Bundo Kanduang ("Ibunda kandung") ialah suatu personifikasi suku bangsa Minangkabau sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan yang memimpin suatu keluarga dalam Minangkabau baik sebagai ratu mahupun selaku ibunda penguasa; gelaran ini sangat dilekatkan semenjak zaman sejarah Minanga Tamwan hingga zaman adat kepada seorang perempuan yang sudah berkeluarga yang memiliki karisma kerana kecerdasan, kearifan serta sifatnya yang arif bijaksana.[1]

Para wanita bergelar Bundo Kanduang jalan beriring dalam acara adat batagak penghulu di sebuah kampung Sumatera Barat

Gelaran ini kini diwariskan secara turun-menurun di Minangkabau dan dipilih pada lembaga Bundo Kanduang Sumatra Barat. Isteri seorang Datuak kadang-kadang juga disebut sebagai Bundo Kanduang untuk tingkat puak atau suku.

Sejarah sunting

Sebagian pendapat menyatakan bahawa gelar ini pertama kali diberikan kepada Dara Jingga, seorang puteri dari raja Tribuanaraja Mauliawarmadewa yang dinikahi oleh seorang bangsawan Kerajaan Singasari pada waktu ekspedisi Pamalayu tetapi pendapat ini tidak mempunyai bukti yang kuat.

Penceritaan sunting

Dalam Kaba Cindua Mato, Bundo Kanduang adalah seorang ratu yang memerintah di Kerajaan Pagaruyung mempunyai dua orang putera iaitu Sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuanku dan Rajo Mudo yang memerintah di daerah rantau timur Minangkabau di Renah Sekalawi (sekarang Kabupaten Lebong); baginda mempunyai seorang keponakan (anak dari adik perempuannya bernama Cindua Mato).

Sutan Rmandung naik takhta menjadi raja sepeninggal ayahnya sementara itu saudara laki-lakinya bukanlah figur yang cocok untuk menjadi raja. Baginda diduga memerintah di saat terjadinya kekosongan kuasa di Pagaruyung (sekitar abad 15-16). Akibat serangan dari kerajaan di Timur, baginda sekeluarga menyingkir ke arah barat daya Pagaruyung iaitu ke Inderapura atau Lunang dan menetap di sana, dalam pelariannya Sultan Rumandung dikurniakan dua putera iaitu Sutan Sarduni dan Puteri Sariduni.

Pada zaman moden sunting

Di Lunang, Pesisir Selatan Sumatera Barat sekarang, keturunan Bundo Kanduang dipanggil sebagai Mande Rubiah yang sudah merupakan turunan ke-7. Sementara itu di Kabupaten Lebong, Renah Sekalawi, seluruh rakyat suku VIII dan suku IX menuliskan dalam tambo-tambo secara turun temurun nama Rajo Mudo yang bermenantukan kemanakannya Dang Tuanku Sutan Remendung sebagai menantunya dengan menikahi puterinya Puti Bungsu setelah melewati pertempuran dengan Imbang Jayo dalam kisah Cindur Mato. Saat ini keturunan Sutan Remendung sudah mencapai urutan ke 22 dan 23 yang tercatat di suku-suku VIII dan IX.[2]

Tokoh yang pernah bergelaran sunting

Rohana Kuddus dan Rahmah El Yunusiyyah pernah dijuluki sebagai Bundo Kanduang kerana ketokohan dan perjuangan mereka dalam masyarakat.

Rujukan sunting

  1. ^ Arifin Zainal (2013). "Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang)". Antropologi Indonesia. 34 (2): 125. ISSN 1693-167X.
  2. ^ Indah Sari Kencanawati (2009). Baso Jang Te. Tiga Serangkai.