Kraton Kacirebonan

Kraton Kacirebonan ialah Kraton (istana sultan) tertua di Indonesian kota Cirebon. Ia telah wujud sejak tahun 1807. Bangunan kolonial ini telah menempatkan banyak peninggalan sejarah seperti Keris, Wayang kulit, peralatan perang, Gamelan alatan dan lain-lain. Kacirebonan berada di kawasan Desa Pulasaren Kecamatan Pekalipan, tepatnya 1 kilometer barat daya Keraton Kasepuhan dan kurang lebih 500 meter di sebelah selatan Keraton Kanoman. Kraton Kacirebonan terletak dari utara ke selatan (seperti istana-istana lain di Cirebon) dengan luas tanah sekitar 46,500 meter persegi.[1]

Keraton-kacirebonan

Sejarah sunting

Sejarah bermula apabila Pangeran Sultan Kacirebonan Raja Kanoman, pewaris takhta Kesultanan Kanoman bergabung dengan rakyat Cirebon menolak cukai yang dikenakan oleh Belanda. Pemakaian cukai ini membawa kepada pemberontakan rakyat di beberapa tempat. Akibatnya, Putera Raja Kanoman telah ditangkap oleh Belanda dan dilemparkan ke dalam kubu Viktoria di Ambon, dilucutkan gelarannya, serta dilucutkan sebagai Sultan Kanoman. Namun, kerana perlawanan rakyat Cirebon belum reda, Belanda akhirnya membawa pulang Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon untuk menamatkan pemberontakan. Kedudukan bangsawan Putera Raja Kanoman dikembalikan, tetapi hak ke atas Kesultanan Kanoman tetap dicabut. Sekembalinya ke Cirebon pada tahun 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks dan bergelar Sultan Gua Sunyaragi Amiril Mukminin Sultan Muhammad Khaerudin atau Carbon walaupun tidak memiliki istana. Sehingga kematiannya pada tahun 1814, Sultan Carbon kekal konsisten dengan pendiriannya dan menolak pencen daripada Belanda. Carbon ialah isteri Almarhum Sultan bernama permaisuri Raja Resminingpuri yang kemudiannya membina istana Kacirebonan menggunakan wang pencen dari Belanda.[1] Pembentukan Kesultanan Cirebon (1522-1677) erat kaitannya dengan kehadiran Kesultanan Demak. Kesultanan Cirebon didirikan pada tahun 1552 oleh panglima kesultanan Demak, kemudian Sultan Cirebon mangkat pada tahun 1570 dan digantikan oleh putranya yang masih sangat muda saat itu. Berdasarkan berita Pagoda Talang dan Semarang, pengasas terkemuka Kesultanan Cirebon ini dianggap sinonim dengan tokoh pendiri Kesultanan Banten, Sunan Gunung Jati. Sultan Kesultanan Cirebon:

Perpecahan I, pada tahun 1677 Pembagian pertama Kesultanan Cirebon, demikian terjadi pada masa penobatan tiga putra Panembahan Girilaya: Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, di mana kerajaan terbelah. menjadi tiga dan masing-masing memerintah dan menurunkan maharaja seterusnya. Maka, penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

  • Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, bergelar Sultan Muhammad Samsudin Makarimi Sepuh Abil (1677-1703)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, bergelar Sultan Muhammad Badrudin Makarimi Anom Abil (1677-1723)
  • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon bergelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Pangeran Wangsakerta tidak dilantik tetapi hanya Panembahan sultan. Dia tidak mempunyai bidang kuasa atau istana itu sendiri tetapi berdiri sebagai Kaprabonan adalah tempat untuk mempelajari istana intelektual.

Perpecahan II, pada tahun 1807, pengasas Kacirebonan Penggantian sultan Cirebon pada umumnya berjalan lancar, hingga masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), di mana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri untuk membangun kerajaan sendiri sebagai Kesultanan Kacirebonan. . Wasiat Pangeran Raja Kanoman yang didukung oleh pemerintah kolonial Belanda untuk membebaskan Besluit (Belanda: dekrit) Gabenor-Jeneral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan pada tahun 1807 dengan sekatan bahawa anak-anak dan penerusnya tidak. berhak mendapat gelaran sultan, hanya dengan gelaran putera raja. Karena di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, sebagian kecil dari Kesultanan Kanoman. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh pada putera Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Istana Kacirebonan dibina pada tahun 1807 semasa perpecahan kedua Kesultanan. Penggantian sultan Umumnya berjalan lancar, hingga pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), ketika terjadi perpecahan, salah seorang putranya Karena barang, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin membangun Kesultanannya, Kesultanan Kacirebonan bernama.[2][3]

Bangunan utama sunting

Seni bina dan dalaman kraton adalah gabungan Sunda, Jawa, Islam, Cina, Belanda gaya dengan seni bina Eropah. Selepas kemangkatan Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon Amirul Mukminin pada tahun 1814, permaisuri Raja Resminingpuri yang merupakan permaisuri Almarhum Sultan Kacirebonan I tinggal di kawasan Gua Taman Sari Sunyaragi, tetapi dengan mempunyai seorang anak yang masih kecil dan hanya lima kata Pangeran Raja Madenda Hidayat yang kemudiannya menjadi Sultan Kacirebonan II, baginda memutuskan untuk membina istana Kacirebonan di Pulosaren dengan wang pesara yang telah ditolak. Pada awal pembangunan istana Ratu Resminingpuri Kacirebonan menjadikan bangunan utama istana, Paseban dan masjid.[4]

Budaya sunting

Kereta negeri di Keraton Kanoman (kanan) dan Keraton Kasepuhan (kiri), sekitar 1910–1940.

Pada tahun-tahun awal pembentukannya, kesultanan secara aktif mempromosikan Islam. Cirebon menghantar ulama mereka untuk menyebarkan agama Islam ke pedalaman Jawa Barat. Bersama-sama dengan Banten, ia dikreditkan untuk pengislaman orang Sunda di Jawa Barat serta Jawa pesisir. Kerana kesultanan yang terletak di sempadan alam budaya Jawa dan Sunda, Kesultanan Cirebon menunjukkan kedua-dua aspek, tercermin dalam seni dan seni binanya, juga dalam bahasa mereka. Istana Kesultanan Pakungwati memperlihatkan pengaruh seni bina batu bata merah Majapahit. Gaya dan gelar pegawainya juga dipengaruhi oleh budaya kesopanan Mataram Jawa.

Sebagai bandar pelabuhan, Cirebon menarik minat peneroka dari sekitar dan luar negara. Budaya Cirebon digambarkan sebagai budaya Jawa Pasisiran (pantai), serupa dengan budaya Banten, Batavia, Pekalongan, dan Semarang, dengan pengaruh ketara campuran pengaruh Cina, Arab-Islam, dan Eropah. Yang terkenal ialah Cirebon batik dengan warna terang dengan motif dan corak yang menunjukkan pengaruh Cina dan tempatan. Pengaruh Cina boleh dilihat dalam budaya Cirebon, terutamanya corak batik Cirebon Megamendung yang menyerupai imej awan Cina.

Beberapa simbol kerajaan Kesultanan Cirebon menggambarkan warisan dan pengaruh mereka. Panji Kesultanan Cirebon disebut "Macan Ali" (panther Ali) dengan tulisan kaligrafi Arab yang disusun menyerupai panther atau harimau, menggambarkan pengaruh Islam dan juga panji harimau Raja Siliwangi Hindu Pajajaran. Kereta diraja kereta Singa Barong Kasepuhan dan kereta Paksi Naga Liman Kanoman menyerupai chimera tiga haiwan; helang, gajah, dan naga, untuk melambangkan Hinduisme India, Islam Arab, dan pengaruh Cina. Imej Macan Ali, Singa Barong dan Paksi Naga Liman juga sering ditampilkan sebagai corak dalam batik Cirebon.

Peninggalan kesultanan Cirebon; Keraton Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan, dan Kacirebonan kini dijalankan sebagai institusi budaya untuk melestarikan budaya Cirebon. Masing-masing tetap mengadakan upacara adat dan menjadi penaung kesenian Cirebon. Topeng Tarian topeng Cirebon, diilhamkan oleh kitaran Panji Jawa adalah salah satu tarian tradisional Cirebon yang terkenal dan cukup terkenal dalam tarian Indonesia. Walaupun tidak lagi memegang kuasa politik yang sebenarnya, keturunan raja Cirebon tetap dihormati dan dijunjung tinggi di kalangan masyarakat Cirebon.

Pelancongan sunting

Kompleks bangunan keraton Kacirebonan bersama empat keraton lain iaitu, keraton Kasepuhan keraton Kanoman dan Kaprabonan ditetapkan sebagai objek vital yang harus dilindungi. Penilaian itu berdasarkan pertimbangan pihak polis, dengan penilaian pihak polis tempatan diwajibkan meletakkan anggota berkawal di setiap istana termasuk istana Kanoman.[5]

Raja-raja Kraton Kacirebonan sunting

  • Pangeran Arya Cirebon, Kamaruddin (1697–1723) Anak lelaki Sultan Sepuh I
  • Sultan Cirebon I Muhammad Akbaruddin (1723–1734) Anak lelaki
  • Sultan Cirebon II Muhammad Salihuddin (1734–1758) Saudara
  • Sultan Cirebon III Muhammad Harruddin (1758–1768) Anak buah lelaki
  • Sultan Cirebon IV (1808–1810; meninggal dunia pada 1814) Anak lelaki Sultan Anom III

Lihat juga sunting

Bacaan lanjut sunting

  • Turner, Peter (November 1995). Java. Melbourne: Lonely Planet. m/s. 229. ISBN 0-86442-314-4.
  • Guillot, Claude (1990). The Sultanate of Banten. Gramedia Book Publishing Division. ms. 17.
  • Guillot, Claude (1990). The Sultanate of Banten. Gramedia Book Publishing Division. ms. 18.
  • Schoppert, P., Damais, S., Java Style, 1997, Didier Millet, Paris, ms. 46–47, ISBN 962-593-232-1
  • Stokvis (1888); Sulendraningrat (1985); Sunardjo (1996), ms. 81.

Rujukan sunting

Templat:Palaces in Indonesia Templat:Tourist attractions in Indonesia