.
Realitas di masyarakat, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang. Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Sebab, tidak dikuasai lagi sejumlah leksikon oleh penutur remaja karena hilangnya sebagian unsur sosial budaya dan sosial-ekologi pada komunitas itu.
Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan pada masa sekarang dan yang akan datang adalah perubahan dalam sistem pewarisannya. Sistem pewarisan pembentukan identitas, perlu dilakukan pengelolaan tradisi seperti: pelindungan, preservasi, dan revitalisasi tradisi lisan, yaitu tradisi lisan pada pada upacara perkawinan adat di Tapanuli Selatan.
Kehidupan orang Tapanuli Selatan yang relegius dan masih sangat peka terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, baik itu berupa peruntungan maupun musibah. Peristiwa-peristiwa itu ditandai dengan upacara adat, seperti, upacara lolos dari marabahaya, upacara sembuh dari sakit, upacara naik pangkat, upacara lulus ujian, mendapat gelar akademis, upacara naik haji, upacara mendirikan dan memasuki rumah baru, upacara kelahiran, dan upacara perkawinan.
Upacara perkawinan adat rangkaian upacara perkawinan (seremonial) mempelai yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang dipimpin oleh pengetua adat atau pemuka agama.
Jenis-jenis Upacara Adat Istiadat Tapanuli Selatan (upacara adat istiadat Mandailing) pada budaya mandailing seperti: 1) Horja Siriaon; 2) Tahi Godang; 3) Manganaekkon Gondang; 4. Pajongjong Mandera; 5) Maralok-alok; 6) Manortor; 7) Mambaca goar; 8) Patuaekkon; 9) Mangupa; 10. dan lain-lain (Ritonga dan Azhar, 2002: 64-105).
Pelaksanaan upacara perkawinan adat menurut Pandapotan Nasution (2005: 270-413) ada beberapa alur yang harus dilakukan yaitu: a. Acara di rumah Boru Na Ni Oli (pabuat boru) seperti: 1) manyapai boru, 2) mangaririt boru, 3) padamos hata, 4) patobang hata. b. Manulak sere; c. Mangalehen mangan pamunan; d. Acara pernikahan. e. Horja Haroan Boru seperti: 1) marpokat haroan boru, 2) Mangalo-alo boru, 3) pataon raja-raja dan koum sisolkot, 4) panaek gondang. Seremonial upacara adat seperti: 1) Membawa pengantin ke Tapian Raya Bangunan, 2) Mangalehen Gorar (menabalkan gelar adat), dan 3) Mangupa.
Sejalan dengan itu proses upacara perkawinan di kenal dengan istilah horja patobang anak dan pabagas boru, peristiwa perkawinan disebut dengan haroan boru, horja boru dengan alur upacara perkawinan adat seperti: 1) Mangkobar boru, 2) Mangampar ruji, 3) horja pabuat boru, 4) manaekkon gondang, 5) marosong-osong, 6) Maralok-alok,7) Manortor, 8) Manyambol horbo pangupa, 9) Patuaekkon, dan 10) Mangupa. (1993: 259-396)
Pada upacara perkawinan adat biasanya menggunakan tanda-tanda kebesaran adat (menurut adat istiadat tersebut), sehingga serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat, sehingga upacara perkawinan adat dapat diselenggarakan sebagai suatu perayaan atau upacara adat lainnya. Adat dan paradatan merupakan aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim menurut sidang adat.
Sidang adat yang lengkap dipimpin oleh Raja panusunan Bulung di rumah suhut pihak laki-laki yang dihadiri seluruh unsur harajaon lengkap. Biasanya akan diutus na ringgas langka untuk mendampingi bayo (mempelai laki-laki) berangkat menuju rumah boru untuk mangalap boru, mangido tungkot hara ni madunginteon namboruna. Sebelum upacara pabuat boru terlebih dahulu dilaksanakan upacara akad nikah yang dihadiri oleh tuan kadi (penghulu), kerabat dekat, bayo dan rombongan, boru serta orang tua boru.
Kehadiran boru ‘mempelai perempuan’ di keluarga calon suaminya, sehingga terbentuk rumah tangga baru dapat dilihat dari perilaku adat yang dilaksanakan di Tapanuli Selatan, karena nama-nama julukan pada boru timbul dari cara kehadirannya di keluarga calon suaminya seperti: 1) Boru na di pabuat, 2) Boru tangko binoto, 3) Boru na marlojong, 4) Boru na pagitcatkon,5) Boru na manginte bondul, 6) Boru na manaek (Boru na manyompo), 7) Porda dumpang (1993: 253-254).
Boru dipabuat Raja Panusunan Bulung dalam sidang adat yang dihadiri oleh seluruh perangkat adat. Dalam sidang adat ada acara marsipaingot dan pasahat barang boru. Menjelang pemberangkatannya boru menyalami teman-teman, kerabat dalihan natolu, hatobangon, harajaon, Raja Panusunan Bulung, dan terakhir boru menyalami ibu, ayah, dan saudara-saudara kandungnya. Ini dilakukan dengan mangandung (menangis) sambil meratap. Sementara bayo dan rombongannya berada di rumah kerabat yang lain, hingga menunggu dijemput untuk menerima penyerahan boru oleh orang tuanya. Penyerahan ini mencakup: pamatangna (tubuh), ngoluna (hidupnya), sonangna dohot matena (senang dengan matinya). Ini merupakan penyerahan total tanggung jawab boru diserahkan sepenuhnya kepada bayo (mempelai laki-laki), kemudian rombongan ini berangkat menuju rumah bayo pangoli.
Pihak boru mengirimkan indahan tungkus pasae robu yaitu dari: ama, ina, tulang, hatobangon, harajaon yang dibawa oleh anak boru, pisang raut, hatobangon laki-laki dan perempuan, dan naposo bulung serta nauli bulung. Indahan tungkus pasae robu ini dijunjung di atas kepala pisang raut ina-ina untuk kemudian diserahkan kepada pihak keluarga bayo hal ini diyakini oleh masyarakat adat di Tapanuli Selatan/ Mandailing agar hilang dari segala mara bahaya di laut, darat, dan awang-awang.
Boru yang diberangkatkan secara adat itu diterima oleh keluarga bayo secara adat kebesaran dalam acara haroan boru. Pada malam harinya di rumah suhut diselenggarakan pokat harajaon untuk pasahat karejo. Pesta pernikahan disebut Horja pabuat boru yang telah ditentukan keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Setelah kesepakatan dicapai, maka kedua belah pihak keluarga mulailah mempersiapkan segala sesuatu untuk pesta pernikahan untuk melaksanakan horja pabuat boru atau horja mangalap boru.
Pesta perkawinan merupakan horja siriaon, dilakukan bergantung kepada binatang adat (kerbau dan kambing) yang akan dipotong. Untuk horja godang (pesta adat besar) minimal satu ekor kerbau ditambah dengan satu ekor kambing, bila horja menek (pesta adat kecil) maka yang akan disembelih adalah seekor kambing.
Horja menek (pesta kecil) yang disembelih yaitu horbo janggut (kambing) maka upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan dimulai dengan akad nikah, markobar adat, dan mambutong-butongi mangan (memberikan makan) dan memberikan kata-kata nasihat dan tuntunan hidup berkeluarga.
Horja godang (pesta adat besar) diukur dengan binatang yang disembelih (lahanan na) minimal satu ekor kerbau ditambah dengan satu ekor kambing. Bila setelah selesai upacara akad nikah (ibadat) maka upacara yang akan diselenggarakan di rumah mempelai laki-laki yaitu: unung-unung bodat (musyawarah suami-istri yang akan menikahkan anak); tahi ulu ni tot (musyawarah suami-istri dengan kerabat dekat (markahanggi) yang akan menikahkan anak); tahi sahuta (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan orang-orang sekampung); tahi godang (musyawarah orang tua mempelai laki-laki dengan kerabat dekat (markahanggi) juga dengan orang-orang sekampung).
Pada tahi godang (musyawarah besar) dirancang kapan mangalo-alo mora (menyambut kedatangan pihak keluarga mempelai perempuan). Pada malam hari horja boru dimulai dengan maralok-alok. Siang harinya dimulai dengan upacara manaekkon gondang, dengan membuka galanggang. Kemudian mangalo-alo mora, sore hari upacara mambuka galanggang dengan manortor yang dimulai pada pihak suhut, kahanggi, anak boru, mora na dialo-alo, hatobangon, harajaon, raja panusunan bulung, naposo nauli bulung, dan boru na marbagas.
Menjelang sore dilakukan upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan, suatu upacara melepas masa lajang dan masa gadis ke pinggir kali, yang biasanya dipangir oleh raja di pinggir sungai. Tetapi kini sudah jarang dilaksanakan oleh adat kebiasaan Tapanuli Selatan, hanya menggunakan simbol-simbol dan diupa-upa saja setelah diarak dari tepi raya bangunan.
Beranjak dari upacara adat tepian raya bangunan, maka kedua mempelai diupa-upa dengan berbagai macam makanan seperti: 4 kaki kambing, kepala kambing, 3 butir telur ayam, dan dibuat berbentuk kerucut tempat garam. Yang ditabur dengan udang dan berbagai macam sayur-sayuran yang diletakkan di atas anduri (tampah yang terbuat dari bambu) yang dilapisi oleh 3 bulung ujung (helai daun pisang). Setelah diberi makan di berilah kata-kata nasihat-nasihat, tuntunan kehidupan berumah tangga, berkeluarga, dan bermasyarakat.
Mengawinkan anak dan boru adalah merupakan puncak kebahagiaan seseorang, karena holong kepada mereka maka anak dipajae dan boru dipabuat. Rasa kasih sayang itu antara lain dinyatakan dalam ungkapan: tungkup marmama anak singgalak marmama boru.
Adat Tapanuli Selatan/ Mandailing (Batak) sedikit bervariasi di luat-laut bona bulu karena latar belakang lingkungan alam, budaya, agama, dan pengaruh dari luar, termasuk di dalamnya pengaruh agama Islam yang oleh para ahli disebut sebagai golongan tradisional dan golongan modernis. Ini semua memberikan warna sehingga memberikan khasanah tradisi orang Batak khususnya di Tapanuli Selatan.
Beberapa indikasi yang perlu diperhatikan ialah semakin beraliran tradisional seseorang semakin besar keinginannya untuk melaksanakan upacara adat semurni mungkin. Sebaliknya semakin beraliran modern sesorang maka semakin selektif dalam pelaksanaan upacara adat istiadat begitu juga upacara perkawinan. Seleksi ini terjadi atas pertimbangan agama, biaya, waktu, dan segi pertimbangan praktis.
Kemudian diselenggarakan upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan. Yang bermakna untuk menghanyutkan segala yang tidak baik dan untuk meninggalkan segala perilaku remaja karena sudah memasuki masa berumah tangga.
Sekembalinya dari upacara patuaekkon tu tapian raya bangunan dilakukan upacara adat yaitu mangupa patidahon godang ni roha (menunjukkan kebesaran hati) tu anak dohot parumaen. Dalam sidang adat ini kedua mempelai mendapatkan nasihat-nasihat sebagai bekal hidup menjalankan rumah tangga yang berbahagia dari seluruh keluarga dan kalangan yang hadir dalam sidang adat mangupa itu.
Setiap masyarakat adat memiliki keyakinan nilai-nilai luhur yang kuat sehingga dijadikan pedoman yang mengatur berjalannya tatanan adat istiadat, hal tersebut menjadi falsafah hidup masyarakat di Tapanuli Selatan. Suatu aturan-aturan yang dipatuhi dianggap memiliki kekuatan batin yang merupakan jiwa yang sudah mendarah daging bagi masyarakat adat. Nilai-nilai luhur masyarakat adat tersebut tidak tertulis tetapi sudah menyatu dan menjadi ketentuan yang mengikat batin diantara masyarakat adat, hal tersebut disebut dengan holong dan domu. Hal itu seperti sebutan tubu unte, tubu dohot durina, tubu jolma, tubu dohot adatna. Makna yang terkandung yaitu setiap masyarakat lahir telah memiliki nilai-nilai luhur sebagai pandangan hidup dalam dirinya.
Nasution (2005: 57-73) berpendapat holong dan domu tumbuh dari lubuk hati dan dengan pemikiran yang dalam, masyarakat yang didasari oleh rasa holong akan menimbulkan rasa marsihaholongan (perasaan kasih sayang diantara sesama). Diantara orang yang marsihaholongan itu akan timbul hatigoran (kejujuran). Demikian pula domu akan menimbulkan hadomuan (persatuan). Jika tercipta persatuan tentu akan mewujudkan hadameon (keamanan).
Haholongan, hadomuan, hatigoran, dan hadameon inilah yang diharapkan masyarakat adat sehingga setiap anggotanya dituntut berperilaku yang didasarkan kepada holong dohot domu (holong dan domu). Holong dan domu menjadi landasan dasar dari masyarakat adat, sehingga sikap dan perilaku masyarakat adat mencerminkan rasa holong dan domu.
Kemampuan personal dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat menunjukkan kematangan dalam berkepribadian. Sehingga masyarakat juga dapat menerima eksistensi pribadi dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah komunitas masyarakat adat tersebut. Nilai-nilai cinta kasih diantara sesama masyarakat adat menjadi suatu tradisi, yang terbias dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut telah ada sejak dahulu, kemudian menjadi tata cara yang dilakukan sehingga kehidupan masyarakat berjalan dengan terartur sejahtera dan damai.
Berbuat kebaikan kepada orang lain biasanya muncul dari lubuk hati yang terdalam, sehingga hal tersebut menjadi jati diri dan karakter masyarakat kepada orang lain dengan dasar cinta kasih kepada sesama. Kebaikan dan rasa cinta kasih kepada sesama itu disebut dengan holong, begitu pula antara masyarakat yang satu dengan yang lain sehingga mereka terikat oleh rasa cinta kasih kepada masyarakat komunitas tersebut.
Domu merupakan rasa satu kesatuan dan perwujudan rasa cinta kasih kepada sesama atau rasa holong. Domu dan holong tidak dapat dipisahkan yang satu dengan yang lain karena domu manjalahi holong, yang berarti holong dapat menimbulkan domu, sebaliknya agar domu tetap terjaga harus selalu dijiwai oleh holong. Hal itu bukan saja diikat oleh kebersamaan sedaerah tetapi diikat oleh pertalian darah. Seperti perlambang daun sirih dan perangkatnya: gambir dan kapur yang dapat menghasilkan warna merah, bila dilumatkan sebagai lambang darah.
Domu merupakan perwujudan holong sudah ada sejak lahir (na ni oban topak), dan itu merupakan surat tumbaga holing na so ra sasa, surat tumbaga holing yang tidak dapat dihapus. Surat tumbaga holing adalah tulisan yang bukan tulisan biasa yang bisa dihapus, karena surat tumbaga holing hanya ada di dalam lubuk hati yang dalam. Holong dohot domu merupakan pegangan hidup bermasyarakat yang dijabarkan dengan pastak-pastak ni paradatan. Dengan demikian falsafah holong dohot domu bagi masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing, Angkola, Batak) menjadi:
a) Landasan hidup bermasyarakat dan bernegara.
b) Jiwa dan kepribadian.
c) Pegangan dan pedoman hidup.
d) Cita-cita/ tujuan yang ingin dicapai.
Dalihan secara etimologi berarti ”tungku” tolu berarti ”tiga”, dalihan biasanya terbuat dari batu dengan ukuran yang sama, kalau besar dan panjangnya tidak sama maka tungku itu tidak berfungsi sebagai mana mestinya (Ritonga dan Azhar, 2002: 8). Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Mandailing mengandung arti, tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Dalam upacara-upacara adat lembaga Dalihan Na Tolu ini memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan-keputusan. Dalihan Na Tolu yang terdiri dari 3 (tiga) unsur tersebut terdiri dari kelompok: a) Suhut dan kahangginya; b) Anak boru; c) Mora.
Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga) dimensi dalam kedudukannya sebagai unsur Dalihan Na Tolu ataupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itulah orang Tapanuli Selatan/ Mandailing, Batak dapat menyesuaikan diri jika dibutuhkan. Dalam masyarakat simalungun umpamanya dikenal istilah Tolu Sahundulan Lima Saodoran, yang berarti kedudukan nan tiga, barisan nan lima (tiga kedudukan dijabat oleh lima orang) yaitu tondong, sanina, anak boru (sebagai kedudukan) dan dijabat oleh lima orang yaitu Tondong, Sanina, Suhut, Anak Boru Jabu, Anak Boru Mantori (Rosnidar sembiring,Thesis,2001: 104-105)
Rajamarpodang (1995: 55-56) membagi ketiga unsur tersebut antara lain: Pertama kerabat langsung yang menjadi pusat kegiatan disebut dengan suhut oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, Batak Toba, Batak Simalungun. Sukut oleh Batak Karo dan Batak Pakpak-Dairi. Suhut atau sukut terdiri dari keluarga batih sesama keluarga, yang disebut kahanggi oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, dongan tubu atau dongan sabutuha oleh Batak Toba, saboltok sanina oleh Batak Simalungun, sanina oleh Batak Batak Karo dan dnggan sabith oleh Batak Pakpak-Dairi.
Unsur kedua adalah yang fungsinya memberikan nasihat, membina merestui kegiatan, ialah kerabat asal pengambilan isteri oleh unsur pertama disebut mora oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, hula-hula oleh Batak Toba, tondong oleh Batak Simalungun, kalimbubu oleh Batak Karo dan kula oleh Batak Pakpak-Dairi.
Unsur ketiga yang fungsinya menjadi kekuatan pada setiap kegiatan, ialah kerabat yang mengambil istri dari unsur pertama disebut anak boru oleh Batak Mandailing-Batak Angkola, boru oleh Batak Toba dan Batak Simalungun, anak beru oleh Batak Karo dan anak brru oleh Batak Pakpak-Dairi.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge”atau kecerdasan setempat “local genious”.
Moendardjito dalam Trubus Rahardiansyah dan Prayitno (2011:61) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang dengan ciri-ciri: 1) mampu bertahan terhadap budaya luar; 2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; 3) mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; 4) mempunyai kemampuan mengendalikan; 5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Unsur-unsur kearifan lokal yang ditemukan dalam tradisi lisan upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan yaitu: mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Bila di kaji lebih mendalam akan diperoleh nilai-nilai kekeluargaan, nilai gotong royong, kerukunan, nilai falsafah kerukunan, nilai keikhlasan bekerja, nilai identitas Dalihan Na Tolu sebagai penguat identitas, nilai estetis leksikon nasihat, sehingga nilai-nilai kearifan lokal pada upacara perkawinan memiliki penghargaan yang tinggi.
Menghargai nilai-nilai kearifan lokal sesungguhnya merupakan upaya terstruktur dalam mengoptimalkan cultural identity, yaitu suatu identitas/ kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan sebuah bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan daerah sesuai watak dan identitas budaya setempat yang telah berlangsung secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Padahal sejatinya elan vital nilai-nilai budaya lokal perlu tereksplorasi sebagai muatan dasar pada kurikulum pendidikan yang dapat menyerap kebudayaan lokal. Sehingga nilai-nilai kearifan lokal dapat mengadopsi kekayaan nilai-nilai budaya lokal secara terencana dan berkesinambungan pada kurikulum pendidikan, agar pendidikan berkarakter kultur lokal Tapanuli Selatan memiliki kemampuan memfilterisasi dan berkemampuan bertahan terhadap budaya luar.
Adat perkawinan Tapanuli Selatan merupakan sumber kearifan lokal yang memerlukan perhatian agar tidak mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari dari manifestasi gagasan dan nilai-nilai kearifan lokal sehingga saling menguatkan dan untuk meningkatkan wawasan dalam saling mengapresiasi. Sehingga menjadi bahan perbandingan untuk menemukan persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajikan dan kebijaksanaan (virtue and wisdom).
Adat istiadat merupakan sistem pemenuhan kebutuhan yang meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, pengetahuan adat istiadat, kerja keras, organisasi sosial, kesenian, dan identitas masyarakat adat. Adat istiadat harus dipertahankan dan dikembangkan sebagai unsur kehidupan sebagai tata cara yang mengatur hidup masyarakat daerah serta komunitas adat.
Kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Setiap masyarakat diharapkan mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem pengetahuan adat istiadat yang dimilikinya. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya yang biasanya yang mengatur hubungan sosial kemasyarakatan.
Kearifan lokal adat istiadat Tapanuli Selatan sebagai aset yang dimiliki suatu komunitas adat di Tapanuli Selatan, sehingga masyarakat adat dapat mengatur hidup bermasyarakat dari generasi ke generasi berikutnya dengan tenteram dan damai. Oleh sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya.(Y.KH.Amri Lubis, STKIP "Tapanuli Selatan" Padangsidimpuan)
==Rujukan==
|