Wayang beber (Jawa: ꦮꦪꦁ ꦧꦺꦧꦺꦂ, translit. wayang bèbèr, Pegon: واياڠ بَيبَير) adalah seni pertunjukan wayang yang penyajiannya diwujudkan dalam bentangan atau "beberan" (Jawa: ꦧꦺꦧꦺꦂꦫꦤ꧀, translit. bèbèran terbitan kata ꦧꦺꦧꦺꦂ​ bèbèr "membentangkan")[1] lembaran kertas, kulit kayu atau kain bergambar adegan dan watak digayakan mirip dalam wayang kulit disertai penceritaan oleh seorang dalang.

Wayang beber menampilkan adegan pertempuran. Koleksi Istana Mangkunagaran.

Seni wayang beber muncul dan berkembang di Jawa bahagian Wengker (sekarang Ponorogo dan Pacitan) pada masa pra-Islam karena Ponorogo masa itu sudah dapat membuat Daluwang atau kertas Ponoragan, tetapi terus berlanjut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam (seperti Kesultanan Mataram). Cerita yang ditampilkan diambil dari Mahabharata maupun Ramayana.[2] Setelah Islam menjadi agama utama di Jawa, cerita-cerita Panji lebih banyak yang ditampilkan.[3]

Riwayat sunting

 
Gulungan latar wayang beber.

Catatan asing pertama mengenai pertunjukan ini dilaporkan oleh Ma Huan dan Fei Xin dalam kitab Ying-Yai-Sheng-Lan.[3] Kitab tersebut menceritakan kunjungan Cheng Ho ke Jawa pada sekitar tahun 1413-1415 (masa kerajaan Majapahit diperintah Wikramawardhana, putera Hayam Wuruk). Mereka menyaksikan orang-orang berkerumun mendengarkan seseorang bercerita mengenai gambar-gambar yang ditampilkan pada lembaran kertas yang sebagian tergulung. Pencerita memegang sebilah kayu yang dipakai untuk menunjuk gambar-gambar yang terdapat pada lembaran tersebut. Praktik semacam itu masih sama seperti pertunjukan wayang beber pada masa-masa kemudian. Namun demikian, menurut penuturan dari kalangan pujangga Jawa, wayang beber dikembangkan seawal zaman masa Kerajaan Pajajaran.[3]

Gambar-gambar adegan pewayangan dilukiskan pada lembaran kain atau jeluang, setiap lembar berisi beberapa adegan (disebut (pe)jagong) sesuai dengan urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara "dibeber", yaitu membuka gulungan sesuai adegan satu per satu. Dalang bercerita mengenai hal-hal terkait dengan adegan yang ditampilkan, termasuk dialog.

Para Wali Songo terutamanya Sunan Kalijaga yang merupakan keturunan bangsawan Wengker dikatakan telah mengadaptasikan seni wayang beber ini menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk yang bersifat hiasan yang dikenal sekarang dorongan ajaran Islam tidak menganjurkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, haiwan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang dikenali sehingga sekarang.

Koleksi sunting

 
Pertunjukan wayang beber Gunungkidul (l.k. 1902) di rumah dokter Wahidin di Yogyakarta (Sumber: Tropenmuseum)

Ada dua koleksi wayang beber pusaka yang dikoleksi secara partikelir oleh keturunan dalang. Keduanya membawakan cerita Panji. Yang pertama adalah salah satu wayang beber tertua yang dipelihara di Dukuh Karangtalun, Desa Gedompol, Donorojo, Pacitan. Wayang ini dibuat di atas daluang yang besar buatan Ponorogo[4][5] dan dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat leluhur yang harus dipelihara. Cerita yang diangkat adalah "Jaka Kembang Kuning", terdiri dari enam gulungan dengan masing-masing gulungan berisi empat adegan (pejagong). Cerita ini menurut R.M. Sayid merupakan kiasan dari peristiwa terusirnya Sultan Mataram, Amangkurat I, dari Keraton Mataram di Plered karena Pemberontakan Trunajaya.[6]

Selain di Pacitan, koleksi kedua dipelihara di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul.[7] Cerita yang diangkat adalah Remeng Mangunjaya.[3]

Menurut Kitab Sastro Mirudo, wayang beber dibuat pada tahun 1283, dengan Condro Sengkolo Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283), Kemudian dilanjutkan oleh Putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber.[perlu rujukan]

Lihat juga sunting

  • Dewangga - kain tenunan dicorakkan adegan-adegan sesebuah cerita berperanan sama di Eropah

Rujukan sunting

  1. ^ en Roorda, Gericke (1901). "bèbèr". Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek. 33: BaSa-BaNga. E. J. Brill: Leiden, Belanda. m/s. 2: 756 – melalui Sastra Jawa kelolaan Yayasan Sastra Lestari. G. KN. uitgerold, uitgespreid (vrg. babar, bèr, I.).
  2. ^ "Kisah Wayang Beber, Wayang Tertua di Indonesia". Indonesia.go.id. 8 April 2019. Dicapai pada 26 Mac 2020.
  3. ^ a b c d Maharsi, Indiria (2013). "Wayang Beber yang Tidak Pernah Lagi Digeber". Adiluhung (2): 34–37.
  4. ^ "Kisah Wayang Beber, Wayang Tertua di Indonesia". Indonesia.go.id. 8 April 2019. Dicapai pada 26 Mac 2020.
  5. ^ "Wayang Beber Donorojo". pacitanisti.wordpress.com. Dicapai pada 26 Mac 2020.
  6. ^ Maharsi, Indiria (2018). Wayang Beber. Yogyakarta: Dwi - Quantum.
  7. ^ Uji Agung Santosa/BBJ (27 Mac 2012). "Wayang Beber di Bentara Budaya Jakarta". Kontan.co.id. Dicapai pada 20 May 2012.

Templat:Wayang