Pemulihan Kemmu (atau Kenmu) (Jepun: 建武の新政, Hepburn: Kemmu no shinsei) (1333–1336) adalah jangka masa dalam sejarah Jepun yang berlangsung antara zaman Kamakura dan zaman Muromachi. Setelah runtuhnya Keshogunan Kamakura, Maharaja Go-Daigo kembali bertakhta pada tahun 1333, dan mendirikan pemerintahan baru dengan kekuasaan yang terpusat di tangan maharaja. Kemmu adalah nama zaman baru yang dimulai tahun 1334. Istilah "Pemulihan Kemmu" merupakan terjemahan dari istilah serupa, Kemmu no Chūkō (Jepun: 建武の中興, Hepburn: Pemulihan Kemmu) yang digunakan di Jepun hingga sebelum Perang Dunia II. Sebahagian sejarawan juga menyebut tempoh ini sebagai zaman Pemerintahan Kemmu (Jepun: 建武政権, Hepburn: Kemmu seiken).


Sejarah Jepun

Glosari

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan autokrasi yang dijalankan Maharaja Go-Daigo melanda kalangan samurai. Maharaja Go-Daigo akhirnya ditumbangkan Ashikaga Takauji pada tahun 1336 yang sekaligus menandai berakhirnya zaman Pemulihan Kemmu.

Latar belakang sunting

Keruntuhan Keshogunan Kamakura sunting

Sepanjang paruh kedua zaman Kamakura, pemerintah Keshogunan Kamakura berada di tangan keluarga Tokusō dari puak Hōjō, sedangkan kekuasaan berada di tangan puak Nagasaki yang menjabat Naikanrei (pelayan puak Hōjō). Sejak peristiwa Serbuan Mongolia terhadap Jepun (1274 dan 1281), situasi politik dalam negeri menjadi tidak stabil. Kelompok antipemerintah mulai bergerak di berbagai provinsi. Keshogunan secara bertahap juga mulai kehilangan dukungan dari kalangan samurai. Keshogunan Kamakura memberlakukan sistem Ryōtōtetsuritsu yang menetapkan maharaja dari garis keturunan Daikaku-ji dan garis keturunan Jimyō-in dapat naik tahta secara bergantian. Pada tahun 1318, maharaja Go-Daigo yang berasal dari garis keturunan Daikaku-ji naik tahta. maharaja Go-Daigo menginginkan kembalinya sistem pemerintahan yang kekuasaannya secara langsung berada di tangan maharaja seperti rezim Engi-Tenryaku yang dijalankan maharaja Murakami dan maharaja Daigo di zaman Heian. Secara diam-diam, maharaja Go-Daigo bermaksud menumbangkan Keshogunan Kamakura.

Rencana maharaja Go-Daigo menumbangkan keshogunan terbongkar hingga dua kali: Insiden Shōchū tahun 1324 dan Insiden Genkō tahun 1331. Setelah terjadinya Insiden Genkō, maharaja Go-Daigo ditangkap dan diasingkan ke Pulau Oki (1331). Sebagai penggantinya, Keshogunan Kamakura mengangkat maharaja Kōgon dari garis keturunan Jimyō-in sebagai maharaja yang baru.

Sementara itu, Keshogunan Kamakura harus menghadapi perlawanan yang dipimpin Akamatsu Norimura (Akamatsu Enshin) dari Harima dan Kusunoki Masashige dari Kawachi (sekutu maharaja Go-Daigo dalam menumbangkan keshogunan). Norimura merupakan pendukung putera Morinaga (putra maharaja Go-Daigo) yang baru kembali ke istana setelah menjalani kehidupan sebagai biksu. Kekuatan militer untuk menumbangkan keshogunan mulai terkumpul di berbagai provinsi, setelah membelotnya dua orang gokenin yang berasal dari keshogunan, Nitta Yoshisada dari Kōzuke, dan Ashikaga Takauji dari Shimotsuke.

Pada tahun 1333, maharaja Go-Daigo meloloskan diri dari Pulau Oki, dan dijemput Nawa Nagatoshi yang berasal Provinsi Hōki. Perlawanan untuk menumbangkan keshogunan dipimpin maharaja Go-Daigo dari Gunung Senjō, Provinsi Hōki. Pasukan Ashikaga Takauji menghancurkan Rokuhara Tandai di Kyoto. Sementara itu, Nitta Yoshisada menyerang Kamakura dan menewaskan Hōjō Takatoki beserta anggota keluarga puak Hōjō. Setelah Keshogunan Kamakura tumbang, puak Akamatsu dan puak Kusunoki menjemput maharaja Go-Daigo untuk kembali menduduki tahta kemaharajaan di Kyoto.

Pemerintah baru maharaja Go-Daigo sunting

maharaja Go-Daigo menurunkan maharaja Kōgon dari tahta, dan kembali bertahta sebagai maharaja. maharaja Go-Daigo menyatakan nama zaman yang digunakan maharaja Kōgon tidak berlaku lagi. Takasukasa Fuyunori dipecat dari jabatannya sebagai Kampaku, dan jabatan Kampaku dihapus.

Di ibu kota, Ashikaga Takauji yang berjasa memimpin penyerbuan ke Rokuhara bersama putera Morinaga meminta masing-masing pemerintah provinsi untuk mengirimkan pasukan untuk mengamankan Kyoto. Sementara itu, maharaja Go-Daigo mengangkat Ashikaga Takauji sebagai Chinjufu Shōgun. putera Morinaga yang cemas terhadap kekuatan Ashikaga Takauji mengundurkan diri ke Gunung Sigi di Nara, dan mulai membatasi ruang gerak Takauji dan pengikutnya. Sebagai tindakan kompromi, maharaja Go-Daigo mengangkat putera Morinaga sebagai Sei-i Taishogun.

Sepanjang tahun 1333, maharaja Go-Daigo mengeluarkan berbagai perintah maharaja mengenai hak kepemilikan tanah dan proses peradilan yang terkait, seperti peniadaan semua tanah feodal (Kyūryō Kaifuku-rei), penyitaan tanah milik kuil, penyitaan tanah musuh maharaja, dan keputusan pengadilan sehubungan dengan perselisihan tanah semata-mata berada di tangan maharaja. Pada pertengahan tahun 1333, maharaja Go-Daigo menetapkan bahwa hanya seluruh anggota puak Hōjō yang dianggap sebagai musuh maharaja, sedangkan pemeliharan ketertiban di daerah dipercayakan kepada pejabat kokushi.

Selain itu, maharaja Go-Daigo mendirikan lembaga peninjauan keputusan kebijakan yang diambil pemerintah (Kiroku-jo), lembaga urusan pemberian hadiah balas jasa (Onjō-kata), dan lembaga peradilan perkara agraria (Zasso Ketsudansho). Dalam usaha memperkuat kekuasaan maharaja di wilayah Kanto hingga wilayah Tohoku, maharaja Go-Daigo menugaskan Kitabatake Akiie ke Provinsi Mutsu sebagai pendamping militer putera Noriyoshi. Akiie juga diangkat sebagai Chinjufu Shogun sekaligus penguasa Mutsu (Mutsu no Kami). Penugasan Akiie ke Mutsu ditemani ayahnya, Kitabatake Chikafusa, dan keduanya mendirikan kantor regional shogun Mutsu (Mutsu Shōgunfu). Pada awal tahun 1334, adik Ashikaga Takauji, Ashikaga Tadayoshi ditugaskan sebagai pendamping militer bagi putera Narinaga (putra maharaja Go-Daigo), dan pergi bersamanya ke Kamakura untuk mendirikan kantor regional shogun Kamakura (Kamakura Shōgunfu).

putera Tsunenaga dari ibu bernama Ano Yasuko diangkat sebagai putra mahkota dalam upacara yang berlangsung pada hari tahun baru 1334. Selain itu, nama zaman diganti menjadi zaman Kemmu. Pemerintah baru maharaja Go-Daigo melakukan sensus agraria. Sensus tersebut dilakukan sehubungan dengan rencana pemungutan pajak baru yang besarnya 5 persen. Uang hasil pajak menurut rencana digunakan untuk membangun istana maharaja yang baru. maharaja Go-Daigo memiliki rencana mengeluarkan uang kertas baru (disebut Chohei) dan uang logam baru. Selain itu, pemerintah bermaksud mengeluarkan mata uang baru (disebut Kenkon Tsūhō) dan surat perintah untuk itu sudah dikeluarkan, namun hingga sekarang surat tersebut belum ditemukan. Masalah yang dihadapi pemerintah baru maharaja Go-Daigo akhirnya terungkap ke permukaan. Wewenang masing-masing lembaga pemerintah yang baru didirikan (seperti Kiroku-jo) ternyata saling bertabrakan, dan mulai timbul kekacauan. Lembaga-lembaga tersebut kewalahan dalam menghadapi klaim serta tuntutan atas kepemilikan tanah, dan permintaan hadiah tanda jasa sesuai perintah yang dikeluarkan maharaja Go-Daigo.

Dalam usaha sentralisasi pemerintahan, maharaja Go-Daigo menghapus sejumlah jabatan di daerah. Selain itu, maharaja Go-Daigo memecat putera Morinaga dari jabatannya sebagai shogun. Setelah dituduh berniat menggulingkan Ashikaga Takauji, putera Morinaga ditangkap dan diasingkan ke Kamakura.

Keruntuhan pemerintah baru sunting

Pertengahan tahun 1335, pejabat kuge Saionji Kinmunedan kawan-kawan terungkap bersengkongkol untuk menggulingkan pemerintah. Mantan maharaja Go-Fushimi dari garis keturunan Jimyō-in diduga berada di balik persekongkolan ini. Saionji Kinmune masih memiliki hubungan dengan puak Hōjō, dan menyembunyikan Hōjō Yasuie (adik Hōjō Takatoki). Pada akhirnya, Kinmune dihukum mati kerana usaha pembunuhan maharaja Go-Daigo yang gagal, sedangkan Hōjō Yasuie melarikan diri dan mengumpulkan sisa-sisa kekuatan puak Hōjō di daerah.

Setelah runtuhnya Keshogunan Kamakura, di berbagai daerah marak dengan kegiatan pemberontak, khususnya di provinsi yang dulunya diperintah puak Hōjō. Di Provinsi Shinano terjadi pemberontakan yang dipimpin Hōjō Tokiyuki (putra almarhum Hōjō Takatoki) bersama sang paman, Hōjō Yasuie. Keduanya berhasil menduduki Kamakura, dan mengusir penguasa Kamakura, Ashikaga Tadayoshi dalam peristiwa yang disebut Pemberontakan Nakasendai.

Ashikaga Takauji ingin berangkat ke Kamakura untuk memadamkan pemberontakan. Takauji meminta maharaja Go-Daigo untuk mengangkatnya sebagai Sei-i Taishogun dan mengeluarkan perintah penangkapan atas Hōjō Tokiyuki. maharaja Go-Daigo tidak mengabulkan permintaan Takauji, dan justru mengangkat putera Narinaga sebagai Sei-i Taishogun.

Takauji tetap berangkat Kamakura walaupun tidak mendapat surat perintah dari maharaja. maharaja Go-Daigo akhirnya mengangkat Ashikaga Takauji sebagai Seitō Shōgun. Di Kamakura, Pasukan Ashikaga berhasil mengusir pasukan Hōjō Tokiyuki, tapi Ashikaga Takauji terus menduduki Kamakura dan tidak mau kembali ke Kyoto. Takauji membangkang surat perintah maharaja Go-Daigo yang memerintahkannya kembali ke Kyoto. Dengan caranya sendiri, Takauji memberi hadiah kepada samurai yang menjadi anak buahnya. Tanah milik puak Nitta di wilayah Kanto disitanya dengan sewenang-wenang dan dibagi-bagikan kepada anak buahnya. Dalam pernyataannya, Takauji mengatakan bahwa di antara samurai yang setia terhadap maharaja, Nitta Yoshisada (kepala kantor prajurit Mushadokoro) yang memiliki kekuatan militer yang terbesar adalah pihak yang berbahaya bagi maharaja. Berdasarkan alasan tersebut, Takauji meminta izin maharaja Go-Daido untuk menghancurkan Nitta Yoshisada dan pengikutnya.

Permintaan Takauji tidak dikabulkan maharaja Go-Daigo. Sebaliknya, maharaja Go-Daigo mengirimkan Nitta Yoshisada dan pasukan untuk menghabisi Takauji. Namun pasukan Nitta justru mengalami kekalahan besar dalam pertempuran melawan pasukan Ashikaga. Bulan pertama tahun 1336, pasukan Ashikaga memasuki Kyoto, sedangkan maharaja Go-Daigo melarikan diri ke Gunung Hiei. Namun, Takauji dan pasukan Ashikaga kembali diusir untuk sementara dari Kyoto oleh Nitta Yoshisada dengan bantuan Kitabatake Akiie dan pasukan yang diturunkan dari Ōshu. Ashikaga Takauji dan pasukannya mengundurkan diri hingga ke Kyushu, namun kembali memberangkatkan pasukan ke Kyoto setelah menerima perintah mantan maharaja Kōgon (dari garis keturunan Jimyō-in). Setelah pasukan kemaharajaan takluk dalam Pertempuran Minatogawa di Provinsi Harima, pasukan Ashikaga kembali berhasil merebut ibu kota Kyoto, dan sekaligus menandai berakhirnya periode Restorasi Kemmu yang berlangsung selama dua setengah tahun.

Setelah menguasai Kyoto, Ashikaga Takauji mendirikan Istana Utara (Hokuchō) di Kyoto dengan maharaja Kōmyō sebagai maharaja. Di pihak yang berlawanan, maharaja Go-Daigo mengutus putranya, putera Kaneyoshi ke Kyushu sebagai Seisei Shōgun, dan menugaskan Nitta Yoshisada ke Hokuriku di bawah komando putera Tsunenaga dan putera Takanaga. Selanjutnya, maharaja Go-Daigo turun dari Gunung Hiei, dan berdamai dengan pihak Ashikaga. Tiga Harta Suci diserahkannya kepada maharaja Kōmyō. Namun maharaja Go-Daigo meloloskan diri dari Kyoto, dan mendirikan Istana Selatan (Nanchō) di Nara. maharaja Go-Daigo menyatakan Tiga Harta Suci yang berada di tangan maharaja Kōmyō sebagai barang palsu, dan mengklaim dirinya sebagai maharaja yang sah. Masa Jepun terbelah dua menjadi Istana Selatan dan Istana Utara disebut zaman Nanboku-cho (zaman Istana Utara-Istana Selatan) yang berlangsung sekitar 60 tahun hingga bersatunya Istana Selatan dengan Istana Utara pada tahun 1392.

Bahan bacaan sunting

Pautan luar sunting