Haji Ali Akbar Navis (17 November 1924 - 22 Mac 2003) atau ringkasnya A. A. Navis adalah seorang sastrawan dan budayawan Minangkabau terkemuka di Indonesia. Sepanjang hidupnya, beliau telah mengarang sejumlah karya monumental mencakup pelbagai bidang dalam lingkup kebudayaan dan kesenian dalam aneka jenis termasuk ratusan puisi, cerpen, novel, dan cerita anak-anak, sandiwara radio, esei mengenai masalah sosial budaya hingga ke penulisan autobiografi dan biografi.[1] Penulisan kritikan sosialnya diamati amat tajam dan tidak pilih kasih saat Indonesia dalam kegawatan dasar politik[1] sehingga beliau sering digelar "Sang Pencemooh".

A.A. Navis
Kelahiran(1924-11-17)17 November 1924
Meninggal dunia22 Mac 2003(2003-03-22) (umur 78)
Warganegara Indonesia Indonesia
Pusat pendidikanINS Kayutanam
PekerjaanSasterawan, budayawan

Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami.

Biografi sunting

Awal hayat sunting

Penceburan dalam penulisan sunting

Beliau yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950.

Kemasyhuran sunting

Cerpen 'Robohnya Surau Kami' mendapatkan banyak respons pro dan kontra masyarakat. Cerpen ini tidak sahaja enjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955, bahkan juga menggait Hadiah Sastera majalah ini. Berkat cerpen Robohnya Surau Kami (RSK) Navis menjadi terkenal di bidang sastera. Navis mulai mengkritik melalui karya sastera. Pernah beliau dkucilkan atasan karena sering berselisih dengan atasannya. Namun, beliau mengatakan 'Daripada saya ke luar kantor dan membuat bos saya bertambah marah, daripada saya duduk termenung-menung sambil melihat teman sejawat sibuk dan hati sakit sendiri, saya ambil mesin ketik, saya menulis dan menulis terus”.[2]

Beliau berkahwin dengan Aksari Yasin tahun 1957, hasil perkahwinan ini melahirkan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Berbasari Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.

Beliau seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tetapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Beliau memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.

Senja usia sunting

Pada usia tua beliau masih sahaja mempunyai semangat menulis. Buku terakhirnya iaitu suatu antologi berjudul Jodoh diterbitkan oleh Grasindo Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation sebagai hadiah ulang tahun usianya genap 75 tahun; antologi ini berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an: Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu.

Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, beliau masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahawa dia tidak bisa ikut sidang yang berlangsung di Bali; malah meminta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka.

Beliau menghembuskan nafas terakhir pada 22 Mac 2003 disamping isteri dan anak-anak mereka serta 13 orang cucu. Jenazah beliau dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang; majlis pengebumian jenazah beliau dihadiri sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademikus, dan masyarakat umum melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya; Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin, serta penyair Rusli Marzuki Saria.

Gaya penulisan sunting

Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tetapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.

Senarai karya sunting

Novel sunting

  • Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi (1970)
  • Gerhana (2004)
  • Kemarau (1967)

Antologi cerpen sunting

  • Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
  • Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
  • Siri Cerita Rakyat dari Sumatra Barat
* jilid 1 (1994)
* jilid 2 (1998)
* jilid 3 (2001)
  • Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
  • Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
  • Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
  • Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)

Bukan cereka sunting

  • Dialektika Minangkabau (1983, sebagai penyunting)
  • Di Lintasan Mendung (1983)
  • Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
  • Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
  • Surat dan Kenangan Haji (1994)
  • A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (autobiografi, 1994)
  • Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)

Pemikiran sunting

Kritikan sastera sunting

Beliau berpendapat bahawa sesuatu karya sastera yang baik adalah karya yang berisi kekal malar hijau atau "awet", di mana sesuatu karya yang sebaik atau sebagus manapun jika nilanya hanya "seperti kereta api; lewat saja" dianggap lemah.

Kritikan budaya sunting

Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit hendak di atas, terkurung hendak di luar).[1]

Kritikan terhadap kenegaraan sunting

Beliau amat lantang menegur menegenai keadaan pendidikan peringkat nasional Indonesia yang dianggap hanya membenarkan penerimaan fikiran dan ajaran disuap tanpa diajarkan mengemukakan fikiran dari sudut pandang pelajar sendiri dari tahap sekolah dasar sampai perguruan tinggi sehinggakan menurutnya terjadi "pembodohan" terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan. Model pendidikan sastera atau mengarang di Indonesia turut dilihat merupakan strategi atau pembodohan agar orang tidak kritis. Menurutnya:

Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu, kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi.

Rujukan sunting

  1. ^ a b c Indonesia, Tokoh. "Sastrawan, Sang Kepala Pencemooh | TOKOH INDONESIA | TokohIndonesia.com | Tokoh.id" (dalam bahasa Inggeris). Dicapai pada 2020-02-22.
  2. ^ "Robohnya Surau Kami dan A.A. Navis yang Dianggap Mengejek Islam". tirto.id (dalam bahasa Indonesia). Dicapai pada 2020-02-22.

Pautan luar sunting