Petai belalang

(Dilencongkan dari Petai Belalang)

Petai belalang, (Jawi: ڤتاي بلالڠ) petai jawa (Sem. Mel.,[7] Sin.) atau petai cina (Btw., Riau[8][9]) ialah sebuah pokok daripada keluarga kekacang. Ia adalah antara tumbuhan pemberi sumber protein terbaik untuk makanan lembu, dimakan segar, muda, matang, hijau ataupun kering. Nilai pemakanannya sama atau lebih elok jika dibandingkan dengan alfalfa. Pokok petai belalang semakin mendapat tempat dalam memulihkan tanah, mengawal hakisan, pemuliharaan air, penghutanan semula dan pengurusan tanah, dan baik sebagai tanaman penutup bumi dan tanaman baja hijau. Penggunaan daunnya sebagai sungkupan pada tanaman dikatakan berjaya meningkatkan hasil tanaman tersebut secara signifikan.[10] Nama botaninya Leucaena leucocephala.

Petai belalang
Petai jawa
Petai cina
Leucaena leucocephala.jpg
Pengelasan saintifik
Alam:
(tanpa pangkat):
(tanpa pangkat):
(tanpa pangkat):
Order:
Keluarga:
Subkeluarga:
Tribus:
Genus:
Spesies:
L. leucocephala
Nama binomial
Leucaena leucocephala
Sinonim

Leucaena glauca (L.) Benth.[2][3]
Mimosa glauca L.
[4] (misappl.)
Acacia glauca Willd.[5]
Acacia leucocephala, Lam., 1783[6]

Leucaena leucocephala

Tumbuhan ini juga dikenal dengan nama setempat rantau Nusantara lain seperti:[9]

  • pĕlĕnding, peuteuy sélong (Sd.);
  • tembara/temboro, kemlandingan, mètir, lamtoro, lamtoro gung ("lamtoro besar" untuk varietas lebih besar, Jw.);
  • kalandhingan, lantoro (Md.).

Pokok petai belalang kini digunakan sebagai sumber biojisim bagi menjana tenaga untuk kilang-kilang di Kertih, Terengganu.[11][12] Cip kayu petai belalang dan pokok akasia akan digunakan dalam menjana tenaga untuk Taman Bio Polimer Kertih kelak.[13] Di sesetengah tempat di Indonesia bijinya dijadikan tempe.

Bunga dan dedaun petai belalang. India

MorfologiSunting

Tumbuhan ini sukakan cahaya matahari yang cukup dan membiak melalui biji benih.

Pohon atau perdu memiliki tinggi hingga 20 m;[14] meski kebanyakan hanya sekitar 2-10 m.[15] Percabangannya rendah dan banyak, dengan kulit berwarna kecokelatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-rantingnya berbentuk bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat.[7]

Daunnya majmuk dan berbentuk menyirip rangkap, setangkai berjumlah 3-10 pasang pelepah, kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, bentuk segitiga. Anak daun tiap sirip 5-20 pasang, berhadapan, bentuk garis memanjang, 6-16 (-21) mm × 1-2 (-5) mm, dengan hujung meruncing dan pangkal miring (tidak sama), permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.[7][16]

Bunganya menjambak bongkol bertangkai panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6 bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan berdiameter 12–21 mm, di atas tangkai sepanjang 2-5 cm.[8] Bunga kecil-kecil, berbilangan-5; tabung kelopak bentuk loceng bergigi pendek, lk 3 mm; mahkota bentuk sudip, lk. 5 mm, lepas-lepas. Benangsari 10 helai, lk 1 cm, lepas-lepas.[16]

 
Lelenggai petai jawa mengering

Buahnya berbentuk lurus, pipih dan tipis, 14–26 cm × 2 cm, dengan buku di antara ruas biji, berwarna hijau ketika muda akhirnya perang kehijauan atau coklat tua apabila kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya. Mengandung 15-30 biji yang sederet melintang berbentuk bulat telur sungsang[15] atau bundar telur terbalik, dengan warna cokelat tua menggilap yang berukuran 6–10 mm × 3-4.5 mm.[7][16] Bijinya mirip petai, namun berukuran lebih kecil dan berpenampang lebih kecil.[17] Rasanya pahit dan neutral.

PemanfaatanSunting

PerhutananSunting

 
Pemanfaatan petai belalang sebagai peneduh tanaman koko (1910)

Sejak lama petai belalang telah dimanfaatkan sebagai pohon peneduh, pencegah hakisan, sumber kayu bakar dan pakan ternak. Di tanah-tanah yang cukup subur, petai belalang tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ukuran dewasanya (tinggi 13–18 m) dalam waktu 3 sampai 5 tahun. Tegakan yang padat (lebih dari 5000 pohon/ha) mampu menghasilkan riap kayu sebesar 20 hingga 60 m³ per hektare per tahun. Pohon yang ditanam sendirian dapat tumbuh mencapai gemang 50 cm.[18] Jika ditanam di dekat-dekat pohon lainnya, maka pohon di sampingnya akan kekurangan sinar matahari. Oleh sebab itu, biasanya petai jawa/cina/belalang ditanam sebagai pohon pelindung/peneduh, dan untuk menanggulangi terjangan angin ribut. Tumbuhan ini juga dapat dipakai untuk pupuk hijau -dengan cara membenamkan daun pangkasnya sebagai pupuk dalam tanah.[19]

 
Pemanfaatan petai belalang sebagai rambatan hidup tanaman vanila (1920-1930)

Petai belalang adalah salah satu jenis pokok kacang serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran (wanatani). Pohon ini sering ditanam dalam jalur-jalur berjarak 3–10 m, di antara larikan-larikan tanaman pokok. Kegunaan lainnya adalah sebagai pagar hidup, sekat api, penahan angin, jalur hijau, rambatan hidup bagi tanaman-tanaman yang melilit seperti lada, vanila, markisa dan gadung, serta pohon penaung di perkebunan kopi dan koko.[7][20] Di hutan-hutan tanaman jati yang dikelola Perhutani di Jawa, petai belalang kerap ditanam sebagai tanaman sela untuk mengendalikan hanyutan tanah (erosi) dan meningkatkan kesuburan tanah.[21] Perakaran petai belalang memiliki nodul-nodul akar tempat mengikat nitrogen dan banyak menghasilkan daun sebagai sumber organik.[22]

PerkayuanSunting

 
Batang petai belalang. India.

Petai belalang sangat disukai sebagai penghasil kayu api dengan nilai kalori sebesar 19.250 kJ/kg membakar perlahan serta menghasilkan sedikit asap dan abu. Arang kayunya bermutu sangat baik, dengan nilai kalori 48.400 kJ/kg.[7][18]

Kayunya termasuk padat untuk ukuran pohon yang lekas tumbuh (kepadatan 500–600 kg/m³) dan kadar air kayu basah antara 30—50%, bergantung pada umurnya. Petai belalang cukup mudah dikeringkan dengan hasil yang baik, dan mudah dikerjakan. Sayangnya kayu ini jarang yang memiliki ukuran besar; batang bebas cabang umumnya pendek dan banyak mata kayu, karena pohon ini banyak bercabang-cabang. Kayu terasnya berwarna cokelat kemerahan atau keemasan, bertekstur sedang, cukup keras dan kuat sebagai kayu perkakas, perabot, tiang atau penutup lantai. Ia tidak tahan serangan rayap dan agak cepat membusuk apabila digunakan di luar ruangan, akan tetapi mudah menyerap bahan pengawet.[7][8][18] Kayu petaiini juga dimanfaatkan sebagai kayu bakar, arang, dan juga pagar.[22]

Di Jawa Timur, biasanya digunakan sebagai bahan mentah baik untuk mengilang kertas[14][8] atau rayon[8] mengandungi 50—52% pulpa dengan kadar lignin rendah dan serat kayu sepanjang 1.1—1.3 mm. Mutu kertas yang dihasilkan agak baik.[7]

PenternakanSunting

Daun-daun dan ranting muda petai belalang merupakan dedak ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminan. Daun-daun ini memiliki tingkat ketercernaan 60 hingga 70% pada ruminansia, tertinggi di antara jenis-jenis kacangan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. Petai belalang yang ditanam cukup rapat dan dikelola dengan baik dapat menghasilkan hijauan dalam jumlah yang tinggi. Namun pertanaman campurannya (jarak tanam 5–8 m) dengan rumput yang ditanam di antaranya, akan memberikan hasil paling ekonomis.[18]

 
Lukisan menurut Blanco

Ternak lembu dan kambing menghasilkan pertambahan bobot yang baik dengan komposisi hijauan pakan berupa campuran rumput dan 20—30% petai belalang.[18] Meskipun semua ternak menyukai petai belalang, akan tetapi kandungan yang tinggi dari mimosin —sejenis asid amino terkandung pada daun-daun dan biji hingga sebesar 4% berat kering[23] diuraikan dalam usus ruminan oleh bakteria Synergistes jonesii— dapat menyebabkan keguguran rambut pada ternak bukan ruminan seperti kuda dan babi,[15] yang biasanya diberika dalam bentuk segar.[14] Selain itu, apabila sapi diberi makan petai jawa selama 6 bulan terus-menerus, maka si sapi yang bersangkutan akan mengalami kehilangan rambut, penurunan kesuburan badan, gangguan pada kelenjar tiroid, dan katarak.[24] Pemanasan dan pemberian garam besi-belerang pun dapat mengurangi keracunan mimosin.[18]

Daun, tunas bunga, dan lenggai buah yang muda biasa dimakan mentah (sebagai ulam atau lalap) atau dimasak terlebih dahulu.[15][a] Biji-bijinya yang tua dirandang sebagai pengganti kopi dengan bau harum yang lebih keras dari kopi.[9] Biji-biji yang sudah cukup tua tetapi belum menghitam biasa digunakan sebagai campuran pecal dan botok dalam masakan Jawa. Buah mudanya juga bisa dimanfaatkan sebagai sayur.[22] Biji petai belalang bisa juga diolah menjadi pengganti kedelai dengan gizi yang hampir sama. Karbohidrat yang terkandung pada gula reduksi adalah 164.29 mg/g sedang patinya 179.50 mg/g. Protein mencapai 208,56 mg/g. Sedangkan, lemaknya mencapai 80.86 mg/g, masih kalah dengan kadar lemak kedelai yang mencapai 141,05 mg/g.[25]

Daun-daunnya juga kerap digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau. Daun-daun petai belalang cepat reput.

Produk lainSunting

Petai belalang diketahui menghasilkan tanin dan pigmen warna merah, cokelat dan hitam dari kulit batang, daun, dan lenggai buahnya. Sejenis resin atau gum juga dihasilkan dari batang yang terluka atau yang kena penyakit, terutama dari persilangan L. leucocephala × L. esculenta. Gum ini memiliki mutu yang baik serupa getah Arab.[7][8][20]

Berbunga sepanjang tahun, petai jawa menyediakan sumber makanan yang baik bagi lebah madu sehingga cocok mendukung apikultur.[8]

Biji-biji petai belalang tua boleh dirajut menjadi kalung selepas direndam sampai kembang atau "mekar" dan empuk..[26]

PerubatanSunting

Tumbuhan ini lawas kencing dan cacing usus.[15][27] Selain mengandung mimosin, leukanin, leukanol, dan protein, daun tumbuhan ini juga mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, protein, lemak, kalsium, fosforus, besi, dan sejumlah vitamin (A, B1, dan C). Untuk pemakaian sebagai ubat, biji dan seluruh bahagian tumbuhan ini dipakai. Bijinya dikeringkan dan dijadikan bubuk. Sebanyak 1 sudu teh biji yang direbus dalam 1/2 cangkir panas dapat digunakan untuk ubat kencing manis.[15] Masyarakat Sunda di Jawa Barat merawat luka tusukan atau potongan tajam dengan tempelan pucuk muda yang dikunyah; begitu juga di Cilacap yang menggunakan campuran buah dengan kulit batang talas dapat dipergunakan untuk mengubati luka hirian pisau.[28]

Berikut adalah beberapa kajian penting terhadap sifat berubat petai belalang:

  • Ekstrak metanol biji dapat menyebabkan berkurangnya berat badan dan panjang janin seiring dengan meningkatnya takar pemberian, tapi tidak bermakna secara statistik.[24]
  • Selain itu juga, telah diteliti pengaruh ekstrak biji terhadap toleransi dan kadar glukosa darah tikus diabetes yang diuji dengan suntikan aloksan tetrahidrat takar 250 mg/kg bb. Ekstrak yang diberikan secara oral dosis 0.5 g/kg dan 1 g/kg bb (berat badan) menunjukkan penurunan kadar glukosa darah tikus diabetes yang berarti sebesar 27,28 mg/dL dan 43,72 mg/dL, kesan penurunan ini lebih kecil dibandingkan terhadap tikus yang diberi gliklazid 7,2 mg/kg bb.[29]
  • Pada tahun 2006, telah dibuktikan bahwasanya ekstrak air biji dapat bertindak sebagai agen penurun gula darah pada mencit yang pankreasnya disuntik streptozotocin. Ditemukan, β-cell dari pankreas juga ikut terlindungi dari kesan nekrotik kimia biji. Pada akhirnya, disimpulkan bahawanya ekstrak air biji petai belalang menunjukkan kesan tawar anti-diabetes yang signifikan setelah diberikan melalui mulut.[30]

Ekologi dan persebaranSunting

Petai belalang menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-30 °C); ketinggian di atas 1000 m dpl dapat menghambat pertumbuhannya. Tanaman ini cukup tahan kering dan bisa ditanam di mana-mana,[19] termasuk di wilayah dengan curah hujan antara 650—3.000 mm (optimal 800—1.500 mm) pertahun. Namun, tumbuhan ini tidak dapat tumbuh dalam genangan air.[20]

Bisa ditanam dalam keadaan tanah apa saja, mudah beradaptasi dengan iklim setempat, tanaman petai belalang mudah diperbanyak dengan biji[22] yang sudah tua,[17][b] setek batang,[17][19] dan dengan pemindahan anakan. Karena mudah bertumbuh, di banyak tempat petai belalang sering kali merajalela menjadi gulma. Tanaman ini pun mudah tumbuh; setelah dipangkas, ditebang atau dibakar, tunas-tunasnya akan tumbuh kembali dalam jumlah banyak.[8][22][31]

Tidak banyak hama yang menyerang tanaman ini, akan tetapi petai belalang teristimewa rentan terhadap serangan hama kutu loncat (Heteropsylla cubana) dan hama wereng. Serangan hama wereng pernah hampir memusnahkan petai belalang.[17] Selain itu, serangan hama kutu loncat di Indonesia pada akhir tahun 1980-an telah mengakibatkan habisnya jenis petai belalang ‘lokal’ di banyak tempat.[18] Catatan lain mengatakan bahwa petai belalang gung/petai cina ini masuk ke Indonesia setelah petai belalang biasa (Leucaena diversifolia) diserang oleh kutu loncat di Indonesia pada tahun 1980-an.[22]

Selain itu, cendawan yang menyerang petai belalang biasanya adalah Meliola sp. Cendawan ini, selain menyerang petai belalang, juga menyerang melati, teh, dan juga buluh.[32] Adapun, bahagian yang diserang adalah daun bahagian atas, sehingga ada warna hitam yang berbentuk bintang pada daun. Cendawan ini sulit dikelupas, karena adanya hifodium yang masuk ke dalam daun. Guna dari hifodium untuk menyerap makanan. Sporanya tersebar lewat angin dan aliran air.[32] Sehingga, untuk mencegah dan mengendalikan cendawan ini, cukup membuang dan membakar daun yang terserang dan memakai fungisida yang cocok.[32]

Petai belalang mekar pada malam hari dan menutup daunnya pada siang hari. Tumbuhan ini dapat dituai setiap 5 bulan sekali agar pohon ini tetap masih rendah memudahkan buahnya diambil.[19]

GaleriSunting

NotaSunting

  1. ^ Tulisan asli:..., "sedangkan daun muda, tunas bunga, dan polong bisa dimakan sebagai lalap mentah atau dimasak terlebih dahulu."
  2. ^ Menurut sumber dari LIPI, untuk mempercepat perkecambahan biji lamtoro (di sumber LIPI malah disebut mlanding), biji direndam terlebih dahulu di air panas (80 °C) selama 2-3 menit sebelum disemaikan.[14]

RujukanSunting

  1. ^ "Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit". Germplasm Resources Information Network. United States Department of Agriculture. 1995-03-24. Dicapai pada 2010-01-18.
  2. ^ "Leucaena leucocephala (tree)". Global Invasive Species Database. Invasive Species Specialist Group. Dicapai pada 2010-01-18.
  3. ^ Bentham, G. 1842. Notes on Mimoseae, with a short synopsis of species. The Journal of Botany. v. 4: 416.
  4. ^ Linnaeus, C. 1763. Species plantarum: exhibentes plantas ... Ed. 2 T. II: 1504.
  5. ^ Willdenow, C.L. 1806. Species plantarum: exhibentes plantas ... Ed. 4 T. II(2): 1075.
  6. ^ Lamarck, J.B. 1783. Encycl. Méth. Bot. 1: 12
  7. ^ a b c d e f g h i "Leucaena leucocephala (Lamk.) de Wit". E-Prosea. Diarkibkan daripada yang asal pada 2016-03-06.
  8. ^ a b c d e f g h ICRAF Agroforestry Tree Database: Leucaena leucocephala Diarkibkan 2010-12-19 di Wayback Machine
  9. ^ a b c Heyne, Karel (1987). "Leucaena glauca Benth.". Tumbuhan Berguna Indonesia. 2. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. m/s. 885–7.
  10. ^ James A. Duke. 1983. Handbook of Energy Crops. unpublished. Leucaena leucocephala (Lam.) deWit.
  11. ^ 6,000 hektar petai belalang bakal dituai.
  12. ^ Terengganu terima pelaburan biotek RM7 bilion
  13. ^ Terengganu bakal miliki kompleks biopenapisan terbesar di Asia
  14. ^ a b c d Sastrapradja, Setijati; Naiola, Beth Paul; Rasmadi, Endi Rochandi; Roemantyo; Soepardijono, Ernawati Kasim; Waluyo, Eko Baroto (Red. S. Sastrapradja) (1980). Tanaman Pekarangan. hal.73. 16. Jakarta:Kerjasama LBN - LIPI dengan Balai Pustaka.
  15. ^ a b c d e f Dalimartha, Setiawan (2009). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. 6. Jakarta: Puspa Swara. m/s. 87–89. ISBN =978-979-1480-19-2 Check |isbn= value: invalid character (bantuan).
  16. ^ a b c van Steenis, CGGJ (1981). "Leucàena glàuca Bth.". Flora, untuk sekolah di Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita. m/s. 216.
  17. ^ a b c d "Lamtoro". IPTEKnet. Diarkibkan daripada yang asal pada 2013-03-08. Dicapai pada 6 April 2013. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)
  18. ^ a b c d e f g FACT Sheet: Leucaena leucocephala - a versatile nitrogen fixing tree Diarkibkan 2008-08-28 di Wayback Machine. FACT 97-06, September 1997.
  19. ^ a b c d Soeseno, Slamet (1985). Sayur-Mayur Karang Gizi. hal.35-36. Jakarta:Penebar Swadaya.
  20. ^ a b c FAO–AGPC: Leucaena leucocephala - the Most Widely Used Forage Tree Legume Diarkibkan 2016-07-15 di Wayback Machine
  21. ^ Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan. Manual RTT Tehnis Hutan. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Malang, Oktober 2003.
  22. ^ a b c d e f Purwanto, Iman (2007) [1996]. Mengenal Lebih Dekat LeguminosaseaeTemplat:Pranala mati. hal.84, 86, & 88. Yogyakarta:Kanisius. ISBN 979-21-1470-X.
  23. ^ Handbook of Energy Crops (Purdue): Leucaena leucocephala (Lam.) De Wit
  24. ^ a b Syamsudin; Rizikiyan, Yayan; Darmono (Julai 2006). "Efek Teratogenik Ekstrak Metanol Biji Petai Cina (Leucaena leucocephala (Lmk.) De Wit) Pada Mencit Hamil". Jurnal Bahan Alam Indonesia. 6 (1): 33 –&#32, 37. ISSN 1412-2855.Templat:Pranala mati
  25. ^ Rahayu, Ani; Suranto; Purwoko, Tjahjadi (2005). "Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae" (PDF). Bioteknologi. 2 (1): 14–20. ISSN 0216-6687 Check |issn= value (bantuan).CS1 maint: multiple names: authors list (link)
  26. ^ Wan's. Jari-jari Tangan yang Terampil. hal. 17-22. Jakarta:Azka Press. ISBN 979-744-391-4.
  27. ^ Yulisma (2009-03-10). "Pengaruh Pemberian Petai Cina (Leucaena glauca.Benth) sebagai Obat Tradisional Penyakit Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Tebing Tinggi Kota Sumatera Utara" (dalam bahasa Inggeris). Universitas Medan Area. Cite journal requires |journal= (bantuan)
  28. ^ Hidayat, Syamsul (2005). Ramuan Tradisional ala 12 Etnis Indonesia. hal. 90 & 226. Jakarta:Penebar Swadaya. ISBN 979-489-944-5.
  29. ^ Hardani, Nina; Soegiarso, N.C.; Ranti, Anna Setiadi (1991). "Pengujian Efek Ekstrak Biji Leucaena leucocephala (Lam) De Wit terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus". Penelitian Obat Bahan Alam - Sekolah Farmasi ITB. Diarkibkan daripada yang asal pada 2009-11-07. Dicapai pada 19 September 2013. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)CS1 maint: multiple names: authors list (link)
  30. ^ Syamsudin, Simanjuntak Darmono; Simanjuntak, Partomuan. "The Effects of Leucaena leucocephala (Lmk) de Wit Seeds on Blood Sugar Levels: An Experimental Study" (PDF). International Journal of Science and Research. 2 (1): 49 –&#32, 52.CS1 maint: multiple names: authors list (link)Templat:Pranala mati
  31. ^ Kuo, Y.L. 2003. Ecological Characteristics of Three Invasive Plants (Leucaena Leucocephala, Mikania Micrantha, and Stachytarpheta Urticaefolia) in Southern Taiwan. Diarkibkan 2008-05-16 di Wayback Machine Food and Fertilizer Technology Center (FFTC)
  32. ^ a b c Tjahjadi, Nur (2001). Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 53. ISBN 978-979-413-009-4.

Pautan luarSunting