Kesultanan Gowa (atau juga dieja Goa, bahasa Makassar: ᨅᨈᨙᨔᨒᨄ Baté Salapang) atau Kerajaan Mengkasar (Jawi: كراجاءن مڠكاسر) merupakan sebuah kerajaan dan kesultanan yang berpusat di daerah daerah selatan pulau Sulawesi, tepatnya di jazirah selatan dan pesisir barat semenanjung yang banyaknya didiami orang-orang Makassar. Kawasan Wilayah inti bekas kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bahagian daerah sekitarnya.

Kesultanan Gowa
Baté Salapang (Makasar)
ᨅᨈᨙᨔᨒᨄ
1320–1905
1936–1957
Bendera Kesultanan Gowa
Bendera
Wilayah kekuasaan Federasi Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17
Wilayah kekuasaan Federasi Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17
Ibu negaraSomba Opu - Maccini Sombala - Jongaya - Sungguminasa
Bahasa yang umum digunakanMakassar (resmi
Agama
Islam
KerajaanMonarki
Sultan 
Sejarah 
• Didirikan
1320
• Sultan Hasanuddin naik takhta
1653
• Perjanjian Bungaya antara Gowa dan VOC
1667
• Kesultanan Gowa ditaklukkan sepenuhnya oleh Belanda
1905
• Kesultanan Gowa kembali dihidupkan dan dinaikkan statusnya menjadi setingkat swapraja
1936
• Wilayahnya dijadikan Kabupaten Gowa
1957
Didahului oleh
Diganti oleh
Gowa dan Tallo
Hindia Belanda
Republik Indonesia
Istana Tamalate yang berada di Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan

Kerajaan ini didirikan daripada penggabungan beberapa wilayah pembesar atau banua pada awal abad ke-14, ia mencapai puncak kejayaannya bersama Kerajaan Tallo pada abad ke-17, ketika kerajaan ini memegang hegemoni ketenteraan dan perdagangan atas wilayah timur Nusantara, termasuk di antaranya sebahagian besar Sulawesi, beberapa bahagian dari Maluku dan Nusa Tenggara serta pesisir timur Kalimantan. Kerajaan ini turut mengembangkan berbagai inovasi dalam bidang pemerintahan, ekonomi dan ketenteraan. Perubahan sosial budaya yang drastik mendadak juga terjadi seiring mengeratnya hubungan antara Kerajaan Gowa dan dunia luar pada ketika ini terutama setelah Kerajaan Gowa menjadikan Islam sebagai agama resmi pada awal 1600.

Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar yang terjadi pada akhir 1660-an mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa di luar Sulawesi Selatan, sementara sebagian kecil wilayahnya diberikan kepada VOC. Meski begitu, Kerajaan Gowa tetap bertahan sebagai negeri merdeka hingga awal abad ke-20, ketika pemerintah kolonial Belanda mengalahkan Gowa dalam Ekspedisi Sulawesi Selatan dan menjadikannya daerah jajahan.

Sejarah sunting

Sejarah awal sunting

 
Catatan sejarah Gowa yang ditulis dalam bahasa dan aksara Makassar

Naskah Lontara Patturioloang Gowa menyebutkan bahawa keturunan penguasa Kerajaan/Kesultanan Gowa berawal dari perkahwinan antara seorang Tumanurung (semacam ras makhluk langit legendaris???) yang secara harafiah dapat diartikan "orang yang turun" (kerana tidak diketahui asal muasalnya secara pasti) dengan seorang bangsawan yang hanya dikenali dengan gelar "Karaeng Bayo",[1][2] ditafsirkan oleh arkeolog Francis David Bulbeck sebagai perkawinan antara wanita bangsawan setempat dan penguasa Bajau;[3][4] para bangsawan Bate Salapanga di Gowa pun bersepakat membentuk negeri dan mengangkat mereka berdua suami-isteri sebagai penguasa.[5] Bukti genealogi dan arkeologi mengisyaratkan bahawa pembentukan negeri Gowa terjadi pada sekitar tahun 1300 Masihi.[6][7] Tahun 1320-an pula menyaksikan kedatangan Islam dibawa Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husainiyang kemudiannya merupakan datuk salah satu tokoh Wali Songo di Jawa.[8]

Para ahli mengaitkan kemunculan Kerajaan Gowa dan negeri-negeri di Sulawesi Selatan lainnya dengan menggiatnya cucuk tanam dan pertanian serta pemusatan pemerintahan besar-besaran pada abad ke-14, yang didorong kenaikan permintaan luar bagi beras Sulawesi Selatan.[9][10][11] Kepadatan penduduk turut meningkat seiring dengan pergantian dari budaya meladang kepada penanaman padi sawah secara intensif. Hutan-hutan di pedalaman semenanjung turut ditebang buka untuk memberi tempat bagi pemukiman-pemukiman agraria baru,[12] termasuk Gowa yang awalnya juga merupakan "kepembesaran" (chiefdom) atau "banua" pedalaman yang berbasiskan budi daya padi.[7]

Dalam perang takhta antara dua putera raja Sombaya ri Gowa pada akhir abad ke-15, Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna mengalahkan saudaranya Karaeng Loe ri Sero'. Karaeng Loe ri Sero' kemudian menuju ke muara Sungai Tallo dan mendirikan negeri baru yang dikemudian hari dinamakan Tallo,[13][14] yang kemudian berkembang menjadi kerajaan dagang maritim.[15][16]

Persaingan kuasa sunting

Hingga abad ke-16, bahagian barat Sulawesi Selatan terdiri dari negeri-negeri sama kuat yang saling bersekutu dan bersaing satu sama lain, tanpa ada satupun yang mampu menguasai keseluruhannya.[17] Putra Batara Gowa, Karaeng Tumapaʼrisiʼ Kallonna (berkuasa sekitar 1511–1546), memecahkan keadaan status quo ini dengan menaklukkan pesisir Garassi' serta menyerang setidaknya tiga belas negeri bersuku Makassar lainnya.[18][19][20] Pada akhir 1530-an atau awal 1540-an, Kerajaan Gowa memenangkan perang melawan Kerajaan Tallo dan sekutu-sekutunya.[21][22] Kerajaan Gowa pun menjadi negeri paling dominan di tanah suku Makassar dan diakui sebagai saudara tua oleh Kerajaan Tallo.[23][24] Sombaya Tumapaʼrisiʼ Kallonna mengembangkan birokrasi kerajaan dengan menunjuk Daeng Pamatteʼ sebagai sabannaraʼ (syahbandar) pertama.[25] Penyusunan catatan sejarah serta hukum tertulis kerajaan juga dimulai pada masa pemerintahannya.[26][18] Ia juga kemungkinan merupakan penguasa Kerajaan Gowa yang pertama kali membangun benteng Somba Opu.[27][28]

Fail:Penaklukan Sombaya Tunipalangga id.png
Jangkauan penaklukan Sombaya Tunipalangga di seluruh Sulawesi

Penguasa Kerajaan Gowa berikutnya, Karaeng Tunipalangga (memerintah sekitar 1546–1565) memperluas pengaruh Kerajaan Gowa melalui serangkaian penngiatan ketenteraan. Ia juga melakukan inovasi dalam bidang teknologi persenjataan dan pertahanan.[29][30][28] Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa mengalahkan seluruh pesaingnya di pesisir barat dan memperluas pengaruhnya hingga ke wilayah Sulawesi Tengah.[31][32] Sombaya Tunipalangga juga menerima orang-orang Melayu dan Nusantara Barat lainnya untuk bermukim dan sekaligus berniaga di negerinya.[33] Ia bahkan mengadakan perjanjian dengan salah satu pemimpin mereka dan memperbolehkan mereka untuk tinggal secara permanen di dalam wilayah Kerajaan Gowa tanpa harus mengikuti hukum adat setempat.[34][35][36] Para pedagang ini kemungkinan juga turut terlibat dalam reformasi ekonomi yang berkontribusi pada kemajuan pesat Kerajaan Gowa sebagai bandar persinggahan utama di Nusantara bahagian timur kala itu.[37] Sombaya Tunipalangga juga mengembangkan birokrasi Keraiaan Gowa lebih lanjut dengan menciptakan jabatan Tumilalang atau Tumailalang "orang di dalam" serupa menteri dalam negeri[38]) untuk mengambil alih tugas-tugas bukan dagang sabannaraʼ,[39][40] serta mengangkat Tumakkajannangngang atau kepala pengrajin yang bertugas mengawasi pekerjaan. (Dari versi lain, jabatan "Tumakkajannangngang" atau lengkapnya "Anrongguru Lompona Tukkajannangnganga" adalah jabatan Panglima Angkatan perang Kerajaan/Kesultanan Gowa yang di masa pemerintahan Raja (Sultan) atau Sombaya ri Gowa ke 15, jabatan tersebut diduduki oleh putra Beliau yaitu I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana yang dijuluki oleh admiral VOC Cornelius Spellman dengan julukan De Haantjes van Het Osten atau Ayam Jantan dari Timur, dalam bahasa Makassarnya; Jangang Pallakina Butta Irayayya, dan juga pada masa akhir Kesultanan Gowa para masa pemerintahan Sombaya ri Gowa XXXVI Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tuminanga ri Jongaya yang dijabat oleh salah satu kerabatnya yang bernama Andi Laoddanriu Karaeng Bontonompo) serikat-serikat pengrajin di Makassar.[41][42]

Perluasan pengaruh Kerajaan Gowa di pesisir barat mencetuskan tindak balas agresif dari Kerajaan Bone di sebelah timur. Perang meletus pada awal 1560-an, dan baru berakhir pada 1565 dengan kekalahan Gowa. Karaeng Tunibatta, saudara dan penerus Sombaya Tunipalangga, mati dipenggal (Nibatta) oleh musuh.[43][44][45] Selepas kematian Tunibatta, penguasa Kerajaan Tallo I Mappatakangkang Tana Daeng Padulung Tuminanga ri Makkoayang naik sebagai Tuma'bicara butta atau juru bicara negeri pertama Gowa dan mengangkat Karaeng Tunijalloʼ, putra Karaeng Tunibatta, sebagai penguasa Gowa.[46][47] Sejak saat itu, penguasa Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo berbagi kedudukan dalam memimpin keseluruhan negeri Gowa dan negeri Tallo secara bersama-sama.[48][49] Karaeng Tunijalloʼ mengakhiri peperangan dengan menandatangani Perjanjian Caleppa atau "Ulu Kanaya ri Caleppa" antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone,[44][45] yang mempertahankan kedamaian di semenanjung selama kurang lebih enam belas tahun berikutnya.[50] Selama itu pula, Sombaya Tunijalloʼ dan Karaeng Tuminanga ri Makkoayang melanjutkan kebijakan-kebijakan pro-perniagaan penguasa sebelumnya dan mengikat persahabatan dengan negeri-negeri lain di Nusantara.[51][52][53]

Masa kesultanan sunting

 
Gambar Sultan Hasanuddin dalam setem (perangko) Indonesia diterbitkan tahun 2006.

Pada tahun 1666, Syarikat Hindia Timur Belanda (Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC) di bawah pimpinan Cornelis Speelman berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di sisi lain pula, Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bahagian timur untuk melawan VOC.

Pertempuran terus berlangsung, di mana "Kompeni" menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, kerana itu Sultan Hasanuddin mengisytihar perang lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan ketenteraan dari Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat di mana pasukan Sultan Hasanuddin sengit melawan, namun bantuan Batavua mampu menambah kekuatan pasukan VOC sehingga akhirnya berhasil menerobos benteng terkuat kerajaan itu, Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Jun 1669. Sultan Hasanuddin kemudian turun takhta kerajaan selepas kalah dan kerajaan baginda diserahkan sebagai suatu kawasan pentadbiran Belanda,[54] baginda mangkat genap setahun kemudian pada 1670.

Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda.

Pasca-perang dan pembubaran sunting

Pada 1945, Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin menyatakan sokongan terhadap penyertaan Kesultanan Gowa menjadi sebahagian daripada Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.

Budaya dan masyarakat sunting

 
Deretan kapal Pinisi di Pelabuhan Paotere.

Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan Ata[55].

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan dan terkenal hingga mancanegara.

Ekonomi sunting

Senarai penguasa sunting

 
I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Thahir Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (bertakhta 1936-1946) mendengarkan pidato pengangkatan pejabat gubernur Celebes, Tn. Bosselaar (awal tahun 1930-an).
 
Istana raja Gowa (1870-1892)
  1. Tumanurung Bainea (±1300)
  2. Tumassalangga Barayang
  3. I Puang Loe Lembang
  4. I Tuniata Banri
  5. Karampang ri Gowa
  6. Tunatangka'/Tunarangka' Lopi (±1400)
  7. Batara Gowa Tuniawanga ri Parallakkenna
  8. I Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
  9. I Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16-1546)
  10. I Manriwagau' Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565)
  11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta
  12. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo' (1565-1590)
  13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tunipasulu' (1593)
  14. I Mangnga'rangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna; 1593-mangkat tanggal 15 Jun 1639, sultan Gowa pertama memeluk agama Islam
  15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid/Muhammad Said Tuminanga ri Papang Batunna; Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639- 6 November 1653
  16. I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana; 1653-1669
  17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu' atau Ri Uwu' Labbuna; 1669-1674,
  18. I Mappaosong Daeng Mangngewai Sultan Muhammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara; 1674-1677,
  19. I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiung. (1677-1709)
  20. La Pareppa Tosappewalie Karaeng Ana' Moncong Sultan Ismail Muhtajuddin Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
  21. I Mappau'rangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tuminanga ri Pasi
  22. I Manrabbia Sultan Najamuddin
  23. I Mappaurangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Tuminanga ri Pasi; Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735
  24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair Al Manshur (1735-1742)
  25. I Mappaba'basa' Sultan Abdul Quddus (1742-1753)
  26. Amas Madina Sultan Usman Fakhruddin Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
  27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Sultan Imaduddin Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
  28. I Temassongeng I Makkaraeng Karaeng Katangka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattoanging (1770-1778)
  29. I Mannawarri I Sumaele Karaeng Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdul Hadi Tuminanga ri Lambusu'na atau ri Sambungjawa (1778-1810)
  30. I Mappatunru' I Manginnyarrang Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Rauf Tuminanga ri Katangka (1816-1825)
  31. I La Oddanriu' Daeng Mangngeppe Karaeng Katangka Sultan Abdul Rahman Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
  32. I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid Tuminanga ri Kakoasanna (1826-mangkat 30 Januari 1893)
  33. I Malingkaang Daeng Nyonri' Karaeng Katangka Sultan Muhammad Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893-mangkat 18 Mei 1895)
  34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminanga ri Bundu'na atau Somba Ilanga ri Lampanna; Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895-1906, di Mahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895.
  35. I Mangngimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad Thahir Muhibuddin Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946)
  36. Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tuminanga ri Jongaya (1956-978)
  37. Andi Maddusila Patta Nyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II (2011-2020)
  38. Andi Kumala Andi Idjo atau I Kumala Idjo Daeng Sila Karaeng Lembang Parang Batara Gowa III, sejak 2020)

Lihat pula sunting


Rujukan sunting

Petikan sunting

  1. ^ Cummings (2002), m/s. 25, 149–153.
  2. ^ Abidin (1983).
  3. ^ Bulbeck (1992), m/s. 32–34.
  4. ^ Bulbeck (2006), m/s. 287.
  5. ^ Cummings (2002), m/s. 25.
  6. ^ Bulbeck (1992), m/s. 34, 231, 473, 475, antara lain.
  7. ^ a b Bulbeck (1993).
  8. ^ Hannapia, Muhammad Ali (2012). "Masuknya Islam di Gowa". muhalihannapia.blogspot.com (dalam bahasa Indonesia).
  9. ^ Bulbeck & Caldwell (2000), m/s. 107.
  10. ^ Druce (2009), m/s. 34–36.
  11. ^ Pelras (1996), m/s. 100–103.
  12. ^ Pelras (1996), m/s. 98–100.
  13. ^ Cummings (2007b), m/s. 100–105.
  14. ^ Bulbeck (1992), m/s. 430–432.
  15. ^ Reid (1983).
  16. ^ Cummings (2007a), m/s. 2–5, 83–85.
  17. ^ Bulbeck (1992), m/s. 123–125.
  18. ^ a b Cummings (2007a), m/s. 32–33.
  19. ^ Druce (2009), m/s. 241–242.
  20. ^ Bulbeck (1992), m/s. 125.
  21. ^ Bulbeck (1992), m/s. 117–118.
  22. ^ Cummings (2000), m/s. 29.
  23. ^ Cummings (2014), m/s. 215–218.
  24. ^ Bulbeck (1992), m/s. 127–131.
  25. ^ Bulbeck (1992), m/s. 105–107.
  26. ^ Cummings (2002), m/s. 216.
  27. ^ Cummings (2007a), m/s. 57.
  28. ^ a b Bulbeck (1992), m/s. 126.
  29. ^ Cummings (2007a), m/s. 33–36, 56–59.
  30. ^ Andaya (1981), m/s. 25–26.
  31. ^ Druce (2009), m/s. 232–235, 244.
  32. ^ Bougas (1998), m/s. 92.
  33. ^ Sutherland (2004), m/s. 79.
  34. ^ Cummings (2007a), m/s. 34.
  35. ^ Andaya (1981), m/s. 27.
  36. ^ Cummings (2014), m/s. 219–221.
  37. ^ Andaya (2011), m/s. 114–115.
  38. ^ Gibson (2007), m/s. 45.
  39. ^ Cummings (2002), m/s. 112.
  40. ^ Bulbeck (1992), m/s. 107.
  41. ^ Gibson (2005), m/s. 45.
  42. ^ Bulbeck (2006), m/s. 292.
  43. ^ Cummings (2007a), m/s. 36.
  44. ^ a b Pelras (1996), m/s. 131–132.
  45. ^ a b Andaya (1981), m/s. 29.
  46. ^ Reid (1981).
  47. ^ Bulbeck (1992), m/s. 102.
  48. ^ Cummings (1999), m/s. 109–110.
  49. ^ Cummings (2007a), m/s. 86.
  50. ^ Druce (2014), m/s. 152.
  51. ^ Cummings (2007a), m/s. 41.
  52. ^ Cummings (2002), m/s. 22.
  53. ^ Pelras (1994), m/s. 139.
  54. ^ National Centennial Commission (Philippines) (1998). Elmer A. Ordoñez (penyunting). Toward the first Asian republic: papers from the Jakarta International Conference on the Centenary of the Philippine Revolution and the First Asian Republic. Philippine Centennial Commission. ISBN 9789719201830.CS1 maint: uses authors parameter (link)
  55. ^ "Kerajaan Gowa-Tallo / Kesultanan Makassar (Lengkap)". Diarkibkan daripada yang asal pada 2015-06-10. Dicapai pada 2015-08-10. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)

Daftar pustaka sunting

Abidin, Andi' Zainal (1983). "The Emergence of Early Kingdoms in South Sulawesi: A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century". Southeast Asian Studies. 20 (4): 1–39. doi:10.14724/jh.v2i1.14.CS1 maint: ref=harv (link)
Andaya, Leonard Y. (1981). The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. Ann Arbor: University of Michigan. ISBN 9789024724635.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2011). "Chapter 6: Eastern Indonesia: A Study of the Intersection of Global, Regional, and Local Networks in the 'Extended' Indian Ocean". Dalam Halikowski Smith, Stephan C. A. (penyunting). Reinterpreting Indian Ocean Worlds: Essays in Honour of Kirti N. Chaudhuri. Cambridge Scholars Publishing. m/s. 107–141. ISBN 9781443830447.CS1 maint: ref=harv (link)
Bougas, Wayne A. (1998). "Bantayan: An Early Makassarese Kingdom, 1200–1600 A.D.". Archipel. 55 (1): 83–123. doi:10.3406/arch.1998.3444.CS1 maint: ref=harv (link)
Bulbeck, Francis David (992). A Tale of Two Kingdoms: The Historical Archaeology of Gowa and Tallok, South Sulawesi, Indonesia (Ph.D.). Australian National University.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (1993). "New Perspectives on early South Sulawesi History". Baruga: Sulawesi Research Bulletin. 9: 10–18.CS1 maint: ref=harv (link)
———; Caldwell, Ian (2000). Land of iron: the Historical Archaeology of Luwu and the Cenrana valley : Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi Project (OXIS). University of Hull Centre for South-East Asian Studies. ISBN 9780903122115.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2006). "Chapter 13: The Politics of Marriage and the Marriage of Polities in Gowa, South Sulawesi, During the 16th and 17th Centuries". Dalam Fox, James J. (penyunting). Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: ANU Press. m/s. 283–319. ISBN 9781920942878.CS1 maint: ref=harv (link)
Cummings, William P. (2000). "Reading the Histories of a Maros Chronicle". Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 156 (1): 1–31. doi:10.1163/22134379-90003851. JSTOR 27865583.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 9780824825133.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2007a). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. Leiden: KITLV Press. ISBN 9789067182874.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2007b). "Islam, Empire and Makassarese Historiography in the Reign of Sultan Ala'uddin (1593–1639)". Journal of Southeast Asian Studies. 38 (2): 197–214. doi:10.1017/S002246340700001X. JSTOR 20071830.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2014). "Chapter 10: Re-evaluating state, society, and the dynamics of expansion in precolonial Gowa". Dalam Wade, Geoff (penyunting). Asian Expansions: The Historical Experiences of Polity Expansion in Asia. Routledge. m/s. 214–232. ISBN 9781135043537.CS1 maint: ref=harv (link)
Druce, Stephen C. (2009). The Lands West of the Lakes: A History of the Ajattappareng Kingdoms of South Sulawesi, 1200 to 1600 CE. Leiden: Brill. ISBN 9789004253827.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2014). "Dating the tributary and domain lists of the South Sulawesi kingdoms". Dalam Ampuan Haji Brahim bin Ampuan Haji Tengah (penyunting). Cetusan minda sarjana: Sastera dan budaya. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka. m/s. 145–156. ISBN 9789991709604.CS1 maint: ref=harv (link)
Gibson, Thomas (2005). And the Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 9780824828653.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (2007). Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to the 21st century. New York: Springer Publishing. ISBN 9780230605084.CS1 maint: ref=harv (link)
Pelras, Christian (1994). "Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi". Indonesia. 57 (1): 133–154.CS1 maint: ref=harv (link)
——— (1996). The Bugis. Oxford: Blackwell Publishers. ISBN 9780631172314.CS1 maint: ref=harv (link)
Reid, Anthony (1981). "A Great Seventeenth-Century Indonesian Family: Matoaya and Pattingalloang of Makassar". Masyarakat Indonesia. 8 (1): 1–28.CS1 maint: ref=harv (link)
Sutherland, Heather (2004). "The Makassar Malays: Adaptation and Identity, c.1660–1790". Dalam Barnard, Timothy (penyunting). Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries. NUS Press. m/s. 76–106. ISBN 9789971692797.CS1 maint: ref=harv (link)

Templat:Kerajaan di Sulawesi