Kapal mohor merah (Jepun: 朱印船, Hepburn: Shuinsen) ialah kapal layar bersenjata pedagang Jepun yang berlayar dalam perdagangannya ke pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, dengan izin bermohor merah yang dikeluarkan di awal Keshogunan Tokugawa, pada separuh pertama abad ke-17. Antara 1600 dan 1635, lebih daripada 350 kapal Jepun melakukan pelayaran dagang ke luar negeri di bawah sistem kebenaran ini.

Kapal mohor merah (Shuinsen) Jepun tahun 1634, memakai reka bentuk layar persegi dan segi tiga (layar lateen), kemudi, dan buritan gaya Barat. Kapal ini umumnya dipersenjatai 6-8 meriam. Muzium Sains Kelautan Tokyo.
Laluan perdagangan mohor merah Jepun di awal abad ke-17.[1]

Awal mula sunting

 
Catatan lesen mohor merah, 11 Januari 1608.

Kapal-kapal Jepun cukup aktif berlayar di perairan Asia selama abad ke-13 sampai ke-16, yang seringkali adalah bajak laut "wakō" kerap menjarah wilayah pesisir Kemaharajaan Cina. Misi perdagangan resmi juga dikirim ke Cina, seperti misalnya Tenryūji-bune pada tahun 1341. Aktivitas wakō berhasil dihentikan secara efisien pada akhir abad ke-16 dengan dikeluarkannya larangan pembajakan oleh Hideyoshi, serta suksesnya kampanye melawan kegiatan bajak laut di pesisir Cina oleh jenderal-jenderal Dinasti Ming.

Antara abad ke-15 dan abad ke-16, perantara perdagangan utama di Asia Timur dipegang kerajaan pulau Ryūkyū (sekarang adalah Okinawa), yang mempertukarkan produk-produk Jepun (perak, pedang) dan Cina dengan kayu secang dan kulit rusa dari Asia Tenggara. Secara keseluruhan tercatat 150 kapal Ryūkyū berlayar dari kerajaan itu ke Asia Tenggara, 61 di antaranya menuju Annam (Vietnam), 10 menuju Malaka, 10 menuju Pattani, 8 menuju Jawa, serta lain-lain tujuan. Perdagangan mereka menghilang sekitar tahun 1570 dengan mulai berkembangnya para pedagang Cina dan intervensi dari kapal-kapal Portugis dan Sepanyol, serta sehubungan dengan awal dimulainya sistem mohor merah. Kerajaan Ryūkyū akhirnya diserang oleh Jepun pada tahun 1609.

Ketika orang-orang Eropa pertama mulai melayari Samudera Pasifik (lihat juga periode perdagangan Nanban), mereka secara teratur bertemu dengan kapal-kapal Jepun, seperti ketika Sepanyol pada tahun 1589 menerima di Manila sebuah jung Jepun yang rusak kerana badai dalam perjalanannya menuju Siam, atau ketika penjelajah keliling dunia Belanda Olivier van Noort bertemu dengan jung Jepun berbobot 110 ton di Filipina pada bulan Desember 1600, serta dalam pelayaran yang sama ketika ia bertemu dengan kapal mohor merah yang bernahkoda seorang kapten Portugis di lepas pantai Kalimantan yang lalu menceritakan kepada mereka mengenai kedatangan William Adams di Jepun.

Sistem mohor merah sunting

 
Kapal mohor merah Sueyoshi di tahun 1633, bernahkoda dan awak kapal bangsa asing. Lukisan Ema (絵馬) Kiyomizudera, Kyoto.
 
Kapal mohor merah Suminokura dengan warga asing didalamnya. Lukisan Ema Kiyomizu-dera, Kyoto.

Sistem mohor merah muncul setidak-tidaknya pada tahun 1592 di bawah pemerintahan Hideyoshi, yaitu saat pertama kalinya sistem tersebut disebutkan dalam sebuah dokumen. Surat Izin mohor merah (Shuinjō) tertua yang berhasil ditemukan ialah yang dikeluarkan tahun 1604 di bawah pemerintahan Tokugawa Ieyasu, penguasa pertama Dinasti Tokugawa di Japan. Ia mengeluarkan surat izin tersebut untuk para tuan tanah feodal favoritnya serta pedagang-pedagang besar yang tertarik pada perdagangan luar negeri. Dengan hal tersebut, ia dapat menguasai para pedagang Jepun dan mengurangi penjarahan bajak laut Jepun di Laut Selatan. mohor yang dikeluarkannya juga menjamin keamanan kapal-kapal tersebut, kerana ia menjanjikan akan mengejar setiap bajak laut atau bangsa manapun yang melanggar kebijakannya itu.

Selain para pedagang Jepun, 12 orang Europa dan 11 orang penduduk Cina juga diketahui menerima izin tersebut, diantaranya termasuk William Adams dan Jan Joosten. Pada suatu waktu setelah tahun 1621, Jan Joosten tercatat telah memiliki 10 buah kapal mohor merah untuk perdagangannya.

Kapal-kapal Portugis, Sepanyol, Belanda, Inggeris, dan kerajaan-kerajaan Asia pada dasarnya melindungi kapal-kapal mohor merah Jepun, kerana mereka mempunyai hubungan diplomatik dengan para shogun Jepun. Hanyalah Dinasti Ming di Cina yang tidak melakukan hal tersebut, kerana pihak Kemaharajaan Cina dalam kebijakan resminya melarang kapal-kapal Jepun untuk memasuki pelabuhan-pelabuhan Cina. Namun para pejabat Ming tetap tidak mampu mencegah para penyelundup Cina yang diam-diam berangkat ke Jepun.

Reka bentuk kapal sunting

 
Kapal mohor merah abad ke-17 kepunyaan keluarga pedagang Araki, dengan laluan pelayaran Nagasaki - Annam (Vietnam).

Muatan kapal-kapal mohor merah biasanya bervariasi di antara 500 dan 750 tan, suatu ukuran yang sama atau mengungguli geliung Eropah, namun lebih kecil daripada carracks Portugis yang besar (seringkali lebih dari 1,000 tan).

Sekitar 200 orang per kapal dapat ditampung dalam kompartemen kapal. Dari lima belas kapal mohor merah, rata-rata kapalnya berawak 236 orang.

Kapal-kapal tersebut dibangun di berbagai tempat. Beberapa kapal dibangun di Nagasaki dengan menggabungkan antara reka bentuk kapal Barat, Jepun, dan Cina. Ada pula kapal-kapal yang berjenis jung Cina. Pada masa perdagangan dengan Asia Tenggara telah menjadi mapan, banyak pula kapal-kapal yang dipesan dan dibeli di Ayutthaya kerana unggulnya konstruksi dan kualitas kayu Siam.

Kapal-kapal pada umumnya dikelola oleh keluarga-keluarga pedagang kaya seperti Sumikura, Araki, Chaya, dan Sueyoshi, serta oleh para petualang individual seperti Suetsugo Heizo, Yamada Nagamasa, William Adams, Jan Joosten, dan Murayama Toan. Dana untuk pembelian barang dagangan di Asia adalah pinjaman yang diberikan kepada para pengatur ekspedisi, dengan bunga mencapai 35%-55% per kunjungan pelayaran, yang bahkan dalam kasus Siam dapat mencapai 100%.

Import dan eksport sunting

Para pedagang Jepun terutama mengeksport perak, berlian, tembaga, pedang, dan barang-barang lainnya, serta mengimport sutra Cina dan produk-produk Asia Tenggara (seperti gula dan kulit rusa). Lada dan rempah-rempah jarang diimport oleh Jepun kerana para penduduknya tidak banyak makan daging, yang disebabkan pengaruh lokal yang cukup kuat dari sistem kepercayaan agama Buddha. Pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara menjadi tempat pertemuan antara kapal-kapal Jepun dan Cina.

Tujuan pelayaran sunting

 
Peta pelayaran (portolan) Jepun, menggambarkan Lautan Hindi dan pantai Asia Timur, awal abad ke-17.

Para awak kapal-kapal mohor merah adalah dari berbagai bangsa, disebabkan banyaknya para mualim Cina, Portugis, dan Belanda serta para penterjemahnya yang bergabung dalam pelayaran tersebut. Kapal-kapal mohor merah terawal diharuskan untuk memiliki mualim Portugis di atas kapal, meskipun orang-orang Jepun secara terus-menerus mengembangkan mualim bangsa mereka sendiri. Peta portolan yang digunakan pada kapal-kapal mohor merah digambar menurut model Portugis, dengan petunjuk-petunjuk arah dalam bahasa Jepun.

Berbagai pelabuhan besar Asia Tenggara, termasuk Manila (Sepanyol), Hoi An (Vietnam), Ayutthaya (Siam), dan Pattani (Melayu), menyambut baik kapal-kapal dagang Jepun, dan banyak orang Jepun menetap di pelabuhan-pelabuhan ini dan membentuk enklave-enklave kecil komunitas Jepun.

Orang-orang Jepun tampaknya cukup disegani di seluruh negara-negara Asia, menurut keterangan semasa daripada Sir Edward Michelbourne:

Para Japon tidak menderita ketika mendarat di setiap pelabuhan di India (Asia) dengan senjata-senjata; kerana dianggap sebagai orang-orang yang nekad dan berani, mereka ditakuti di semua tempat yang mereka datangi.[2]

Filipina sunting

Sekitar 50 kapal-kapal mohor merah tercatat antara tahun 1604 dan 1624 berlayar ke Luzon di Filipina (dan hanya tercatat 4 lagi sampai dengan tahun 1635). Orang-orang Jepun cukup awal mendirikan sebuah enklave di Dilao, daerah pinggiran Manila, dan pada tahun 1593 mereka berjumlah antara 300-400 orang. Selama pemberontakan Sangley pada tahun 1603 mereka telah berjumlah 1.500 orang, dan tahun 1606 berjumlah 3.000 orang. Seorang biarawan Fransiskan Luis Sotelo terlibat dalam memberikan dukungan terhadap enklave Dilao ini antara tahun 1600 dan 1608.

Orang-orang Jepun memimpin pemberontakan yang gagal di Dilao melawan Sepanyol pada tahun 1606-1607. Jumlah populasi mereka meningkat kembali dengan adanya larangan atas agama Kristen oleh Tokugawa Ieyasu pada tahun 1614, ketika 300 pengungsi Kristen Jepun di bawah pimpinan Takayama Ukon memutuskan untuk menetap di Filipina. Mereka lah asal-muasal dari 200.000 penduduk keturunan Jepun yang cukup banyak terdapat saat di Filipina.

Siam (Thailand) sunting

 
Yamada Nagamasa, sekitar 1630.

"Catatan Sejarah Kerajaan Ayutthaya" dari Siam menuliskan bahwa pada 1592, sudah terdapat 500 orang tentara Jepun, yang di bawah pimpinan Raja Siam membantunya mengalahkan tentara Burma yang datang menyerang.[3]

Kurang lebih 56 kapal mohor merah tercatat berlayar ke Siam antara tahun 1604 dan 1635. Masyarakat Jepun di Siam tampaknya telah mencapai jumlah ratusan, sebagaimana penjelasa Padre Antonio Francisco Cardim yang menceritakan bahwa ia telah memberikan sakramen kepada sekitar 400 orang Kristen Jepun pada tahun 1627 di ibukota bangsa Thai di Ayutthaya ("a japoes 400 christaos").[4] Pada bulan Desember 1605, John Davis seorang penjelajah Inggeris yang terkenal, dibunuh oleh sekelompok bajak laut Jepun di lepas pantai Siam, sehingga menjadi orang Inggeris pertama yang dibunuh oleh orang Jepun.[5]

Koloni Jepun ini aktif dalam perdagangan, khususnya dalam eksport kulit rusa dan kayu secang ke Jepun yang dipertukarkan dengan perak Jepun dan barang-barang kerajinan Jepun (pedang, kotak bervernis, dan kertas berkualitas tinggi). Mereka anggap oleh Belanda sebagai penantang monopoli perdagangan Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (VOC), kerana posisi mereka yang kuat dengan Raja Siam umumnya memungkinkan mereka untuk membeli sedikitnya 50% dari produksi total, sehingga menyisakan sejumlah kecil barang dengan kualitas yang lebih rendah bagi para pedagang lainnya. Seorang petualang Jepun, Yamada Nagamasa, menjadi sangat berpengaruh dan memerintah sebuah bagian dari Kerajaan Siam selama periode tersebut. Koloni mereka juga memiliki peran kemiliteran yang penting di Thailand.

Indonesia sunting

 
Sembilan samurai Jepun menjadi korban Pembunuhan Beramai-ramai Amboyna tahun 1623.

Meskipun sedikit saja kapal-kapal mohor merah yang tercatat mengunjungi wilayah-wilayah yang sekarang termasuk Indonesia moderen (Jawa, Kepulauan Maluku), kemungkinan kerana letaknya yang terpencil dan adanya keterlibatan langsung Belanda di sana, namun samurai-samurai Jepun direkrut oleh para pemimpin Belanda di sana. Orang-orang Jepun memperlihatkan keistimewaan mereka dalam perebutan Kepulauan Banda dari kekuasaan Inggeris dan dalam mempertahankan Batavia, sampai kebiasaan mempekerjakan tentara bayaran Jepun tersebut dilarang oleh Shogun pada tahun 1621. Gubernur Belanda untuk wilayah Jawa Jan Pieterszoon Coen, pada tahun 1618 meminta 25 orang samurai Jepun untuk dikirimkan kepadanya dari Jepun. Pada tahun 1620, tertulis dalam catatan Belanda bahwa 90 orang samurai Jepun direkrut dari pulau-pulau di sekitar Jawa untuk memperkuat benteng di Batavia.

Selama peristiwa Pembantaian Amboyna pada tahun 1623, 9 orang tentara bayaran Jepun tercatat berada bersama dengan 10 orang pedagang Inggeris dari kantor dagang Perusahaan Hindia Timur Britania. Mereka disiksa dan dibunuh oleh pasukan Belanda dari kantor dagang yang berdekatan. Kejadian ini menjadi salah satu penyebab pecahnya Perang Inggeris-Belanda.

Makau sunting

Meskipun mendapat larangan dari penguasa Cina untuk memasuki tanah wilayahnya, terdapat sejumlah pelaut Jepun dari kapal mohor merah yang telah menyinggahi Makau. Pada bulan November 1608, sebuah perkelahian terjadi antara sekitar 100 orang samurai Jepun yang bersenjatakan katana dan senapan lontak melawan tentara-tentara Portugis yang berada di bawah kekuasaan pejabat gubernur Makau dan kapten kapal Jepun André Pessoa, sehingga menyebabkan 50 Jepun kehilangan nyawa mereka. 50 oarng yang tersisa kemudian dilepaskan oleh penjabat setempat setelah menandatangani pernyataan tertulis yang menyalahkan diri mereka sendiri atas kejadian tersebut. Pada tahun 1609, Ieyasu melarang warga Jepun untuk berkunjung ke Makau:

kerana adanya kenyataan yang tak diragukan lagi bahwa kepergian warga Jepun dengan kapal-kapal ke Makau dipandang merugikan bagi tempat itu, perbuatan ini selanjutnya akan dilarang keras di masa mendatang. (25 Juli 1609, Ieyasu Shuinjo, dikirimkan ke Mateo Leitão)[6]

India sunting

 
Tenjiku Tokubei, abad ke-17.

Petualang Jepun Tenjiku "India" Tokubei tercatat telah bepergian ke Siam dan India di atas kapal mohor merah bersama Jan Joosten. Sekembalinya ke Jepun, Tokubei menulis esai yang berjudul "Tenjiku Tōkai Monogatari" (Hubungan-hubungan dalam kisah perjalanan ke India) yang menceritakan petualangannya di berbagai negeri asing, yang kemudian menjadi sangat populer di Jepun. Ia kadang-kadang disebut sebagai Marco Polo dari Jepun.

Tujuan-tujuan lainnya sunting

Tujuan-tujuan utama lainnya dari pelayaran kapal mohor merah antara lain termasuk Cochinchina (74 kapal), Kamboja (44 kapal), Taiwan (35 kapal), dan Annam di Vietnam (14 kapal).

Arti penting sunting

Sebanyak 350 kapal mohor merah yang tercatat antara tahun 1604 dan 1634, atau rata-rata sekitar 10 kapal per tahun, dapatlah diperbandingkan dengan kunjungan tunggal carrack Portugis dari Makau ke Nagasaki setiap tahunnya, meskipun carrack tersebut bertonase besar (2-3 kali ukuran kapal mohor merah) dan memiliki kargo beraneka ragam sutra yang diperoleh secara langsung dari Cina.

Eksport Jepun 1604-1639
(Daripada "Red Seal Ships", Nagazumi Yoko)
Jenis Jumlah
kapal
(Purata
setahun)
Di mana:
Isi padu
Eksport perak
(dlm kg Perak)
Kapal mohor merah 10 1,053,750 843,000
Kapal Portugis 1 813,375 650,700
Kapal Cina N/A 429,825 343,860
Kapal Belanda 3 286,245 228,996
Jumlah 2,583,195 2,066,556

Perbandingan dapat juga dilakukan terhadap kantor dagang Inggeris di Hirado, yang hanya dikunjungi empat kapal dari Inggeris dalam kurun 10 tahun (selama keberadaannya antara tahun 1613 dan 1623), yang secara umum berkargo barang-barang yang tidak berharga tinggi. Agar dapat bertahan hidup, kantor dagang tersebut bahkan terpaksa harus memanfaatkan perdagangan antara Jepun dan Asia Tenggara di bawah sistem mohor merah, dan mereka menjalankan tujuh ekspedisi yang empat di antaranya ditangani oleh William Adams.

Shogun Jepun sangat menentang Sepanyol, dan kerana Sepanyol pun sangat enggan mengalihkan sumber daya pelayarannya antara wilayah-wilayah yang jauh, maka selain beberapa kapal galiung Manila yang karam di pantai Jepun, kira-kira hanya satu kapal Sepanyol yang dikirim ke Jepun setiap tahunnya untuk berdagang. Sepanyol memiliki sebuah pangkalan yang kecil di Uraga, dan William Adams pernah ditugaskan beberapa kali untuk menjual kargo mereka.

Hanya pelayaran Cina lah yang tampaknya cukup penting selama tahun-tahun terakhir dari Dinasti Ming. Richard Cocks, kepala kantor dagang Inggeris di Hirado, melaporkan bahwa 60-70 jung Cina mengunjungi Nagasaki pada tahun 1614, yang diawaki para oleh penyelundup Fukien.

Padre Valentim de Carvalho, seorang kepala misi Yesuit, pada tahun 1612 menyatakan bahwa kunjungan tahunan "Kapal Besar" dari Macau secara keseluruhan membawa 1.300 kuintal sutra, yang mana 5.000 kuintal dibawa oleh kapal-kapal mohor merah dan kapal-kapal dari Cina dan Manila.

Akhir sistem sunting

Pada 1635, Keshogunan Tokugawa yang khawatir terhadap pengaruh agama Kristen, melarang warga Jepun untuk melakukan perjalanan luar negeri, dan dengan demikian mengakhiri periode perdagangan mohor merah. Langkah ini diam-diam disetujui oleh orang-orang Eropa, khususnya Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda, yang menyadari bahwa persaing mereka dengan demikian menjadi berkurang.

Lintasan waktu sunting

  • 1543 - Pelaut Portugis (di antaranya kemungkinan adalah Fernão Mendes Pinto) sampai di Tanegashima dan memperkenalkan senapan kopak (arquebus).
  • 1570 - Bajak laut Jepun menguasai sebagian wilayah Taiwan, yang menjadi pangkalan mereka untuk merompak Cina.
  • 1577 - Kapal-kapal pertama Jepun berlayar ke Cochinchina (Vietnam selatan).
  • 1588 - Pelarangan perompakan wakō oleh Hideyoshi.
  • 1592 - Penyebutan tercatat pertama kalinya mengenai kapal-kapal mohor merah.
  • 1600 - William Adams mencapai Jepun pada bulan April.
- Olivier van Noort bertemu dengan sebuah jung Jepun berbobot 110 ton di Filipina pada bulan Desember.
  • 1604 - Bukti izin mohor merah tertua yang masih bisa ditemukan.
  • 1609 - Belanda membuka kantor dagang di Hirado.
  • 1613 - Inggris membuka kantor dagang di Hirado.
- Hasekura Tsunenaga berangkat untuk menjalankan misi kedutaannya ke Eropa. Ia kembali pada tahun 1620.
  • 1614 - Pengusiran kaum Yesuit dari Jepun.
- William Adams mulai terlibat perdagangan mohor merah ke Asia Tenggara.

  • 1615 - Yesuit Jepun mulai menyebarkan agama di Indochina.
  • 1621 - Jan Joosten mengelola 10 kapal mohor merah.
  • 1623 - Yamada Nagamasa berlayar dari Siam ke Jepun bersama Duta Besar utusan Raja Siam Sontam. Ia kembali ke Siam pada tahun 1626.
- Jan Joosten tenggelam di Laut Cina Selatan.
  • 1624 - Yesuit Jepun mulai menyebarkan agama di Siam.
- Gangguan dalam hubungan antara Jepun dan Spanyol.
- Kehancuran kapal mohor merah Takagi Sakuemon (高木作右衛門) di Ayutthaya oleh sebuah kapal perang Spanyol.
- Kehancuran koloni Jepun di Ayutthaya oleh serangan pasukan-pasukan Siam.
  • 1633 - Pembentukan kembali koloni Jepun di Ayutthaya (300-400 orang) oleh para pendatang yang kembali dari Indochina.
  • 1634 - Perjalanan Yamada Yahei (山田弥兵衛) dari Japan ke Indochina dan Siam.
  • 1636 - Dikeluarkannya kebijakan Sakoku dan larangan bepergian ke luar negeri atau kembali dari luar negeri untuk warga Jepun.

Lihat juga sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ "Histoire du Japon", p. 72, Michel Vie, ISBN 2-13-052893-7
  2. ^ Boxer, The Christian Century, hlm. 268
  3. ^ Yoko Nagazumi
  4. ^ Ishii Yoneo, Multicultural Japan
  5. ^ Stephen Turnbull, Fighting ships of the Far East, hlm. 12, Osprey Publishing
  6. ^ Boxer, The Christian Century, hlm. 272

Rujukan sunting

  • (Jepun) Yoko Nagazumi, Red Seal ships, 2001, 永積洋子 「朱印船」2001 日本歴史会館, Japan Historical Society ISBN 4-642-06659-4
  • (Inggeris) Boxer, The Christian century in Japan 1549-1650 Carcanet ISBN 1-85754-035-2
  • (Inggeris) Stephen Turnbull, Fighting Ships of the Far-East, Osprey Publishing, ISBN 1-84176-478-7

Pautan luar sunting