Sitti Nurbaya

(Dilencongkan dari Siti Nurbaya)

Sitti Nurbaya (Jawi: سيتي نوربايا) ialah sebuah novel Indonesia hasil karya Marah Roesli yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di era 1930-an. Latar belakang novel ini ialah adat budaya Minangkabau di Padang. Ia mengisahkan percintaan sepasang kekasih, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang gagal kerana keadaan dan budaya pada masa itu, lagi-lagi dengan perkahwinan paksa dikenakan orangtua Siti dengan lelaki yang tidak dicintainya.

Sitti Nurbaya
Umum
PengarangMarah Roesli
Tajuk asal
Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai
NegaraIndonesia
BahasaBahasa Melayu baku Indonesia
GenreNovel
Penerbitan
PenerbitBalai Pustaka
Tarikh penerbitan
1922
Jenis media
Cetakan
Halaman291 (cetakan ke-45)
Kawalan kewibawaan
ISBNISBN 978-979-407-167-0 (45th printing)
OCLC436312085

Novel ini banyak mengkritik adat dan tradisi yang diamalkan oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera. Ia turut menyentuh soal-soal perkahwinan dalam masyarakat. Pada 17 Ogos 1969, kerajaan Indonesia memberi Hadiah Tahunan kepada pengarang novel ini. Sebuah jambatan di Padang telah dinamakan Jambatan Siti Nurbaya.

Latar belakang sunting

Sitti Nurbaya ditulis oleh Marah Rusli didasarkan pengalamannya bergaul dengan orang Eropah semasa pendidikan Belanda dan pekerjaannya dalam ilmu kedoktoran haiwan[1] sehingga semakin terikut pendirian dan pemikiran masyarakat digaulinya; Bakri Siregar, pengulas sastera Indonesia berlatarbelakang Marxis, menghujahkan bahawa pengalaman Rusli ini mempengaruhi bagaimana budaya Belanda dijelaskan dalam Sitti Nurbaya, serta suatu adegan di mana kedua tokoh utama berciuman.[2] A. Teeuw, seorang kritikus sastera Indonesia asal Belanda dan guru besar di Universitas Indonesia, mencatat bahwa penggunaan pantun dalam novel ini menunjukkan bahwa Rusli telah banyak dipengaruhi tradisi sastera lisan Minang, dengan dialog yang berkepanjangan menunjukkan bahwa ada pengaruh dari tradisi musyawarah.[3]

Kritikus sastera Indonesia Zuber Usman menunjukkan bahwa ada pengalaman lain yang lebih bersifat pribadi yang telah mempengaruhi penulisan Sitti Nurbaya serta tanggapan positif Rusli akan kebudayaan Eropah dan kemodernan. Menurut Usman, setelah Rusli menyatakan bahwa dia hendak mengawini seorang wanita Sunda, yang menyebabkan kehebohan di keluarganya, dia disuruh kembali ke kota kelahirannya dan dijodohkan dengan wanita Minang. Hal ini menyebabkan konflik antara Rusli dan keluarganya.[4]

Jalan cerita sunting

Di Kota Padang pada awal abad ke-20, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya—anak dari bangsawan Sutan Mahmud Syah dan Baginda Sulaiman—adalah tetangga dan teman kelas yang masih remaja. Mereka mulai jatuh cinta, tetapi hanya bisa mengakui hal tersebut setelah Samsu mengaku bahwa dia hendak ke kota Batavia (sekarang Jakarta) untuk melanjutkan pendidikannya.

Sementara, Datuk Meringgih, yang iri atas kekayaan Sulaiman dan mengkhawatirkan persaingan bisnis, berusaha untuk menjatuhkannya. Anak buah Meringgih menghancurkan hak milik Sulaiman, yang membuatnya menjadi bangkrut dan terpaksa meminjam uang dari Meringgih. Sulaiman yang tidak dapat melunasi hutang kepada Datuk Meringgi pun dihadapkan kepada dua pilihan sulit, menyerahkan Nurbaya untuk menjadi isteri Datuk Meringgi atau menyerahkan dirinya sendiri sebagai tahanan. Terdorong oleh rasa sayang kepada ayahnya, Nurbaya yang sudah tidak beribu itu pun terpaksa menyerahkan diri kepada Datuk Meringgi.

Dalam suatu surat ke Samsu, Nurbaya menyatakan bahwa mereka tidak dapat bersama lagi. Namun, setelah muak dengan watak Meringgih yang kasar itu, Nurbaya melarikan diri ke Batavia supaya bisa bersama Samsu; mereka akhirnya menjalin cinta kembali. Pelarian Nurbaya ini dilakukannya setelah Sulaiman meninggal. Pelarian Nurbaya tidak berjalan mulus, Datuk Meringgih kembali melancarkan rencana jahatnya dengan menuduh Nurbaya membawa hartanya ke Jakarta. Nurbaya pun harus kembali ke Padang untuk menyelesaikan tuduhan tersebut. Sekembalinya Nurbaya ke Padang, Datuk Meringgih pun melancarkan rencana jahatnya dan membunuh Sitti Nurbaya dengan cara meracuninya. Mendapati kekasihnya meninggal, gairah hidup Samsu pun lenyap, dia pun berusaha bunuh diri menggunakan pistol, tetapi tidak berhasil. Samsu kemudian mengganti namanya menjadi Mas—kebalikan dari Sam, nama panggilan Samsu—dan bergabung menjadi prajurit kolonial. Oleh karena tidak memiliki alasan untuk hidup sebab wanita yang dicintainya (ibunya dan Sitti Nurbaya) telah meninggal, dia pun tidak mempedulikan keselamatan. Setiap ditugaskan ke medan perang, Samsu berharap bisa mati sehingga dapat bergabung dengan ibunya dan Nurbaya di alam kubur. Namun sayang, usaha "bunuh diri" Samsu tidak tersampaikan, dia justru berhasil mengalahkan musuh-musuhnya sehingga dipandang sebagai prajurit berprestasi dan mendapat pangkat letnan.

Sepuluh tahun setelah peristiwa Samsu bunuh diri pasca-kematian Nurbaya, Meringgih memimpin suatu revolusi melawan pemerintah Hindia Belanda sebagai protes atas kenaikan pajak. Samsu ditugaskan ke Padang untuk menumpas Meringgi. Dalam peperangan ini, Samsu menemukan dan membunuh Meringgih, tetapi dia sendiri terluka berat. Setelah bertemu dengan ayahnya dan memohon maaf, dia meninggal.

Barisan watak sunting

  • Sitti Nurbaya (juga dieja Siti Nurbaya; disingkat menjadi Nurbaya) - salah satu protagonis utama. Menurut penulis cerpen dan kritikus sastra Indonesia Muhammad Balfas, Nurbaya merupakan tokoh yang dapat mengambil keputusan sendiri, sebagaimana terwujud ketika dia memutuskan untuk menikah Datuk Meringgih ketika Meringgih mengancam ayahnya, kesediaannya untuk mendorong Samsu, dan pelariannya dari Meringgih setelah ayahnya meninggal. Dia juga cukup mandiri untuk pergi ke Batavia sendiri untuk mencari Samsu. Tindakannya dianggap melanggar adat, dan ini akhirnya membuat dia diracuni.[5] Kecantikannya, sehingga disebut "bunga Padang", dianggap sebagai wujud fisik dari hatinya yang baik dan beradab.[6]
  • Samsulbahri (juga dieja Sjamsulbahri; disingkat menjadi Samsu) - protagonis utama. Dia dinyatakan sebagai orang yang berkulit kuning langsat, dengan mata sehitam tinta; namun, dari jauh, dia dapat dikira orang Belanda. Sifat fisik ini dijelaskan oleh Keith Foulcher, seorang dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universiti Sydney, sebagai wujud sifatnya yang suka menjadi seperti orang Belanda.[7] Penampilannya yang menarik juga dianggap sebagai wujud sifatnya yang baik dan beradab.[6]
  • Datuk Meringgih - antagonis utama dari novel. Dia seorang pedagang yang dibesarkan di keluarga yang miskin, lalu menjadi kaya setelah masuk ke dunia kriminal. Balfas menyatakan bahwa dorongan utama Meringgih dalam cerita ialah rasa iri dan keserakahan, sebab dia tidak dapat "menerima bahwa ada yang lebih kaya daripada dia".[8] Balfas beranggapan bahwa Meringgih adalah tokoh yang "digambarkan dengan hitam dan putih, tetapi mampu untuk menyebabkan konflik di sekitarnya".[5] Menjelang akhir novel, Meringgih menjadi "pejuang pasukan anti-kolonialis", didorong oleh keserakahannya; menurut Foulcher, gerakan anti-kolonialis ini kemungkinan besar bukanlah usaha untuk memasukkan komentar anti-Belanda.[9]

Adaptasi sunting

Sambutan sunting

Novel ini menjadi novel sangat digemari di Malaysia dan diulang cetak 11 kali sejak versi Malaysia pertamanya pada tahun 1963.[13]

Pada tahun 2009, Sitti Nurbaya menjadi salah satu dari delapan karya sastra Indonesia klasik yang dipilih oleh penyair Taufik Ismail untuk dicetak ulang dalam edisi khusus Indonesian Cultural Heritage Series; Sitti Nurbaya diberi sampul berdesain kain Minang.[14][15] Artis Happy Salma dipilih sebagai ikon selebritis novel ini.[16]

Di Padang, kepopuleran novel ini telah mendorong pembuktian keberadaan Sitti Nurbaya dan upaya menghidupkannya.[17][18] Ada sebuah makam di sela batu karang di bukit Gunung Padang yang—sejak Sitti Nurbaya dirilis—diyakini oleh masyarakat setempat sebagai makam Sitti Nurbaya. Pemerintah Kota Padang menjadikan Sitti Nurbaya sebagai nama taman, jambatan, dan festival kesenian tradisional tahunan. Penulis Ragdi F. Daye menyebut upaya ini membuat Sitti Nurbaya seolah adalah warga Kota Padang. "Kita tidak tahu, suatu saat nanti akan ada satu patung sosok perempuan di Batang Arau dan orang mengatakan itu patung Sitti Nurbaya".[18]

Rujukan sunting

  1. ^ Foulcher 2002, m/s. 88–89.
  2. ^ Siregar 1964, m/s. 43–44.
  3. ^ Teeuw 1980, m/s. 87.
  4. ^ Foulcher 2002, m/s. 101.
  5. ^ a b Balfas 1976, m/s. 54.
  6. ^ a b Foulcher 2002, m/s. 91.
  7. ^ Foulcher 2002, m/s. 90.
  8. ^ Balfas 1976, m/s. 53.
  9. ^ Foulcher 2002, m/s. 98.
  10. ^ Eneste 2001, m/s. 48.
  11. ^ "Trans TV Audisi untuk 'Siti Nurbaya'". KapanLagi. 2004. Dicapai pada 14 Ogos 2011.
  12. ^ "Sitti Nurbaya Versi Baru akan di Tayangkan di Trans TV". KapanLagi. 2004. Dicapai pada 14 Ogos 2011.
  13. ^ Mahayana, Maman S.; Sofyan, Oyon; Dian, Achmad (2007). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-025-006-2. Dicapai pada 13 Ogos 2011.CS1 maint: ref=harv (link)
  14. ^ Febrina, Anissa S. (31 Ogos 2009). "Revitalizing the Classics". The Jakarta Post. Dicapai pada 14 Ogos 2011. Cite has empty unknown parameter: |dead-url= (bantuan)CS1 maint: ref=harv (link)
  15. ^ Veda, Titania (12 Jun 2009). "Reviving a Nation's Literary Heritage". The Jakarta Globe. Dicapai pada 14 Ogos 2011. Cite has empty unknown parameter: |dead-url= (bantuan)CS1 maint: ref=harv (link)
  16. ^ Jakarta Post 2009, Happy Salma.
  17. ^ Langgam 2019.
  18. ^ a b Khazanah 2019.
Sumber utama