Mitologi Yunani adalah satu mitos dan legenda yang kepunyaan Yunani purba mengenai dewa dan pahlawan mereka, sifat dunia, dan asal-usul dan makna kultus dan upacara amalan keagamaan. Mitologi adalah sebahagian daripada agama dalam Yunani purba. Sarjana moden merujuk pada mitos-mitos dan mempelajarinya dalam usaha untuk menyoroti institusi keagamaan dan politik Yunani purba, peradabannya, dan untuk memperoleh pemahaman tentang sifat kewujudan mitos itu sendiri.[1]

Patung Zeus di Otricoli (Sala Rotonda, Museo Pio-Clementino, Vatican)
Tritunggal Yunani dan pengedaran tiga kerajaan Bumi: Zeus God (Heaven), Poseidon (Laut dan lautan) dan Hades (Underworld). Theos (tuhan-tuhan kecil) adalah anak-anak triniti ini.
Plak dengan nombor-nombor upacara keagamaan daripada Misteri Eleusius -Muzium Arkeologi Kebangsaan, Athèns

Mitologi Yunani terwujud secara jelas dalam koleksi besar karangan tetapi tersirat dalam hasil seni seperti lukisan pasu dan hadiah nazar. Mitos Yunani menjelaskan asal-usul dunia dan butiran kehidupan serta pengembaraan pelbagai dewa, dewi, pahlawan, wirawati, dan makhluk mitos. Hal ini awalnya disebarkan secara lisan; hari ini mitos Yunani amat dikenali terutama daripada sastera Yunani.

Sumber sastera Yunani tertua yang diketahui iaitu puisi epik Illiad dan Odyssey memfokuskan kepada peristiwa-peristiwa sekitar Perang Troy. Dua puisi karya Homer ini menyerupai karya kontemporari Hesiod bertajuk Theogony dan Pekerjaan dan Hari yang mengandungi pernyataan tentang asal-usul dunia, kejayaan dewa-dewi, kejayaan zaman manusia, asal-usul kesengsaraan manusia, dan asal-usul amalan korban. Terdapat juga mitos yang tersimpan dalam Nyanyian Rohani Homer, dalam pecahan-pecahan puisi epik dari Epic Cycle, melalui lirik puisi, dalam karya-karya Tragedi dari abad ke-5 SM, dalam tulisan-tulisan para cendiakawan dan penyair dari zaman Hellenistik dan dalam teks-teks dari zaman Empayar Rom oleh para penulis seperti Plutarch dan Pausanias.

Penemuan arkeologi menyediakan sumber utama perincian tentang mitologi Yunani, dengan dewa-dewa dan pahlawan menonjol dalam hiasan pelbagai artifak. Rekaan geometri pada tembikar dari abad ke-8 SM menggambarkan adegan perang Trojan serta pengembaraan Heracles. Ketika melepasi zaman Arkaik, Klasik, dan Hellenistik, Homer dan pelbagai adegan mitologi muncul, melengkapi bukti sastera yang ada.[2]

Mitologi Yunani telah memberikan pengaruh yang luas terhadap budaya, seni, dan sastera tamadun Barat lalu tetap menjadi sebahagian daripada warisan budaya dan bahasa tersebut. Penyair dan seniman dari zaman dahulu sehingga sekarang telah mendapat inspirasi daripada mitologi Yunani dan telah menemui erti dan kesesuaian kontemporari dalam tema-tema mitologi.[3]


Mitologi sunting

Zaman para dewa sunting

 
Pengebirian Uranus: lukisan dinding oleh Vasari & Cristofano Gherardi (c. 1560, Sala di Cosimo I, Palazzo Vecchio, Firenze).

Kosmogoni dan kosmologi sunting

"Mitos asal-usul" atau "mitos penciptaan" melambangkan usaha untuk menguraikan alam semesta dan menjelaskan asal mula dunia supaya dapat dipahami oleh akal manusia.[4] Versi yang paling banyak diterima pada saat ini, meskipun merupakan suatu kisah falsafi mengenai asal usul segala sesuatu, diceritakan oleh Hesiodos, dalam karyanya Theogonia. Dia mulai dengan Khaos, suatu entitas yang tak berbentuk dan msterius. Dari Khaos ini muncullah Gaia atau Gê (dewi bumi) serta beberapa makhluk dewata primer lainnya, di antaranya adalah Eros (Cinta), Tartaros (Perut bumi), Erebos (Kegelapan), dan Niks (Malam). Niks bercinta dengan Erebos dan melahirkan Aither (Langit atas) dan Hemera (Siang).[5] Tanpa pasangan pria, Gaia melahirkan Uranus (dewa langit) dan Pontos (dewa laut). Uranus kemudian menjadi suami Gaia. Dari hubungan mereka, terlahirlah para Titan pertama, yang terdiri dari enam Titan pria iaitu Koios, Krios, Kronos, Hiperion, Iapetos, dan Okeanos, serta enam Titan wanita iaitu Mnemosine, Foibe, Rea, Theia, Themis, dand Tethis. Setelah Kronos lahir, Gaia dan Uranus memutuskan bahawa tidak ada Titan lagi yang boleh lahir. Anak-anak Gaia dan Uranus yang lahir kemudian adalah para Kiklops (raksasa bermata satu) dan Hekatonkheire (raksasa bertangan seratus). Karena memiliki rupa yang mengerikan, para Kiklops dan Hekatonkheire dikurung oleh Uranus.[6] Gaia marah atas tindakan Uranus dan mengajak para Titan untuk memberontak melawan Uranus. Kronos, anak Gaia yang "paling cerdik, muda, dan mengerikan",[5] melaksanakan perintah Gaia dan dia pun memotong alat kelamin ayahnya sendiri. Setelah itu Kronos menjadi penguasa para dewa dengan Rea, yang merupakan kakak sekaligus istrinya, sebagai pasangannya, dan para Titan yang lain menjadi anak buahnya.

 
Kronos Menelan Anaknya, menggambarkan Kronos yang sedang memakan bayi Poseidon. Lukisan oleh Peter Paul Rubens.

Kisah mengenai konflik antara ayah dan anak kembali terulang ketika Kronos dikonfrontasi oleh anaknya, Zeus. Ini bermula dari rasa takut ronos. Karena Kronos telah mengkhianati ayahnya, dia takut bahawa keturunannya akan melakukan hal yang sama. Jadi tiap kali Rea melahirkan, Kronos merebut bayinya dan menelannya. Rea marah atas tindakan suaminya dan memutuskan untuk melakukan suatu tipuan. Setelah melahirkan Zeus, Rea langsung menyembunyikannya dan memberikan batu yang terbungkus kain pada Kronos, yang langsung saja menelannya. Setelah dewasa, Zeus berhasil memperdaya Kronos untuk meminum suatu ramuan yang mengakibatkan Kronos memuntahkan semua anak-anak yang pernah ditelannya. Zeus lalu menyatakan perlawanan terhadap Kronos untuk merebut kepemimpinan para dewa. Pada akhirnya, dengan bantuan para Kiklops dan Hekatonkheire (yang dibebaskan oleh Zeus) serta melalui Titanomakhia (perang Titan) selama sepuluh tahun, Zeus dan saudara-saudarinya memperoleh kemenangan. Sementara itu Kronos dan para Titan pria, kecuali Atlas, dikurung di Tartaros.[7] Atlas sendiri memperoleh hukuman khusus, yakni dia mesti memikul langit.

 
Amphora berfigur hitam yang menggambarkan dewi Athena sedang "lahir" dari kepala Zeus, yang sudah menelan Metis, sementara itu dewi kelahiran, Eileithiia, berada di bahagian kanan, 550–525 SM (Museum Louvre, Paris).

Zeus juga dihinggapi rasa kehawatiran yang sama, dan, setelah adanya ramalan bahawa putera dari isteri pertamanya, Metis, akan menjadi dewa yang lebih kuat dari Zeus, maka Zeus pun menelan Metis. Ketika ditelan oleh Zeus, Metis sedang hamil. Setelah menelan Metis, Zeus mengalami sakit kepala yang luar biasa. Kemudian dari kepala Zeus terlahirlah dewi Athena yang sudah mengenakan baju perang lengkap. "Kelahiran" dari Zeus ini digunakan sebagai alasan mengapa Zeus tidak "digantikan" oleh dewa dari generasi selanjutnya, tetapi Zeus tetap tercatat sebagai asal-mula munculnya Athena. Ada kemungkinan bahawa ketika kisah ini muncul, perubahan kultural sudah berlangsung dan menyerap kultus lokal yang sudah berjalan lama mengenai pemujaan dewi Athena di kota Athena. Pemujaan itu kemudian berubah menjadi pantheon dewa-dewa Olimpus, dan proses perubahnnya sendiri terjadi tanpa konflik.

Orang Yunani yang memikirkan mengenai sajak menganggap bahawa theogonia (silsilah, kelahiran, dan lahirnya silsilah para pemimpin Dewa dan Dewi Yunani) sebagai genre puitis prototipe-mythos prototipikal—dan menghubungkan banyak kekuasaan di dalamnya. Orpheus, seorang penyair arketipal, juga merupakan seorang penyanyi arketipal theogonia. Dalam Argonautika buatan Apollonios, dikisahkan bahawa Orfeus menggunakan sajak-sajak theogonia untuk menenangkan lautan dan badai, juga untuk menggerakkan hati keras milik para dewa dunia bawah dalam perjalanannya ke dunia bawah. Dalam Himne Homeros untuk Hermes, ketika Hermes menciptakan lira, hal yang pertama kali dia lakukan adalah bernyanyi tentang kelahiran para dewa.[8] Theogonia buatan Hesiodos bukan hanya naskhah yang masih bertahan yang menceritakan mengenai para dewa, namun juga naskhah terlengkap yang masih ada yang menggambarkan fungsi penyair arkais. Theogonia sendiri diawali dengan doa pembuka yang ditujukan untuk para Mousai. Cerita theogonia merupakan subjek dari banyak sajak yang hilang, termasuk sajak-sajak yang dipercaya ditulis oleh Orfeus, Mousaios, Epimenides, Abaris, dan para peramal legendaris lainnya. Kisah-kisah tentang theogonia diyakini pernah digunakan dalam ritual penyucian pribadi dan ritus-ritus misteri. Ada indikasi bahawa Plato tidak asing dengan beberapa versi theogonia Orfik.[9] Namun, informasi mengenai kepercayaan dan ritus keagamaan memang sedikit, selain itu ciri-ciri budaya tersebut tidak akan dibeberkan secaa terbuka oleh para anggotanya ketika kepercayaannya sedang dilakukan. Setelah banyak kepercayaan religius yang menghilang, hanya sedikit orang yang masih mengetahui ritual dan ritusnya. Akan tetapi, kiasan dari rtus-ritus tersebut kadang muncul pada aspek-aspek yang cukup umum.

Penggambaran yang ada pada tembikar dan karya seni keagamaan, ditafsirkan, dan lebih mungkin disalahartikan dalam beragam mitos dan kisah. Beberapa bahagian dari karya-karya ini masih ada dalam bentuk kutipan-kutipan oleh para filsuf Neoplatonis dan baru-baru ini terungkap melalui potongan-potongan papirus. Salah satu adalah Papirus Derveni, yang kini membuktikan bahawa setidaknya pada abad kelima SM ada sebuah sajak theogonia-kosmogoni buatan Orfeus. Sajak tersebut berusaha mengalahkan Theogonia buatan Hesiodos. Dalam sajak tersebut, silsilah para dewanya dapat ditarik kembali sampai kepada Niks (dewi malam) sebagai perempuan permulaan utama yang muncul sebelum Uranus, Kronos, dan Zeus.[10] Disebutkan pula bahawa Malam dan Kegelapan dapat menjadi setara dengan Khaos.

Para kosmolog falsafah dari masa awal banyak yang bereaksi, atau kadang membangun pandangan di atas konsepsi mitos terkenal yang sudah ada di dunia Yunani untuk beberapa waktu tertentu. Beberapa dari konsepsi yang terkenal ini dapat dilihat dari sajak-sajak Homeros dan Hesiodos. Dalam karya-karya Homeros, Bumi adalah piringan datar yang terapung di samudra luas yang disebut Okeanos dan di bahagian atasnya ada langit hemisferikal yang diisi oleh mathari, bulan, dan bintang. Matahari (Helios) mengarungi langit dengan kereta perangnya pada siang hari dan berlayar di Bumi dengan mangkuk emas pada malam hari. Matahari, bumi, langit, sungai dan angin dapat dialamatkan ketika berdoa dan dipanggil untuk mengawasi sumpah. Celah alami yang ada di bumi secara terkenal dianggap sebagai jalan masuk ke dunia bawah, yang merupakan tempat berdiamnya para arwah, yang dipimpin oleh dewa Hades.[11] Sementara itu, pengaruh dari kebudayaan lainnya yang masuk ke Yunani juga selalu menghadirkan tema-tema baru.

Pantheon Yunani sunting

 
Patung Poseidon di Museum Arkeologi Nasional Athena. Poseidon merupakan salah dewa Olimpus.

Berdasarkan mitologi Era Klasik, setelah kekuasaan para Titan dijatuhkan, Pantheon dewa dan dewi baru pun muncul. Salah satu kelompok dewa Yunani yang paling utama adalah para dewa Olimpus, yang tinggal di puncak Gunung Olimpus di bawah kepemimpinan Zeus. Gagasan yang membatasi bahawa jumlahnya harus dua belas kemungkinan berasal dari masa modern.[12] Selain para dewa Olimpus, bangsa Yunani juga menyembah berbagai dewa pedesaan, misalnya dewa-satir Pan dan para nimfa (peri alam), para dewa laut, para satir, dan banyak lagi yang lainnya. Nimfa sendiri terdiri dari para Naiad (nimfa mata air), Driad (nimfa pohon), dan Nereid (nimfa laut). Selain itu, ada juga para dewa di dunia bawah, misalnya para Erinyes (dewa angkara murka), yang dikatakan memburu orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap keluarga sendiri.[13] Untuk menghormati Pantheon Yunani Kuno, para penyair menyusun Himne Homeros (tiga belas sajak untuk para dewa).[14] Gregory Nagy menganggap bahawa "Himne Homeros adalah suatu pembuka sederhana (dibandingkan dengan Theogonia), yang masing-masingnya ditujukan untuk satu dewa yang berbeda-beda'.[15]

Dalam keberagaman yang luas mengenai mitos dan legenda yang terdapat dalam mitologi Yunani, orang Yunani Kuno percaya bahawa para dewa pada dasarnya memiliki tubuh jasmani namun tubuh para dewa adalah tubuh yang ideal. Menurut Walter Burkert, ciri penting dari antropomorfisme Yunani adalah bahawa "para dewa Yunani berwujud orang, dan bukanlah sesuatu yang abstrak, ide ataupun konsep".[16] Menurut Edith Hamilton, penampakan visual sangat penting bagi orang Yunani kuno, jadi penggambaran para dewa yang ideal berasal dari penampakan "keindahan, kekuatan, dan ketangkasan" yang telah diketahui oleh orang Yunani kuno.[17] Terlepas dari bentuk yang mendasari mereka, para dewa Yunani Kuno memiliki banyak sekali kemampuan yang luar biasa, yang paling penting adalah bahawa para dewa tidak dapat terkena penyakit, dan hanya dapat terluka melalui keadaan yang sangat tidak biasa. Orang Yunani menganggap bahawa keabadian adalah karakteristik yang paling unik dari dewa mereka. Keabadian, seperti halnya keadaan awet muda, dihasilkan dari konsumsi nektar dan ambrosia secara terus-menerus. Dengan mengonsumsi itu, darah di pembuluh darah para dewa terus-menerus diperbaharui.[18] Meskipun para dewa jauh lebih berkuasa, orang Yunani tetap menjadikan para dewa itu memiliki beberapa ciri yang manusiawi. Dalam beberapa kasus, ada manusia yang disebut lebih mulia daripada dewa.[17]

Setiap dewa masing-masing memiliki asal-usul, silsilah, minat, ketertarikan, kepentingan, keahlian, kekuasaan dan kepribadian tersendiri. Akan tetapi, penggambaran para dewa muncul dari banyaknya variasi arkais lokal, yang tidak selalu sama antara satu dengan yang lainnya. Ketika dewa-dewa itu disebut dalam sajak, puisi, doa, atau kultus, mereka disebutkan dengan gabungan nama serta julukannya, yang membedakan mereka berdasarkan perbedaan-perbedaan itu dari perwujudan mereka yang lainnya. Salah satu contohnya adalah Apollo Mousagetes, yang artinya adalah "Apollo, pemimpin para Mousai". Selain itu, julukan juga dapat mengidentifikasi aspek yang khusus dan terlokalisasi dari para dewa, kadang-kadang julukan-julukan para dewa dipercaya sudah ada sebelum masa Yunani Klasik.

 
Patung Dionisos dan satir. Dibuat dari marmer. Salinan Romawi (abad ke-2 M) dari patung asli Yunani. Dionisos adalah dewa anggur dan merupakan salah satu dewa yang memiliki karakteristik yang kompleks.

Sebahagian besar dewa dihubungkaitkan dengan titik tertentu dalam kehidupan manusia. Contohnya, Aphrodite adalah dewi cinta dan kecantikan, Ares adalah dewa perang, Hades dewa orang mati, dan Athena dewi strategi perang dan kebijaksanaan.[19] Beberapa dewa, misalnya Apollo dan Dionisos, menunjukkan gabungan fungsi dan keperibadian yang kompleks, sedangkan yang lainnya, seperti Hestia (secara harfiah bermakna "perapian") dan Helios (secara harfiah bermakna "matahari"), tidak lebih dari sekadar personifikasi. kuil-kuil yang paling megah cenderung didedikasikan hanya untuk beberapa dewa saja iaitu dewa-dewa yang menjadi pusat pemujaan dari kultus pan-Hellenik yang besar. Akan tetapi, cukup lazim pula bahawa daerah-daerah dan desa-desa tertentu memiliki pemujaan tersendiri untuk dewa-dewa minor. Banyak pula kota yang menyembah para dewa yang lebih terkenal, dan para dewa itu disembah dengan ritus-ritus lokal serta mitos-mitos aneh yang diasosiasikan dengan mereka dan tidak diketahui di daerah lainnya. Pada zaman pahlawan, kultus pemujaan pahlawan (atau setengah dewa) menjadi pelengkap pemujaan para dewa.

Zaman para dewa dan manusia sunting

Ada masa ketika hanya ada para dewa yang hidup di dunia, dan ada pula masa ketika campur tangan para dewa terhadap kehidupan manusia cukup terbatas. Di antara kedua masa itu, ada masa tradisional ketika para dewa dan manusia hidup bersama-sama. Masa tersebut adalah masa-masa awal dunia ketika kelompok dewa dan manusia dapat bergaul lebih bebas daripada masa-masa setelahnya. Banyak dari cerita mengenai tema tersebut muncul dalam Metamorphoses karya Ovidius. Kisah-kisahnya sering dibagi menjadi dua kelompok cerita tematik iaitu cerita cinta, dan cerita hukuman.[20]

 
Seorang Mainad yang sedang marah, membawa sebuah thirsos dan sekor macan tutul, dengan seekor ular membelit di kepalanya. Tondo dari Kylix Attika Yunani Kuno berlatar putih, 490-480 SM.

Kisah cinta seringkali melibatkan hubungan sedarah, atau hubungan seksual atau perkosaan yang dilakukan oleh dewa terhadap manusia perempuan. Hasil dari hubungan antara dewa dan manusia adalah manusia setengah dewa atau yang sering disebut pahlawan. Kisah-kisah yang ada secara umum menunjukkan bahawa hubungan antara dewa dan manusia adalah sesuatu yang perlu dihindari. Hubungan cinta dewa-manusia jarang ada yang berakhir bahagia.[21] Dalam beberapa kasus, ada pula dewi yang menjalin hubungan dengan manusia pria, seperti misalnya dalam Himne Homeros untuk Afrodit, yang menceritakan bahawa dewi Afrodit berhubungan seksual dengan Ankhises dan melahirkan Aineias.[22]

Kisah jenis kedua adalah kisah hukuman iaitu kisah yang melibatkan kemunculan atau penemuan beberapa artefak budaya yang penting, seperti misalnya ketika Prometheus mencuri api dari para dewa, ketika Tantalos mencuri nektar dan ambrosia dari meja makan Zeus dan memberikannya pada anak buahnya dan dengan demikian dia telah membeberkan rahasia para dewa, ketika Prometheus atau Likaon menciptakan ritual kurban, ketika Demeter mengajarkan pertanian dan Misteri kepada Triptolemos, atau ketika Marsias menciptakan aulos dan mengikuti kontes musik melawan Apollo. Ian Morris berpendapat bahawa kisah Prometheus merupakan "suatu masa antara sejarah para dewa dan sejarah manusia".[23] Suatu fragmen papirus tanpa nama, berasal dari abad ketiga, secara jelas menggambarkan hukuman dari Dionisos kepada raja Thrakia, Likurgos. Sang raja terlambat menyadari bahawa Dionisos adalah seorang dewa. Akibatnya dia harus menerima hukuman mengerikan bahkan sampai berhujung kematian.[24] Kisah mengenai kedatangan Dionisos, yang mendirikan kultusnya sendiri di Thrakia, juga merupakan subjek dari triologi Aiskhilos.[25] Dalam drama tragedi lainnya iaitu Bakkhai gubahan Euripides, dikisahkan bahawa raja Thebes, Pentheus, dihukum oleh Dionisos kerana dia tidak menghormati sang dewa dan mengintai para Mainad, sekelompok perempuan yang menyembah Dionisos.[26]

Dalam cerita lainnya, berdasarkan suatu motif cerita rakyat lama,[27] serta mengulangi tema yang sama, dikisahkan bahawa Demeter berusaha mencari putrinya, Persefone. Dalam pencariannya, Demeter menyamar menjadi seorang perempuan tua bernama Doso, dan menerima perlakukan yang ramah dari Keleus, Raja Eleusis di Attika. Sebagai balasan atas kebaikan Keleus, Demeter berencana menjadikan bayi lelaki mereka, Demofon, sebagai dewa. Untuk melakukannya, Demeter harus membakar aspek manusia sang bayi. Akan tetapi Demeter tidak sempat menyelesaikan ritualnya kerana ibu sang anak, Metaneira, melihat Demeter sedang menaruh bayinya di atas api. Metaneira menjerit dan Demeter pun marah. Akibatnya sang bayi tidak jadi diubah menjadi dewa.[28]

Zaman Pahlawan sunting

 
Lukisan dinding di Pompeii yang menggambarkan Perseus dan Andromeda. Perseus adalah pahlawan Yunani dari generasi awal.

Zaman yang dikatakan adanya para pahlawan hebat mitologi ini hidup disebut dengan istilah Zaman Pahlawan.[29] Sajak-sajak epik dan genelaogis menciptakan kisah-kisah yang bercerita seputar pahlawan atau peristiwa tertentu, serta memunculkan hubungan antara para pahlawan dari cerita yang berbeda-beda; ceita-cerita itu kemudian disusun secara berurutan. Menurut Ken Dowden, "bahkan ada efek saga: kita dapat mengikuti cerita beberapa keluarga dalam generasi-generasi yang saling berurutan".[30]

Setelah munculnya kultus pemujaan terhadap para pahlawan, maka dewa dan pahlawan disembah dan dipuja bersama-sama dalam ritual yang sakral. Dewa dan pahlawan juga disebut bersama-sama dalam doa dan ikrar yang dialamatkan pada mereka.[31] Berlawanan dengan zaman para dewa, pada zaman pahlawan jumlah para pahlawan tidak dibatasi dan tidak ada daftar tetapnya. Pada masa ini, tidak ada lagi dewa besar yang dilahirkan, namun pahlawan-pahlawan baru selalu ada saja yang muncul. Perbedaan lainnya antara kultus pemujaan pahlawan dan dewa adalah bahawa pahlawan menjadi pusat dari identitas kelompok lokal.[31]

Peristiwa-peristiwa monumental dalam kisah Herakles dianggap sebagai masa-masa akhir dari Zaman Pahlawan. Pada Zaman Pahlawan ini juga terjadi tiga peristiwa besar iaitu ekspedisi para Argonaut, Kitaran Thebes dan Perang Troia.[32]

Herakles dan para Heraklid sunting

Beberapa sejarawan percaya[33] bahawa di balik mitologi Herakles yang sangat rumit mungkin terdapat manusia sungguhan, barangkali seorang pemimpin-pengikut di Kerajaan Argos. Beberapa sejarawan lainnya berpendapat bahawa kisah Herakles adalah alegori untuk perjalanan tahunan matahari, yang melewati dua belas rasi bintang zodiak[34] Sementara yang lainnya merujuk pada mitos-mitos yang lebih awai dari beebapa budaya lainnya, dan menunjukkan bahawa kisah Herakles merupakan adaptasi lokal dari mitos pahlawan yang sudah lebih dulu ada. Pada umumnya, Herakels dikenal sebagai putera dari Zeus dan Alkmene, cucu perempuan Perseus.[35] Perjalanan luar biasa yang dilakukannya sendirian, juga banyaknya tema cerita rakyat yang menyertainya, menghasilkan banyak cerita mengenai Herakles untuk legenda populer. Dia digambarkan sebagai seorang pemberi kurban dan disebut sebagai pendiri altar-altar. Dalam drama komedi Yunani Kuno, dia sering diperlihatkan sebagai seorang pemakan yang rakus. Sedangkan akhir hidupnya yang tragis banyak diceritakan dalam drama tragedi. Menurut Thalia Papadopoulou, drama Herakles gubahan Euripides merupakan "suatu drama yang amat sangat penting dari drama-drama Euripides lainnya".[36] Dalam sastera dan seni, Herakles digambarkan sebagai pria yang sangat kuat dan memiliki tinggi yang sedang. Senjata khasnya adalah panah namun dia juga sering membawa gada. Herakles sangat populer dalam tembikar Yunani Kuno, pertarungannya dengan Singa Nemea diabadikan dalam ratusan lukisan vas, mengindikasikan bahawa dia adalah salah stau pahlawan paling terkenal dalam mitologi Yunani.[37]

 
Herakles dan Kuda-kuda betina Diomedes. Patung kecil buatan J. M. Félix Magdalena.

Herakles juga diadaptasi ke dalam kultus dan mitologi Etruska dan Romawi sebagai Herkules, dan seruan "mehercule" menjadi sama lazimnya bagi orang Romawi seperti halnya "Herakleis" untuk orang Yunani.[37] Di Italia, dia disembah sebagai dewa para saudagar dan pedagang, meskipun beberapa orang lainnya menyembahnya untuk keberuntungan, nasib baik, serta penyelamatan dari marabahaya.[35]

Herakles mencapai martabat sosial yang tinggi melalui pengangkatannya sebagai leluhur resmi para raja Doria. Hal ini barangkali berfungsi sebagai pembenaran bagi suku Doria untuk bermigrasi ke Peloponnesos. Hillos, pahlawan eponim dari satu phyle Doria, menjadi putera Herakles dan merupakan salah satu Herakleidai atau Heraklid. Heraklid sendiri merupakan orang-orang keturunan Herakles, terutama keturunan Herakles melalui Hillos. Para Heraklid di antaranya adalah Makaria, Lamos, Manto, Bianor, Tlepolemos, dan Telefos. Para Heraklid itu menaklukan sejumlah kerajaan di Peloponnesos, antara lain Mikenai, Sparta dan Argos. Menurut legenda, mereka mengklaim bahawa merke punya hak untuk berkuasa dari leluhur mereka. Proses kebangkitan mereka menuju kekuasaan sering disebut sebagai "serangan Doria". Para raja Lydia, dan kelak Makedonia, sebagai penguasa dengan pangkat yang sama, juga termasuk golongan para Heraklid.[38]

Beberapa pahlawan lainnya yang muncul pada masa-masa awal Zaman Pahlawan, misalnya Perseus, Deukalion, Theseus dan Bellerophon, memiliki banyak kesamaan sifat dengan Herakles. Seperti halnya Herakles, mereka juga melakukan petualangan yang fantastis dan sendirian. Petualangan mereka juga menyentuh batas-batas dongeng, kerana mereka menghadapi monster-monster semacam Khimaira, Medusa, dan Minotaur. Petualangan Bellerogon merupakan jenis petualangan yang cukup umum dan mirip dengan petualangan Herakles dan Theseus. Dalam tradisi pahalwan awal, tema yang sering berulang adalah usaha untuk mengirim para pahlawan menuju sesuatu yang berbahaya. Tema ini muncul dalam kisah Perseus dan Bellerofon.[39]

Argonaut sunting

Satu-satunya wiracarita hellenistik yang masih bertahan iaitu Argonautika buatan Apollonios dari Rodos (wiracaritawan, sejarawan, dan pustakawan di Perpustakaan Iskandariyah), menceritakan tentang pelayaran Iason dan para Argonaut untuk memperoleh Bulu Kencana dari tanah Kolkhis yang mitis. Dalam Argonautika, Iason disuruh oleh raja Pelias di istana sang raja untuk melakukan perjalanan, dan Iason pun memulai petualangannya. Hampir semua pahlawan yang hidup pada masa tersebut ikut serta bersama Iason dalan kapal Argo untuk membantu mengambil Bulu Domba Emas. Pahlawan terkenal yang termasuk dalam rombongan Argonaut meliputi Theseus, yang pergi ke Kreta dan membunuh Minotaur; Atalanta, sang pahlawan wanita; dan Meleagros, yang pernah memiliki siklus epik tersendiri menyaingi Iliad dan Odysseia. Pindaros, Apollonios dan Apollodoros berusaha keras untuk memberi daftar lengkap orang-orang yang ikut dalam kelompok perjalanan Argonaut.[40]

Meskipun Apollonios menulis sajaknya pada abad ke-3 SM, penyusunan cerita Argonaut terjadi lebih dulu daripada Odisseia, yang menunjukkan adanya keterkaitan antara Odisseia dengan petualangan luar biasa Iason (sebagian pengembaraan Odisseus mungkin didasarkan pada cerita Argonaut).[41] Pada masa kuno, ekspedisi itu dianggap sebagai fakta sejarah, sebuah insiden dalam proses masuknya perdagangan dan kolonisasi Yunani ke Laut Hitam.[42] Cerita Argonaut juga sangat terkenal dan membentuk suatu siklus yang dikaitkan dengan sejumlah legenda lokal. Cerita Medeia, misalnya, mampu menarik perhatian berbagai penyair tragedi .[43]

Wangsa Atreus sunting

 
Oidipus dan sphinx, tondo dari kylix Attika berfigur merah, 480–470 SM. Oidipus merupakan salah satu pahlawan yang muncul dalam Kitaran Thebes.

Pada zaman antara petualangan Argonaut dan Perang Troia, ada sebuah generasi yang cukup dikenal kerana kejahatannya yang mengerikan. Ini meliputi perbuatan-perbuatan Atreus dan Thiestes di Argos. Di balik mitos tentang wangsa Atreus (yang merupakan satu dari dua dinasti kepahlawanan terpenting bersama dengan wangsa Labdakos) terdapat suatu masalah yang berkutat seputar peralihan kekuasaan serta masalah mengenai kebangkitan menuju kekuasaan. Si kembar Atreus dan Thiestes beserta keturunan-keturunan mereka memainkan peran yang menentukan dalam cerita-cerita tragedi tentang peralihan kekuasaan di Mykenai.[44]

Kitaran Thebes sunting

Kitaran Thebes berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang secara khusus diasosiasikan dengan Kadmos, pendiri kota Thebes, dan di kemudian hari diasosiasikan pula dengan perbuatan-perbuatan Laios dan Oidipus di Thebes. Jadi, Kitaran Thebes adalah serangkaian cerita yang berhujung pada penyerangan terhadap Thebes yang dilakukan oleh tujuh pahlawan Argos dan para Epigoni.[45]

Tidak diketahui apakah kisah Tujuh Melawan Thebes diceritakan dalam wiracarita awal. Mengenai nasib Oidipus, cerita-cerita epik awal tampaknya mengisahkan bahawa dia melanjutkan masa pemerintahannya di Thebes setelah terungkap bahawa Iokaste adalah ibunya, dan kemudian menikahi isteri keduanya, yang melahirkan anak-anak Oidipus. Rincian kisah tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan kisah yang digambarkan melalui drama-drama tragedi, misalnya Oidipus Sang Raja gubahan Sofokles serta naskhah-naskhah mitologi selanjutnya.[46]

Perang Troia sunting

Mitologi Yunani berpuncak pada Perang Troia serta peristiwa-peristiwa setelahnya. Perang Troia terjadi ketika pasukan Yunani menyerang kota Troia di Asia Kecil. Dalam karya-karya Homeros, misalnya Iliad, cerita utamanya sudah memiliki bentuk dan substansi, sedangkan tema-tema individunya baru muncul kemudian, khususnya dalam drama Yunani. Perang ini juga menimbulkan ketertarikan yang besar dalam budaya Romawi kerana adanya kisah mengenai Aineias, seorang pahlawan setempat yang berhasil menyelamatkan diri ketika Troia dihancurkan. Dikisahkan bahawa dalam perjalanannya, Aineias mendirikan kota yang kemudian menjadi kota Roma. Kisah tersebut diceritakan dalam Aeneid karya Virgilus. Buku satu dalam Aeneid sendiri berisi versi paling terkenal mengenai penghancuran Troia.[47] Sumber lainnya mengenai Perang Troia adalah dua pseudo-kronik dalam bahasa Latin yang ditulis atas nama Diktis Kretensis dan Dares Phrygios.[48]

 
Lukisan dinding di istana Achilleion yang menggambarkan Akhilleus sedang menyeret jenazah Hektor menggunakan kereta perangnya. Konflik antara Akhilleus dan Hektor merupakan sebahagian penting dari Iliad, yang menceritakan tentang Perang Troia.

Kitaran Perang Troia, suatu kumpulan wiracarita mengena Perang Troia, dimulai dengan sejumlah peristiwa yang kemudian berhujung pada peperangan, antara lain kisah tentang Eris dan epal emas Kallistinya, Keputusan Paris, penculikan Helene, dan pengurbanan Ifigeneia di Aulis. Untuk mendapat Helene kembali, pasukan Yunani melakukan ekpspedisi besar-besaran di bawah komando saudara Menelaos, yakni Agamemnon, raja Argos atau Mykenai. Namun pihak Troia tidak mau menyerahkan Helene sehingga pasukan Yunani harus menggunakan cara-cara kekerasan. Iliad, yang berlatar pada tahun kesepuluh dalam Perang Troia, mengisahkan persilisihan antara Agamemnon dan Akhilleus, yang merupakan salah satu prajurit Yunani terhebat. Iliad juga menceritakan kematian Patrokhlos, sahabat dan kekasih pria Akhilleus, yang mengabaikan nasihat Akhilleus sehingga pada akhirnya Patroklos dibunuh oleh Hektor, putera sulung Priamos. Akhilleus marah besar dan balas membunuh Hektor. Setelah Hektor meninggal, pihak Troia dibantu oleh dua sekutu tambahan iaitu Penthesileia, ratu suku Amazon, dan Memnon, raja Ethiopia dan putera Eos, dewi fajar.[49] Akhilleus membunuh keduanya, namun kemudian Paris berhasil membunuh Akhilleus dengan cara memanahnya di bahagian tumitnya. Tumit Akhilleus adalah satu-satunya bahagian tubuhnya yang tidak kebal terhadap senjata manusia. Sebelum dapat menaklukan Troia, pasukan Yunani harus terlebih dahulu mengambil Palladium (patung kayu Athena) dari kuil di Troia. Dan pada akhirnya, dengan bantuan dewi Athena, pasukan Yunani membuat sebuah kuda kayu raksasa dan berpura-pura pergi dari Troia. Sebenarnya Kassandra, anak Priamos, sudah memperingatkan bahawa kuda itu berbahaya, akan tetapi rakyat Troia dipengaruhi oleh Sinon, orang Yunani yang berpura-pura telah melepaskan diri dari pasukan Yunani. Rakyat Troia pun membawa kuda itu masuk ke dalam kota sebagai persembahan untuk dewi Athena. Laokoon, seorang pendeta mencuba menghancurkan kuda itu, akibatnya dia tewas dimakan oleh ular laut kiriman Poseidon. Pada malam harinya, armada Yunani kembali ke Troia, sementara para prajurit Yunani yang berdiam dalam kuda kayu keluar dan membuka gerbang Troia. Malam itu pun menjadi malam kehancuran untuk Troia. Priamos dan semua anaknya dibantai, sedangkan semua wanita Troia dijadikan budak dan dijual ke berbagai kota di Yunani.

Dua wiracarita kuno iaitu Nostoi ("Kembali") yang kini hilang dan Odisseia karya Homeros, menceritakan perjalanan pulang para pemimpin Yunani seusai Perang Troia (termasuk pengembaraan Odisseus dan pembunuhan Agamemnon). Sementara itu petualangan Aineias diceritakan dalam wiracarita Aeneid.[50] Kitaran Perang Troia juga meliputi kisah-kisah petualangan anak-anak dari para tokoh yang terlibat Perang Troia, seperti msialnya Orestes dan Telemakhos.[49]

Perang Troia memunculkan beragam tema dan menjadi sumber inspirasi utama untuk para seniman Yunani Kuno. Salah satu karya seni yang mengambil tema dari Perang Troia adalah metope di kuil Parthenon yang menggambarkan penghancuran Troia. Pilihan artistik ini, yang mengambil tema dari Kitaran Troia, mengindikasikan bahawa ksiah itu sangat penting bagi peradaban Yunani Kuno.[50] Kisah Perang Troia juga mengilhami serangkaian tulisan sastera Eropah posterior. Contohnya para penulis yang menulis mengenai Troia di Eropah Abad Pertengahan. Mereka tidak terkait dengan Homeros dan menemukan banyak kisah kepahlawanan dan cerita romantis dalam legenda Troia serta kerangka yang cocok yang ke dalamnya mereka memasukkan gagasan-gagasan mereka sendiri mengenai nilai-nilai kesatria, kesopanan, dan kegagahan. Penulis abad ke-12, misalnya Benoît de Sainte-Maure (Roman de Troie [Roman Troia, 1154–60]) dan Joseph dari Exeter (De Bello Troiano [Mengenai Perang Troia, 1183]) menggambarkan peperangan di Troia sambil menulis kembali versi rasmi yang mereka temukan dari naskhah kuno karya Diktis dan Dares. Dengan demikian mereka telah mengikuti nasihat-nasihat Horatius dan contoh-contoh Virgilus iaitu mereka menulis kembali sajak Troia dan bukannya menulis sesuatu yang benar-benar baru.[51]

Pencetusan sunting

Mitologi merupakan aspek penting dalam kehidupan sehari-hari di Yunani Kuno.[52] Orang Yunani Kuno memandang mitologi sebagai sebahagian dari sejarah mereka. Mereka menggunakan mitologi untuk menjelaskan fenomena alam, keberagaman budaya, permusuhan dan persahabatan tradisonal. Adalah suatu kebanggaan jika kita dipercaya sebagai keturunan dewa atau pahlawan. Hanya sediikt orang Yunani Kuno yang meragukan kebenaran di balik kisah Perang Troia dalam Iliad dan Odisseia. Menurut Victor Davis Hanson, seorang ahli sejarah militer, kolomnis, penulis esai politik dan mantan profesor Klasika, serta John Heath, profesor Klasika di Santa Clara University, pengetahuan yang mendalam yang terdapat pada epos Homeros oleh orang Yunani Kuno dipercaya sebagai basis akulturasi mereka. Homeros merupakan "pendidikan Yunani" (Ἑλλάδος παίδευσις), dan sajak-sajaknya merupakan "buku".[53]

Falsafah asas sunting

 
Plato dalam lukisan dinding Mazhab Athena karya Raphael (kemungkinan disesuaikan dengan wajah Leonardo da Vinci). Plato adalah filsuf yang membuang studi Homeros, serta kisah-kisah tragedi dan tradisi mitologi terkait, dalam utopia Republiknya.

Setelah kebangkitan falsafah, sejarah, prosa dan rasionalisme pada akhir abad ke-5 SM, nasib mitos menjadi tidak jelas, dan silsilah mitologi memberi tempat pada pembentukan sejarah yang berusaha meniadakan unsur-unsur supranatural, misalnya sejarah yang dicatat oleh Thukydides.[54] Ketika para penyair dan penulis drama mengolah lagi mitologi, para sejarawan dan filsuf Yunani malah mulai mengkritik mitos.[55]

Beberapa filsuf radikal semacam Xenofanes dari Kolophon sudah mulai berani mengatakan bahawa kisah-kisah para penyair adalah kebohongan yang menghina tuhan, pada abad ke-6 SM. Xenofanes mengeluh bahawa Homeros dan Hesiodos memberi para dewa "semua sifa manusia yang memalukan dan tercela: para dewa mencuri, berzina, dan saling menipu satu sama lain".[56]

Pemikiran seperti itu muncul secara jelas dalam karya-karya Plato, yakni Republik and Hukum. Plato menciptakan mitos alegorinya sendiri, misalnya visi Er dalam Republik. Pemikirannya menentang kisah-kisah tradisional tentang para dewa serta tipuan, pencurian, dan perzinahan mereka. Menurutnya, tindakan para dewa adalah tidak bermoral. Plato memandang mitos sebagai "obrolan isteri-isteri tua".[57] Plato juga menolak peran sentral para dewa dalam sastera.[55] Kritik Plato merupakan tantangan serius pertama untuk tradisi mitologi Homeros.[53]

Sementara itu Aristoteles mengkritik pendekatan falsafi quasi-mitis pra-Sokrates dan menekankan bahawa "Hesiodos dan para penulis teologi hanya peduli terhadap apa yang tampak masuk akal bagi diri mereka sendiri dan tidak menghargai kita ... Tetapi tidak ada gunanya berbicara serius pada penulis yang pamer dengan menggunakan gaya mitis; sedangkan bagi mereka yang mampu melanjutkan dengan membuktikan pernyataan mereka, kita harus memerika mereka secara saksama".[54]

Namun, bahkan Plato tidak dapat melepaskan dirinya dan masyarakatnya dari pengaruh mitos. Karakterisasi yang dia buat untuk Sokrates didasarkan pada pola-pola tragedi dan Homeros tradisional. Plato menggunakannya untuk menyanjung kehidupan mulia Sokrates, gurunya:[58]

Namun barangkalai seseorang mungkin berkata: "Tidakkah kamu merasa malu, Sokrates, karena telah mengejar tujuan semacam itu, sampai-sampai kau kini berada dalam ancaman kematian sebagai akibatnya?" Namun aku harus memberinya jawaban yang benar: "Anda tidak berbicara dengan baik, tuan, jika Anda berpikir bahwa seorang manusia yang memiliki bahkan sedikit saja kebaikan harus mempertimbangkan bahaya kehidupan atau kematian, dan bukannya berpikir, ketika dia melakukan sesuatu, apakah yang dia lakukan benar atau salah dan merupakan tindakan orang baik atau jahat. Karena berdasarkan argumen Anda, maka semua setengah dewa akan menjadi buruk di Troya, termasuk putra Thetis, yang begitu membenci bahaya, dibandingkan harus menanggung rasa malu, bahwa ketika ibunya (dan ibunya adalah seorang dewi) berkata padanya, ketika dia begitu ingin membunuh Hektor, sesuatu seperti ini, aku kira,
Putraku, jika kau membalaskan kematian sahabatmu Patroklos dan membunuh Hektor, maka kau juga akan segera meninggal; karena segera, setelah Hektor, kematian akan mengampirimu. (Homeros, Iliad, 18.96)

Dia, ketika mendengar itu, memandang remeh pada kematian dan bahaya, dan lebih takut untuk hidup sebagai seorang pengecut yang tidak membalaskan dendam sahabatnya, dan lalu dia berkata,

Segara saja aku mungkin akan mati, setelah melakukan pembalasan pada yang jahat, maka mungkin aku tidak mungkin berada di sini, mencemooh di samping kapal yang melengkung, sebuah beban untuk bumi.

Hanson dan Heath memperkirakan bahawa penolakan Plato terhadap tradisi Homeros tidak banyak diterima oleh kalangan akar rumput Yunani Kuno.[53] Mito-mitos lama dijaga untuk tetap hidup dalam kultus-kultus lokal dan terus berpengaruh terhadap tembikar serta tetap menjadi tema utama dalam seni lukisan dan seni patung.[54]

Lebih sportif lagi, penulis drama tragedi abad ke-5 Euripides seringkali bermain-main dengan tradisi lama, mengejek tradisi-tradisi itu, dan melalui suara-suara karakternya dia menyisipkan sedikit keraguan kepada para penontonnya. Meskipun begitu, tetap saja, tema-tema dramanya diambil terus dari mitologi Yunani. Banyak dari dramanya ditulis sebagai jawaban untuk versi yang kebih kuno dari mitos yang sama atau mirip. Euripides terutama meragukan mitos tentang para dewa dan mula mengkiritik dengan keberatan-keberatan yang sebelumnya telah diungkapkan oleh Xenokrates iaitu bahawa para dewa seperti diperlihatkan dalam tradisi kuno secara kasar terlalu mengikut bentuk dan sifat seperti manusia.[56]

Rasionalisme Hellenistik sunting

Selama zaman Hellenistik, mitologi menjadi pengetahuan yang elit dan penuh dengan prestise dan menunjukkan bahawa pemiliknya merupakan anggota dari kelas sosial tertentu. Pada waktu yang sama, rasa skeptis yang muncul pada zaman Klasik bahkan menjadi lebih disebarluaskan.[59] Mitografer Yunani Euhemeros memulai tradisi untuk mencari dasar historis yang betul-betul mengenai penceritaan makhluk dan peristiwa mitologi.[60] Meskipun karya aslinya, Kitab Keramat, sudah hilang, namun banyak dari isinya yang kita ketahui kerana telah dicatat oleh Diodoros dan Lactantius.[61]

Rasionalisme Romawi sunting

 
Patung kepala Cicero di Kopenhagen. Cicero melihat dirinya sebagai pembela tatanan yang teratur, terlepas dari skeptisisme pribadinya terhadap mitos dan kecenderungannya yang lebih menyukai konsepsi para dewa yang lebih bersifat falsafi.

Merasionalisasi hermeneutika mitos bahkan menjadi lebih populer lagi pada masa Kekaisaran Romawi. Ini dapat terjadi berkat teori-teori fisikalis dari falsafah Stoik dan Epikurean. Orang-orang Stoik memberikan penjelasan bahawa para dewa dan pahlawan adalah fenomena fisika, sedangkan para Euhemeris berusaha memberikan penjelasan rasional bahawa tokoh-tokoh mitologi merupakan figur-figur dalam sejarah. Pada saat yang sama, orang-orang Stoik dan Neoplatonis mengajukan teori mengenai signifikasi moral dari tradisi mitologik, kadang didasarkan pada etimologi Yunani.[62] Melalui pesan Epikureannya, Lucretius berusaha membuang ketakutan takhayul dari pikiran warga Romawi.[63]

Livius juga skeptis terhadap tradisi mitologi dan mengklaim bahawa dia tidak berniat membuat keputusan mengenai legenda semacam itu (fabulae).[64] Tantangan untuk bangsa Romawi yang memiliki rasa yang kuat dan apologetis terhadap radisi keagamaan adalah untuk mempertahankan tradisi itu sambil mengakui bahawa itu seringkali menjadi asal mula lahirnya takhayul. Sejarawan Varro, yang menganggap bahawa agama merupakan suatu institusi manusia dengan kepentingan yang besar untuk memelihara hal-hal baik dalam msyarakat, melakukan studi yang teliti dan mempelajari asal muasal kultus keagamaan. Dalam karyanya Antiquitates Rerum Divinarum (yang sudah hilang namun pendekatan umumnya dapat kita perkirakan dari karya Augustinus, Kota Tuhan) Varro berpendapat bahawa sementara orang yang percaya takhayul takut terhadap dewa, namun orang yang beragama menganggap para dewa sebagai orang tua mereka.[63] Dalam karyanya, dia membedakan para dewa menjad tiga jenis:

  1. Dewa alam: personifikasi fenomena alam, misalnya hujan, api, musim.
  2. Dewa para penyair: diciptakan oleh para penyair yang tidak bermoral untuk membangkitkan hawa nafsu.
  3. Dewa perkotaan: diciptakan oleh para legislator yang bijaksana untuk menenangkan dan mencerahkan rakyat.

Akademisi Romawi Cotta mengejek penerimaan mitos, baik yang literal maupun alegori. Dia menyatakan secara tegas bahawa mitos tak punya tempat dalam falsafah.[65] Cicero juga umumnya meremehkan mitos, namun, seperti Varro, dia berempati kerana dia mendukung agama negara dan lembaganya. Adalah sulit untuk mengetahui sampai seberapa jauh kelas sosial yang dipengaruhi oleh rasionalisme ini.[64] Cicero menegaskan bahawa tidak seorangpun (bahkan orang lanjut usia dan anak-anak sekalipun) yang begitu bodohnya untuk mempercayai teror Hades atau keberadaan Skilla, kentaur, atau berbagai makhluk campuran lainnya,[66] namun, di sisi lain, Cicero, yang juga merupakan seorang orator, mengeluh mengenai karakter orang-orang yang mudah percaya pada takhayul.[67] De Natura Deorum adalah ikhtisar paling komprehensif mengenai jalan pikiran Cicero.[68]

Penggabungan sunting

 
Apollo Belvedere, patung marmar buatan Romawi (antara 130–140 M), tiruan dari patung perunggu Yunani (antara 330–320 SM). Dalam agama Romawi kuno, pemujaan dewa Apollo, yang berasal dari Yunani, digabungkan dengan kultus pemujaan Sol Invictus. Bangsa Romawi menyembah Sol Invictus sebagai pelindung spesial kaisar, dan Sol Invitus menjadi dewa utama di Kekasairan Romawi sampai akhirnya digantikan oleh agama Kristen.

Pada masa Romawi kuno, lahir mitologi Romawi yang baru melalui sinkretisasi (penggabungan atau pencampuran) berbagai dewa Yunani dan dewa-dewa asing lainnya. Hal ini terjadi kerana bangsa Romawi hanya memiliki sedikit mitologi. Selain itu pewarisan tradisi mitologi Yunani kepada bangsa Romawi menjadikan dewa-dewa Romawi mengadopsi ciri-ciri dewa Yunani yang menjadi padanan mereka.[64] Dewa Zeus dan Yupiter merupakan salah satu contoh tumpang tindih mitologi Yunani dan Romawi. Selain adanya penggabungan dua tradisi mitologi, bangsa Romawi juga mengaitkan diri dengan agama-agama dari daerah Timur. Hal ini yang semakin memperkuat proses sinkretisasi.[69] Sebagai contohnya, kultus pemujaan matahari diperkenalkan di Romawi setelah kaisar Aurelianus sukses melaksanakan kampanye militer di Suriah. Dewa dari Asia, yakni Mithras (yang dapat disebut sebagai personifikasi matahari) dan Ba'al dipadukan dengan dewa Apollo dan Helios menjadi satu dewa tunggal yang disebut Sol Invictus, yang memiliki banyak atribut campuran dan dipuja dengan ritus gabungan.[70] Apollo kemungkinan semakin sering diidentikkan dalam agama dengan Helios atau bahkan Dionisos, namun naskhah-naskhah mengenainya jarang memperlihatkan perkembangan semacam ini. Ini barangkali menunjukkan bahawa mitologi dalam sastera semakin lama semakin tidak berkaitan dengan kegiatan keagamaan yang sesungguhnya.

Kumpulan sajak Saturnalia karya Macrobius dan Himne Orfik yang tersisa pada masa sekarang juga ikut dipengaruhi oleh teori-teori rasionalisme dan tren sinkretisasi. Himne Orfik merupakan seperengkat komposisi puitis pra-Klasik yang diatribusikan atas nama Orfeus. Orfeus sendiri merupakan tokoh dari suatu mitos yang terkenal. Pada kenyataannya, meskipun dihubungan dengan Orfeus, namun sajak-sajak ini kemungkinan disusun oleh beberapa penyair berbeda, dan mengandung banyak petunjuk tentang mitologi Eropah prasejarah.[71] Sementara itu tujuan dari dibuatnya Saturnalia adalah untuk menyampaikan kebudayaan Hellenik yang telah diperoleh oleh Macrobius dari hasil studinya, meskipun banyak penggambaran para dewa telah dipengaruhi oleh teologi dan mitologi Mesir dan Afrika Utara (yang juga mempengaruhi penafsiran Virgilus). Dalam Saturnalia, kembali bermunculan komentar-komentar mitologi yang dipengaruhi oleh orang-orang Euhemeris, Stoik, dan Neoplatonis.[62]

Rujukan sunting

  1. ^ "Volume: Hellas, Article: Greek Mythology". Encyclopaedia The Helios. 1952.
  2. ^ Greece Mythology. Unknown parameter |tahun= ignored (bantuan); Unknown parameter |bebas= ignored (bantuan)
  3. ^ JM Foley,Homer's Tradisional Seni, 43
  4. ^ Klatt-Brazouski, Ancient Greek and Roman Mythology, 10
  5. ^ a b Hesiod, Theogony, 116–138
  6. ^ Hesiodos, Theogonia 147-163
  7. ^ Hesiodos, Theogony, 713–735 [1]
  8. ^ Himne Homeros untuk Hermes, 414–435
  9. ^ G. Betegh, The Derveni Papyrus, 147
  10. ^ W. Burkert, Greek Religion, 236
    • G. Betegh, The Derveni Papyrus, 147
  11. ^ "Greek Mythology". Encyclopaedia Britannica. 2002.* K. Algra, The Beginnings of Cosmology, 45
  12. ^ H.W. Stoll, Religion and Mythology of the Greeks, 8
  13. ^ "Greek Religion". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  14. ^ J. Cashford, The Homeric Hymns, vii
  15. ^ G. Nagy, Greek Mythology and Poetics, 54
  16. ^ W. Burkert, Greek Religion, 182
  17. ^ a b Hamilton, Edith, Mitologi Yunani, hlm. vii-xii
  18. ^ H.W. Stoll, Religion and Mythology of the Greeks, hlm. 4
  19. ^ H.W. Stoll, Religion and Mythology of the Greeks, hlm. 20
  20. ^ G. Mile, Classical Mythology in English Literature, hlm. 38
  21. ^ G. Mile, Classical Mythology in English Literature, 39
  22. ^ Himne Homeros untuk Afrodit, 75–109 Diarkibkan 2003-02-02 di Wayback Machine
  23. ^ I. Morris, Archaeology As Cultural History, 291
  24. ^ J. Weaver, Plots of Epiphany, 50
  25. ^ R. Bushnell, A Companion to Tragedy, hlm. 28
  26. ^ K. Trobe, Invoke the Gods, hlm. 195
  27. ^ M.P. Nilsson, Greek Popular Religion, 50
  28. ^ Himne Homeros untuk Demeter, 255–274
  29. ^ F.W. Kelsey, An Outline of Greek and Roman Mythology, 30
  30. ^ Ralat petik: Tag <ref> tidak sah; teks bagi rujukan Dowden11 tidak disediakan
  31. ^ a b ; Raffan-Burkert, Greek Religion, 206
  32. ^ F.W. Kelsey, An Outline of Greek and Roman Mythology, hlm. 30 H. J. Rose, A Handbook of Greek Mythology, hlm. 340
  33. ^ H. J. Rose, A Handbook of Greek Mythology, hlm. 10
  34. ^ C. F. Dupuis, The Origin of All Religious Worship,hlm. 86
  35. ^ a b "Heracles". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  36. ^ W. Burkert, Greek Religion, hlm. 211
    • T. Papadopoulou, Heracles and Euripidean Tragedy, hlm. 1
  37. ^ a b W. Burkert, Greek Religion, hlm. 211
  38. ^ Herodotus, The Histories, I, 6–7
    • W. Burkert, Greek Religion, hlm. 211
  39. ^ G.S. Kirk, Myth, hlm. 183
  40. ^ Apollodorus, Perpustakaan dan Epitome, 1.9.16
    • Apollonios, Argonautika, I, 20ff
    • Pindaros, Ode Pythia, Pythia 4.1
  41. ^ "Argonaut". Encyclopaedia Britannica. 2002.* P. Grimmal, The Dictionary of Classical Mythology, hlm. 58
  42. ^ "Argonaut". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  43. ^ P. Grimmal, The Dictionary of Classical Mythology, hlm. 58
  44. ^ Y. Bonnefoy, Greek and Egyptian Mythologies, hlm. 103
  45. ^ R. Hard, The Routledge Handbook of Greek Mythology, hlm. 317
  46. ^ R. Hard, The Routledge Handbook of Greek Mythology, hlm. 311
  47. ^ "Trojan War". Encyclopaedia The Helios. 1952.* "Troy". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  48. ^ J. Dunlop, The History of Fiction, hlm. 355
  49. ^ a b "Troy". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  50. ^ a b "Trojan War". Encyclopaedia The Helios. 1952.
  51. ^ D. Kelly, The Conspiracy of Allusion, hlm. 121
  52. ^ Albala-Johnson-Johnson, Understanding the Odyssey, 15
  53. ^ a b c Hanson-Heath, Who Killed Homer, hlm. 37
  54. ^ a b c J. Griffin, Greek Myth and Hesiod, hlm. 80
  55. ^ a b G. Miles, Classical Mythology in English Literature, hlm. 7
  56. ^ a b F. Graf, Greek Mythology, hlm. 169–170
  57. ^ Plato, Theaetetus, 176b
  58. ^ Plato, Apology, 28b-d
  59. ^ M.R. Gale, Myth and Poetry in Lucretius, hlm. 89
  60. ^ "Eyhemerus". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  61. ^ R. Hard, The Routledge Handbook of Greek Mythology, hlm. 7
  62. ^ a b J. Chance, Medieval Mythography, hlm. 69
  63. ^ a b P.G. Walsh, The Nature of Gods (Introduction), hlm. xxvi
  64. ^ a b c M.R. Gale, Myth and Poetry in Lucretius, hlm. 88
  65. ^ M.R. Gale, Myth and Poetry in Lucretius, hlm. 87
  66. ^ Cicero, Tusculanae Disputationes, 1.11
  67. ^ Cicero, De Divinatione, 2.81
  68. ^ P.G. Walsh, The Nature of Gods (Introduction), xxvii
  69. ^ North-Beard-Price, Religions of Rome, hlm. 259
  70. ^ J. Hacklin, Asiatic Mythology, hlm. 38
  71. ^ Sacred Texts, Himne Orfik

Sumber primer (Yunani dan Rom) sunting

Sumber sekunder sunting

  • Ackerman, Robert (1991—Reprint edition). "Introduction". Prolegomena to the Study of Greek Religion by Jane Ellen Harrison. Princeton University Press. ISBN 0-691-01514-7. Check date values in: |year= (bantuan)
  • Albala Ken G, Johnson Claudia Durst, Johnson Vernon E. (2000). "Origin of Mythology". Understanding the Odyssey. Courier Dover Publications. ISBN 0-486-41107-9.CS1 maint: multiple names: authors list (link)
  • Algra, Keimpe (1999). "The Beginnings of Cosmology". The Cambridge Companion to Early Greek Philosophy. Cambridge University Press. ISBN 0-521-44667-8.
  • Allen, Douglas (1978). "Early Methological Approaches". Structure & Creativity in Religion: Hermeneutics in Mircea Eliade's Phenomenology and New Directions. Walter de Gruyter. ISBN 90-279-7594-9.
  • "Argonaut". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  • Betegh, Gábor (2004). "The Interpretation of the poet". The Derveni Papyrus. Cambridge University Press. ISBN 0-521-80108-7.
  • Bonnefoy, Yves (1992). "Kinship Structures in Greek Heroic Dynasty". Greek and Egyptian Mythologies. University of Chicago Press. ISBN 0-226-06454-9.
  • Bulfinch, Thomas (2003). "Greek Mythology and Homer". Bulfinch's Greek and Roman Mythology. Greenwood Press. ISBN 0-313-30881-0.
  • Burkert, Walter (2002). "Prehistory and the Minoan Mycenaen Era". Greek Religion: Archaic and Classical (translated by John Raffan). Blackwell Publishing. ISBN 0-631-15624-0.
  • Burn, Lucilla (1990). Greek Myths. University of Texas Press. ISBN 0-292-72748-8.
  • Bushnell, Rebecca W. (2005). "Helicocentric Stoicism in the Saturnalia: The Egyptian Apollo". Medieval A Companion to Tragedy. Blackwell Publishing. ISBN 1-4051-0735-9.
  • Chance, Jane (1994). "Helicocentric Stoicism in the Saturnalia: The Egyptian Apollo". Medieval Mythography. University Press of Florida. ISBN 0-8130-1256-2.
  • Caldwell, Richard (1990). "The Psychoanalytic Interpretation of Greek Myth". Approaches to Greek Myth. Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-3864-9.
  • Calimach, Andrew (2002). "The Cultural Background". Lovers' Legends: The Gay Greek Myths. Haiduk Press. ISBN 0-9714686-0-5.
  • Cartledge, Paul A. (2002). "Inventing the Past: History v. Myth". The Greeks. Oxford University Press. ISBN 0-19-280388-3.
  • Cartledge, Paul A. (2004). The Spartans (translated in Greek). Livanis. ISBN 960-14-0843-6.
  • Cashford, Jules (2003). "Introduction". The Homeric Hymns. Penguin Classics. ISBN 0-14-043782-7.
  • Dowden, Ken (1992). "Myth and Mythology". The Uses of Greek Mythology. Routledge (UK). ISBN 0-415-06135-0.
  • Dunlop, John (1842). "Romances of Chivalry". The History of Fiction. Carey and Hart.
  • Edmunds, Lowell (1980). "Comparative Approaches". Approaches to Greek Myth. Johns Hopkins University Press. ISBN 0-8018-3864-9.
  • "Euhemerus". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  • Foley, John Miles (1999). "Homeric and South Slavic Epic". Homer's Traditional Art. Penn State Press. ISBN 0-271-01870-4.
  • Gale, Monica R. (1994). "The Cultural Background". Myth and Poetry in Lucretius. Cambridge University Press. ISBN 0-521-45135-3.
  • "Greek Mythology". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  • "Greek Religion". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  • Griffin, Jasper (1986). "Greek Myth and Hesiod". The Oxford Illustrated History of Greece and the Hellenistic World edited by John Boardman, Jasper Griffin and Oswyn Murray. Oxford University Press. ISBN 0-19-285438-0.
  • Grimal, Pierre (1986). "Argonauts". The Dictionary of Classical Mythology. Blackwell Publishing. ISBN 0-631-20102-5.
  • Hacklin, Joseph (1994). "The Mythology of Persia". Asiatic Mythology. Asian Educational Services. ISBN 81-206-0920-4.
  • Hanson Victor Davis, Heath John (1999). Who Killed Homer (translated in Greek by Rena Karakatsani). Kaktos. ISBN 960-352-545-6.
  • Hard, Robin (2003). "Sources of Greek Myth". The Routledge Handbook of Greek Mythology: based on H.J. Rose's "Handbook of Greek mythology". Routledge (UK). ISBN 0-415-18636-6.
Templat:Middle
  • "Heracles". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  • Jung Carl Gustav, Kerényi Karl (2001—Reprint edition). "Prolegomena". Essays on a Science of Mythology. Princeton University Press. ISBN 0-691-01756-5. Check date values in: |year= (bantuan)
  • Jung, C.J. (2002). "Troy in Latin and French Joseph of Exeter's "Ylias" and Benoît de Sainte-Maure's "Roman de Troie"". Science of Mythology. Routledge (UK). ISBN 0-415-26742-0.
  • Kelly, Douglas (2003). "Sources of Greek Myth". An Outline of Greek and Roman Mythology. Douglas Kelly. ISBN 0-415-18636-6.
  • Kelsey, Francis W. (1889). A Handbook of Greek Mythology. Allyn and Bacon.
  • Kirk, Geoffrey Stephen (1973). "The Thematic Simplicity of the Myths". Myth: Its Meaning and Functions in Ancient and Other Cultures. University of California Press. ISBN 0-520-02389-7. Unknown parameter |chapterurl= ignored (bantuan)
  • Kirk, Geoffrey Stephen (1974). The Nature of Greek Myths. Harmondsworth: Penguin. ISBN 0140217835.
  • Klatt J. Mary, Brazouski Antoinette (1994). "Preface". Children's Books on Ancient Greek and Roman Mythology: An Annotated Bibliography. Greenwood Press. ISBN 0-313-28973-5.
  • Lexicon Iconographicum Mythologiae Classicae. Artemis-Verlag. 1981–1999. Missing or empty |title= (bantuan)
  • Miles, Geoffrey (1999). "The Myth-kitty". Classical Mythology in English Literature: A Critical Anthology. University of Illinois Press. ISBN 0-415-14754-9.
  • Morris, Ian (2000). Archaeology As Cultural History. Blackwell Publishing. ISBN 0-631-19602-1.
  • "myth". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  • Nagy, Gregory (1992). "The Hellenization of the Indo-European Poetics". Greek Mythology and Poetics. Cornell University Press. ISBN 0-8014-8048-5.
  • Nilsson, Martin P. (1940). "The Religion of Eleusis". Greek Popular Religion. Columbia University Press. External link in |chapter= (bantuan)
  • North John A., Beard Mary, Price Simon R.F. (1998). "The Religions of Imperial Rome". Classical Mythology in English Literature: A Critical Anthology. Cambridge University Press. ISBN 0-521-31682-0.CS1 maint: multiple names: authors list (link)
  • Papadopoulou, Thalia (2005). "Introduction". Heracles and Euripidean Tragedy. Cambridge University Press. ISBN 0-521-85126-2.
  • Percy, William Armostrong III (1999). "The Institutionalization of Pederasty". Pederasty and Pedagogy in Archaic Greece. Routledge (UK). ISBN 0-252-06740-1.
  • Poleman, Horace I. (1943). "Review of "Ouranos-Varuna. Etude de mythologie comparee indo-europeenne by Georges Dumezil"". "Journal of the American Oriental Society". American Oriental Society. 63 (1): 78–79. Unknown parameter |month= ignored (bantuan)
  • Reinhold, Meyer (October 20, 1970). "The Generation Gap in Antiquity". "Proceedings of the American Philosophical Society". American Philosophical Society. 114 (5): 347–365.
  • Rose, Herbert Jennings (1991). A Handbook of Greek Mythology. Routledge (UK). ISBN 0-415-04601-7.
  • Segal, Robert A. (1991). "A Greek Eternal Child". Myth and the Polis edited by Dora Carlisky Pozzi, John Moore Wickersham. Cornell University Press. ISBN 0-8014-2473-9.
  • Segal, Robert A. (April 4, 1990). "The Romantic Appeal of Joseph Campbell". "Christian Century". Christian Century Foundation. Diarkibkan daripada yang asal pada 2007-01-07. Dicapai pada 2010-03-04.
  • Segal, Robert A. (1999). "Jung on Mythology". Theorizing about Myth. Univ of Massachusetts Press. ISBN 1-55849-191-0.
  • Stoll, Heinrich Wilhelm (translated by R. B. Paul) (1852). Handbook of the religion and mythology of the Greeks. Francis and John Rivington.
  • Trobe, Kala (2001). "Dionysus". Invoke the Gods. Llewellyn Worldwide. ISBN 0-7387-0096-7.
  • "Trojan War". Encyclopaedia The Helios. 1952.
  • "Troy". Encyclopaedia Britannica. 2002.
  • "Volume: Hellas, Article: Greek Mythology". Encyclopaedia The Helios. 1952.
  • Walsh, Patrick Gerald (1998). "Liberating Appearance in Mythic Content". The Nature of the Gods. Oxford University Press. ISBN 0-19-282511-9.
  • Weaver, John B. (1998). "Introduction". The Plots of Epiphany. Walter de Gruyter. ISBN 3-11-018266-1.
  • Winterbourne, Anthony (2004). "Spinning and Weaving Fate". When the Norns Have Spoken. Fairleigh Dickinson Univ Press. ISBN 0-8386-4048-6.
  • Wood, Michael (1998). "The Coming of the Greeks". In Search of the Trojan War. University of California Press. ISBN 0-520-21599-0.

Bacaan lanjut sunting

Pautan luar sunting