Kyai Saleh Lateng
Kyai Saleh Lateng (Lahir di Kampung Mandar, Banyuwangi, Jawa Timur, 7 Maret 1862 - meninggal di Lateng, Banyuwangi, 20 Agustus 1952 pada usia 93 tahun) dikenali sebagai Kyai Saleh Lateng di Kabupaten Banyuwangi. Beliau adalah pendiri Gerakan Pemuda Ansor bersama K.H. Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang dari sembilan pendiri Nahdatul Ulama, dan seorang Pahlawan di Kabupaten Banyuwangi. Beliau memiliki nama kecil Kiagus Muhammad Saleh. Ayahnya, Kiagus Abdul Hadi, dan ibunya, Aisyah, berasal dari Panderejo, Banyuwangi. Silsilah keturunannya dapat dilacak hingga Amir Hamzah (Pangeran Abdullah) yang merupakan keturunan Sunan Kudus (Panglima Perang Kesultanan Demak ke-II) dan Rasulullah SAW.
Kiagus Muhammad Saleh Kyai Saleh Lateng | |
---|---|
Peribadi | |
Kelahiran | |
Kematian | 20 Agustus 1952 (umur 93) |
Agama | Islam |
Warganegara | Indonesia |
Etnik | Melayu Palembang, Arab |
Alma mater | - Pondok Pesantren Simokerto, Surabaya - Pondok Pesantren Kyai Kholil Bangkalan |
Pemimpin Islam | |
Dibaptis | Pendirian GP Ansor dan NU |
Keluarga
suntingPada awal abad ke-19, Kesultanan Palembang Darussalam kehilangan kendali kekuasaannya kepada Belanda. Sultan Palembang, Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom, diasingkan ke Manado, sementara Palembang diperintah oleh seorang Residen Belanda. Dalam situasi tersebut, banyak bangsawan Kesultanan Palembang Darussalam memilih untuk meninggalkan daerah tersebut. Kiagus Abdurrahman, kakek Kyai Saleh, adalah salah satu dari mereka. Ia hijrah bersama keluarganya dan menetap di Jawa Timur, kemudian menikah dengan Najihah di Marengan Laok Sungai, Sumenep.[1] Pernikahan ini dikaruniai tiga anak, di antaranya Kiagus Abdul Hadi yang melanjutkan perjuangan Ki Agus Abdurrahman dalam berdakwah dan mempelajari ilmu keislaman.
Beberapa waktu kemudian, Kiagus Abdul Hadi hijrah ke Banyuwangi, Jawa Timur, di mana ia menikahi Aisyah. Pasangan tersebut menetap di Kampung Mandar, Banyuwangi, dan melahirkan seorang putra bernama Kiagus Muhammad Saleh, atau dikenal sebagai Kyai Saleh Lateng.
Istri dan Anak serta Keturunan
sunting- Istri: Qomariah (berasal dari Bugis), dikaruniai anak Nyayu Masnah, Kiagus Abdul Kafie, dan Kiagus Syarkawi.
- Istri: Sutrani (berasal dari Banyuwangi), dikaruniai anak Nyayu Maimunah dan Kiagus Abdul Hadi.
- Istri: Sarah (berasal dari Banyuwangi), dikaruniai anak Nyayu Asmah, Kiagus Abdul Hamid, Nyayu Djaenab, Nyayu Sapiyah, Kiagus Abdullah, Kiagus Alwi, dan Nyayu Hunnah.
- Istri: Raden Siti Fatimah (berasal dari Banyuwangi), dikaruniai anak Nyayu Hadijah, Nyayu Kulsum, dan Kiagus Abdul Azis.
- cucu: Kiagus Syamsudin, Nayu Muainah, Nayu Nihayatus, Kiagus Masrullah.
- cicit: Kiagus Muhammad Fikri Firmansyah, Kiagus Ahmad Dimas N
Meskipun punya banyak putra dan putri hasil pernikahan dari 4 istrinya, tetapi hanya seorang yang meneruskan perjuangannya dalam menggeluti ilmu keislaman maupun bela negara, yakni Kiagus Abdul Aziz.
Almarhum Kiagus Abdul Aziz yang merupakan putra Kiai Saleh Lateng tercatat pernah menjabat sebagai Ketua IPNU Pertama Banyuwangi, Mantan Wartawan, dan Anggota DPRD Jawa Timur periode 1974-1977. Profesi wartawan yang pernah digeluti Kiagus Abdul Aziz dari hobi menulis itu, saat ini diikuti jejaknya oleh cucunya yang bernama Kiagus Muhammad Fikri Firmansyah.
Pendidikan
suntingKyai Saleh belajar mengaji dari kedua orang tuanya hingga usia 15 tahun. Setelah itu, beliau mondok di beberapa Pondok Pesantren di bawah bimbingan Kyai Mas Ahmad di Surabaya, lalu ke Pesantren Syaikhona Khalil di Bangkalan, Madura.
Kyai Saleh memiliki banyak santri yang tidak hanya belajar agama, tetapi juga ilmu kanuragan. Beliau juga berguru kepada Tuan Guru Muhammad Said di Jembrana, Bali, dan pergi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan agamanya.
Kiprah dan Jasa
suntingSelepas mencapai usia 38 tahun, Kyai Saleh pulang ke kampung halamannya di Lateng untuk menyebarkan pemikiran agamanya hingga ke pelosok Banyuwangi. Dahulu, Banyuwangi terkenal sebagai daerah yang penuh dengan pertikaian, tetapi dengan pencerahan yang berterusan dari Kyai Saleh, perkelahian itu dapat disingkirkan, dan beliau juga telah membuat insaf bromocorah.
Kyai Saleh pernah mengikuti Jihad di Surabaya melawan Belanda bersama santrinya. Malah, beliau juga anti terhadap Belanda, seperti yang dibuktikan dengan larangan kepada keluarganya untuk meniru kebiasaan Belanda, seperti memakai jas, celana, dan bersekolah di sekolah Belanda.[2]
Van Der Plass, yang merupakan Residen Belanda di Banyuwangi, pernah mendatangi Kyai Saleh untuk memberikan bantuan kepada pondoknya, tetapi Kyai Saleh menolaknya dengan tegas. Beliau juga merupakan pencetus berdirinya Departemen Agama, karena Kyai Saleh menyumbangkan bukunya, yaitu Kitab Mu’jamul Buldan, kepada Departemen Agama dan hingga kini masih menjadi rujukan.
Kyai Saleh Lateng merupakan tokoh kyai penggerak. Beliau memainkan peranan strategik dalam mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan Indonesia. Kyai Saleh Lateng juga menjadi kyai penting pada masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kyai Wahab Chasbullah, Kyai Bisri Syansuri, dan beberapa kyai lainnya di penjuru Nusantara.
Pada awalnya, Kyai Saleh Lateng menggerakkan Sarekat Islam. Hal ini lumrah, karena pada awal abad 20, pergerakan Sarekat Islam menjadi gerbong bagi para kyai-santri untuk menyuarakan kemerdekaan dan mengorganisasi diri. Meskipun pada akhirnya para kyai memisahkan diri dari pergerakan Sarekat Islam. Hal ini juga terjadi pada Kyai Wahab Chasbullah, yang pernah menjadi penggerak Sarekat Islam sewaktu mengaji di Hijaz. Ketika kembali ke tanah air, Kyai Wahab Chasbullah membentuk organisasi sendiri dengan merangkul kyai santri, dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, hingga kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama.
Kyai Saleh Lateng, yang pada awalnya menggerakkan Sarekat Islam di Banyuwangi, kemudian menjadi tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1913, Kyai Saleh Lateng memimpin Rapat Umum Sarekat Islam di Glenmore Banyuwangi. Dengan demikian, peranan Kyai Saleh dalam menggerakkan jaringan Islam di awal abad 20, diakui memiliki kontribusi penting. Ketika Komite Hijaz dibentuk, Kyai Saleh Lateng bergabung bersama barisan kyai. Ikatan emosional ketika mengaji di beberapa pesantren, terutama pesantren Bangkalan dan Makkah, menambah kekuatan komunikasi antara Kyai Saleh dengan beberapa kyai lainnya.
Kyai Saleh mendirikan GP Ansor dan Nahdatul Ulama
suntingKetika masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, yakni pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Kyai Saleh Lateng ditunjuk oleh Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy'ari dan Kyai Wahab Chasbullah menjadi anggota formatur pendirian Nahdlatul Ulama.
Pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi yang dipimpin oleh Kyai Saleh Lateng, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian departemen pemuda NU dengan pengurus antara lain: Ketua H.M. Thohir Bakri; Wakil Ketua Abdullah Oebayd; Sekretaris H. Achmad Barawi dan Abdus Salam (tanggal 24 April itulah yang kemudian dikenal sebagai tanggal kelahiran Gerakan Pemuda Ansor).
Kyai Saleh Lateng berpartisipasi dalam pendirian Kementerian Agama
suntingdikisahkan, Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur didapuk oleh Presiden Soekarno untuk memimpin Kementerian Agama. Sebagai negara baru merdeka dan sedang menyusun tata kelola pemerintahan, bukan tugas mudah mengemban tugas menjadi menteri. Lebih-lebih kementerian tersebut, bukanlah kementerian yang populer dalam sistem pemerintahan yang banyak berkembang.[3]
Sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, Indonesia bukanlah negara sekuler, tapi juga bukan negara teokrasi. Nilai-nilai keagamaan tidak menjadi patokan utama bernegara, tapi tidak lantas ditanggalkan secara keseluruhan. Agama menjadi udara yang menginspirasi setiap kebijakan negara. Negara juga terlibat dalam mengembangkan kehidupan beragama. Untuk itulah, Kementerian Agama perlu didirikan di Indonesia. Suatu institusi kementerian yang tak banyak negara memilikinya kala itu.
Sebagai menteri agama, Kiai Wahid jelas memerlukan rujukan untuk merancang kementeriannya. Di tengah kurangnya contoh kementerian serupa, maka studi literatur adalah solusinya. Meneliti bagaimana kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah tempo dulu menginstitusikan urusan keagamaan menjadi alternatif yang patut dirujuk.
Dengan pemikiran demikian, Kiai Wahid memerlukan referensi yang mendalam mengenai hal tersebut. Beliau mengumpulkan berbagai literatur untuk dikumpulkan dalam Maktabah Islamiyah (Perpustakaan Islami) Kementerian Agama. Di dalamnya akan terhimpun berbagai literatur sejarah pemerintahan sejak zaman Nabi hingga yang terkini. Dari berbagai sumber ini, akan menjadi pusat studi untuk menyusun Kemenag ke depan.
Namun, mengumpulkan berbagai literatur tersebut tidaklah mudah. Ada buku-buku yang mudah ditemukan, tetapi juga ada yang sangat sulit. Salah satunya adalah karya Al-Halawi yang berjudul Mu'jamul Buldan (Ensiklopedia Negara-Negara). Buku yang disusun selama 4 tahun di ujung usia Al-Halawi tersebut banyak membahas tentang kehidupan negara-negara pada masa itu, mulai dari letak geografis, tata kelola pemerintahan hingga sejarahnya. Mengatasi kesulitan mencari buku tersebut, Kiai Wahid kemudian membentuk tim khusus. Tim tersebut bertugas mencari buku itu di seluruh pesantren di Jawa, dengan harapan ada seorang kiai yang memiliki salinannya.
Setelah melakukan pencarian ke beberapa tempat, tim tersebut tidak juga menemukannya. Pesantren, ahli ilmu, dan para intelektual Muslim kala itu tidak seorang pun yang memilikinya. Ketika mereka hampir putus asa, tim tersebut mendapat kabar gembira dari Sayid Yahya Surakarta. Dia mengabarkan bahwa satu-satunya kiai yang memiliki buku itu adalah Kyai Saleh Lateng di Banyuwangi.
Utusan pun berangkat ke ujung Timur Pulau Jawa tersebut. Dia mencari Kyai Saleh Lateng. Setibanya di Banyuwangi, utusan dari Kyai Wahid tersebut bertemu dengan Kyai Saleh langsung. Mereka bertemu dengan Kyai Saleh yang sedang bersembunyi dari kejaran Belanda di Desa Pakistaji, Kabat, Banyuwangi. Saat itu, Kyai Saleh ditemani oleh Sayyid Muhsin al-Haddar.
Tim tersebut kemudian mengutarakan maksudnya untuk membeli buku Mu'jamul Buldan milik Kyai Saleh untuk melengkapi pusat studi yang dikembangkan oleh Kemenag. Mendapat tawaran tersebut, Kyai Saleh berunding dengan Sayyid Muhsin al-Haddar.
Sayyid Muhsin menyarankan kepada Kyai Saleh untuk menjualnya seharga Rp. 1,500-. Untuk ukuran tahun 1946, uang tersebut cukup besar. Namun, hal itu setara dengan kualitas bukunya.
Namun Kyai Saleh berpendapat lain. Dia memotong harganya menjadi 950 rupiah saja. Namun, saat akan dibayar oleh dua orang utusan Kemenag tersebut, Kyai Saleh hanya mau menerima 475 rupiah saja. "Biarkan separuhnya sebagai amal jariyahku untuk negeri ini," kata Kyai Saleh sembari menyerahkan bukunya.
Bahkan, Kyai Saleh juga menawarkan beberapa koleksi bukunya yang langka, seperti kitab Dairatul Ma'arif. Dia rela menyerahkannya jika Negara memang membutuhkannya.
Kyai Saleh Lateng menghembuskan napas terakhir pada malam Rabu, 29 Dzulqo'dah 1371 H/20 Agustus 1952 pada usia 93 tahun. Jenazahnya dikebumikan di sebelah musholla (Langgar), tempat Kyai Saleh Lateng biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya. Pada tahun 1956, DPRD Kabupaten Banyuwangi memberikan keputusan penggunaan nama Kyai Saleh Lateng untuk sebuah ruas jalan. Keputusan DPRD Banyuwangi ini untuk menghormati perjuangan dan pengabdian Kyai Saleh Lateng dalam mendidik warga sekaligus berjuang untuk negeri.
Nasab
sunting-
Peninggalan
sunting-
Al-Qur'an Karya Kyai Saleh Lateng
Galeri
sunting-
Tampak depan masjid KH. Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)
-
Gapura menuju pesantren dan masjid bersejarah KH. Kiagus Muhammad Saleh (Kyai Saleh Lateng Banyuwangi)