Kulkul ialah sejenis alat komunikasi tradisional bagi masyarakat di Bali yang berupakan alat bunyian yang umumnya terbuat daripada kayu atau buluh. Di setiap kompleks tradisional Bali, terdapat sekurang-kurangnya sebuah kulkul. Selain di Bali, Kulkul yang lazimnya disebut sebagai kentongan juga wujud di hampir serata Indonesia. Oleh itu, kulkul boleh disifatkan sebagai alat komunikasi tradisional oleh masyarakat Indonesia secara am.[1]

Sebuah kulkul di Desa Blega, Gianyar, 1908.

Kulkul dibunyikan dalam pelbagai tujuan, termasuk panggilan perhimpunan lazim, panggilan kerahan tenaga serta isyarat ancaman luar termasuk bencana alam dan serangan luar.[2]

Sejarah sunting

Pada zaman Jawa-Hindu, kulkul disebut sebagai slit-drum yaitu berupa tabuhan dengan lubang memanjang yang terbuat daripada bahan gangsa. Dalam kalangan masyarakat Bali, istilah kulkul ditemukan dalam syair Jawa-Hindu Sufamala. Beberapa manuskrip lontar Bali juga menyebutkan aplikasi kulkul seperti Awig-awig Desa Sarwaada, MarkaNdeya Purana, dan Diwa Karma. Keempat-empat naskah kuno Bali ini mengungkapkan kepentingan kayu dalam masyarakat tempatan. Kayu adalah bahan dasar kulkul yang memiliki perkaitan erat dengan manusia. Ketika penjajahan Belanda di Indonesia, kulkul lebih dikenal dengan nama tongtong.[1]

Rujukan sunting

  1. ^ a b Yunus, H Ahmad; Purna, I Made; Kartikasari, Tatiek; Rupa, I Wayan (1994), Drs. Anto Ahadiat, MA (penyunting), Nilai dan Fungsi Kentongan pada Masyarakat Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
  2. ^ Sadguna, I Gede Made Indra (15 Oktober 2010), Kulkul Sebagai Simbol Budaya Masyarakat Bali, dicapai pada 19 Jun 2019