Dekret Presiden 5 Juli 1959: Perbezaan antara semakan

Kandungan dihapus Kandungan ditambah
k Anumengelamun telah memindahkan laman Dekri Presiden 5 Julai 1959 ke Dekret Presiden 5 Juli 1959: Pemindahan ke istilah yang lebih khusus digunakan dalam konteks rasmi lagi-lagi pilihan "dekret" dan "Juli" dalam baku Indonesia
Tiada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Fail:1959 Decree 1.jpg|300px|thumb|Pembacaan perintah Presiden di [[Istana Merdeka]] tahun 1959]]
{{Sejarah Indonesia}}
'''Dekret Presiden 5 Juli 1959''' <!-- istilah "dekret" dan "Juli" tidak sahaja dipakai dalam dokumen lalu boleh dianggap rasmi, malah turut dipakai meluas media sana - contoh: https://tirto.id/sejarah-dekrit-5-juli-1959-politik-tentara-kediktatoran-sukarno-cNtS --> ialah sebuah [[dekri|perintah undang-undang]]{{refn|group=nota bahasa|''decree'' - "dekret" dlm b. Indonesia, "dekri" dalam b. Malaysia<ref>{{cite web|url=http://prpm.dbp.gov.my/Cari1?keyword=dekret&d=376296|title='dekret' - Istilah MABBIM|website=Pusat Rujukan Persuratan Melayu|access-date=5 Jun 2020}}</ref>}} yang dikeluarkan oleh [[Sukarno]], [[presiden Indonesia]] yang pertama, untuk membubarkan [[Badan Konstituante]] yang dibentuk melalui [[Pilihan Raya Umum Indonesia 1955|Pilihan Umum 1955]], serta juga untuk mengembalikan [[Perlembagaan Republik Indonesia 1945]] sebagai gantian untuk [[Perlembagaan Sementara 1950]]. Dekri itu disokong dengan sebulat suara oleh [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) pada [[22 Julai]] [[("Juli"{{refn|group=nota bahasa|''Djuli'' sepertimana tertulis dalam dokumen asal}})1959]].
 
== Latar belakang ==
Dekret Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan [[Badan Konstituante]] untuk menetapkan suatu [[perlembagaan|undang-undang dasar]] baru sebagai pengganti [[Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia|Undang-Undang Dasar Sementara 1950]]. Anggota [[Konstituante]] mulai bersidang pada [[10 November]] [[1956]], tetapi pada kenyataannya hingga tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar Republik 1945]] semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, [[Soekarno|Presiden Ir. Soekarno]] lantas menyampaikan amanat di depan sidang [[Konstituante]] pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke [[UUD '45]].
 
Pada 30 Mei 1959, [[Badan Konstituante]] melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak, pemungutan suara ini harus diulang karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yang harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini [[Konstituante]] juga gagal mencapai [[kuorum]]. Untuk meredam kemacetan, pada tanggal [[3 Juni]] [[1959]] [[Konstituante]] mengadakan ''reses'' (masa rehat sidang parlimen; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang kemudian ternyata untuk selama-lamanya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka [[Abdul Haris Nasution|Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal A.H. Nasution]] atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), mengeluarkan peraturan No.Prt/Peperpu/040/1959 yang berisi larangan melakukan kegiatan-kegiatan politik. Pada tanggal [[16 Juni]] [[1959]], Ketua Umum PNI [[Suwirjo]] mengirimkan surat kepada Presiden agar mendekritkan berlakunya kembali [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|UUD 1945]] dan membubarkan [[Konstituante]].
 
== Pengeluaran perintah ==