Dewi Seri (Jawi: ديوي سري, Jawa: ꦢꦺꦮꦶꦱꦿꦶ Dewi Sri) ialah dewi kesuburan dan bercucuk tanam terutama padi sawah dalam kalangan masyarakat orang Jawa, Bali dan Melayu[1] zaman pra-Islam. Dia memiliki pengaruh di dunia bawah tanah dan terhadap bulan. Dia juga dapat mengawal bahan makanan di bumi dan kematian. Kerana Dia merupakan tanda bagi padi, Dia juga dipandang sebagai ibu kehidupan.

Patung gangsa Dewi Seri dari Jawa

Dia merujuk kepada dewi-dewi Hindu; Dewi dan Shri.

Kebanyakan kisah mengenai Dewi Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi yakni tanaman ruji utama di rantau pulau-pulau ini.

Dalam cerita orang Sunda sunting

Kesemua kisah mengenai dewi ini dari kepercayaan orang Sunda datang dari naskhah manuskrip "Wawacan Sulanjana":[2][3]

Kelahiran dari telur mustika sunting

Dahulu kala di Kahyangan, Batara Guru penguasa tertinggi kerajaan langit memerintahkan semua dewa-dewi bergotong-royong menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru, siapapun yang tidak mentaati perintah ini dianggap pemalas dihukum dipotong tangan dan kakinya. Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas dan takut mendengar titah ini mengetahui kurang upaya diri Maka, Anta meminta nasihat Batara Narada, adinda Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular.

Anta pun menangis tersedu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya. Akan tetapi ketika dengan ajaibnya tiga titis air matanya yang jatuh ke tanah berubah menjadi mustika berupa telur bercangkerang indah yang berkilau-kilau bagai permata. Barata Narada menyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar dia memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja membangun istana. Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru.

Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung gagak yang menyapa Anta dan menanyakan ke mana ia hendak pergi, tetapi Anta tidak dapat menjawab pertanyaan si burung gagak kerana mulutnya penuh berisi telur; sang gagak buruk sangka mengira Anta sombong sehingga amat tersinggung dan marah. lalu menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah.

 
Arca kuno Dewi Sri terbuat dari perunggu
 
Mata uang kertas IDR 10 bergambar arca Dewi Sri, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.

Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib, Batara Guru memerintahkan Anta mengeram telur itu hingga menetas. Setelah sekian lama telur itu dierami, maka telur itu pun menetas keluarnya seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan comel. Bayi perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya diberi nama Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Peracunan sunting

Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi.

Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu. Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci. Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi Pohaci Sanghyang Sri.

Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahawa tak ada jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci. Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan dan segera membubuhkanpada minuman sang puteri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan kerana telah melakukan dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan di tempat yang jauh dan tersembunyi.

Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, kerana kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia.

  • Dari kepalanya muncul pohon kelapa.
  • Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-ratus wangi dan sayur-mayur.
  • Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum
  • Dari payudaranya tumbuh buah-buahan yang ranum dan manis.
  • Dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis.
  • Dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu.
  • Dari kakinya muncul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling berguna bagi manusia.

Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. Sejak saat itu umat manusia di pulau Jawa memuja, memuliakan, dan mencintai sang dewi baik hati, yang dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan, dan ketersediaan pangan bagi manusia.

Pada sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuno, Nyi Pohaci Sanghyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Sebagai tokoh agung yang sangat dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau Sadono), dengan latar belakang Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya.

Dalam mitologi Jawa sunting

Versi ini berdasarkan kepada lakon "Měngukuhan",[4] yang juga dijumpai dalam naskah "Serat Manikmaya", "Serat Pustakaraja Budhawaka", Serat Sejarah Ageng Nungsa Jewi", dan "Serat Sejarah wiwit Nabi Adam lan Babu Kawa Tumurun ing Ngarcapada".[5](p96)

Lahirnya bidadari Niken Tiksnawati sunting

Mula-mula dikisahkan pada pertemuan dewa di Kahyangan, Batara Guru mencoba untuk memegang "Retna Dumilah", mustika sakti milik Batara Narada yang dapat membuat pemakainya tidak perlu makan dan tidur, tidak basah terkena air, dan tidak terbakar oleh api. Tangan Batara Guru tidak kuat menahan Retna Dumilah sehingga mustika sakti itu terlepas dari tangan Batara Guru dan jatuh ke bumi lapis ketujuh dimana seekor naga bernama Sang Hyang Antaboga menangkap dan menelannya. Antaboga kemudian mengetahui bahawa para dewa mencari mustika yang ia telan dan muncul keinginan untuk menguji mereka. Dia letakkan mustika itu ke dalam sebuah cupu lalu ia berikan kepada Batara Guru. Batara Guru tidak mampu membuka cupu tersebut, begitu pula dengan Batara Narada dan para dewa lainnya. Akhirnya cupu tersebut dibanting oleh Batara Guru hingga hancur. Dari cupu yang hancur keluarlah Retna Dumilah yang berubah bentuk menjadi seorang bayi perempuan. Bayi itu kemudian dinamakan Niken Tiksnawati.

Terciptanya tanaman padi sunting

Setelah berumur 14 tahun, Tiksnawati menjadi bidadari yang sangat cantik. Batara Guru jatuh cinta dan mencoba mempersunting Tiksnawati. Tiksnawati memberikan tiga syarat yang harus disanggupi oleh Batara Guru untuk mempersuntingnya. Syaratnya adalah pakaian yang selamanya tidak akan usang, makanan yang sekali dimakan akan selalu mengenyangkan, dan gamelan bernama "kětopyak" atau "kethok kethopyok kepyak kethopyak", sebuah teka teki yang berasal dari suara lesung.[6](p206) Batara Guru menyanggupi dan memerintahkan anak Batara Kala yang bernama Kala Gumarang untuk mencari dan melengkapi persyaratan tersebut.

Ditengah pencarian, Kala Gumarang melihat Dewi Sri, isteri dari Dewa Wisnu, mandi di taman Banjaran Sari. Kala Gumarang terpikat dan mengejar Dewi Sri hingga turun ke bumi dan masuk ke tengah hutan. Dewa Wisnu melepaskan anak panah ke arah Kala Gumarang yang kemudian berubah menjadi akar rotan yang menjerat kaki Kala Gumarang dan membuatnya terjatuh. Dewi Sri terkejut melihat Kala Gumarang jatuh merangkak dan dari mulut Dewi Sri terucap perkataan bahawa Kala Gumarang mirip seperti babi. Seketika itu juga Kala Gumarang berubah menjadi babi hutan. Dewi Sri kemudian menitis ke dalam Dewi Darmanastiti, permaisuri Raja Makukuhan di Medang Kamulan. Sedangkan Dewa Wisnu sendiri menitis ke dalam Raja Makukuhan.

Mendengar bahawa Kala Gumarang berubah menjadi babi dan tidak dapat kembali ke Kahyangan, Batara Guru hilang kesabarannya dan memaksa Tiksnawati untuk melayaninya. Tiksnawati memberontak dan meninggal dunia. Batara Guru tertekan dan menyerahkan jasad Tiksnawati kepada Batara Narada untuk dikuburkan ke bumi di hutan Krendawahana wilayah kerajaan Medang Kamulan. Setelah dikubur, dari jasad Tiksnawati tumbuh berbagai macam tanaman.

  • Dari bahagian kepala tumbuh pohon kelapa
  • Dari bahagian kemaluan tumbuh pohon aren
  • Dari bahagian telapak tangan tumbuh tanaman pisang
  • Dari bahagian gigi tumbuh tanaman jagung
  • Dari bahagian rambut tumbuh tanaman padi
  • Dari bahagian bulu tumbuh tanaman menjalar dan tanaman dengan buah menggantung
  • Dari bahagian kaki tumbuh tanaman umbi-umbian

Tumbuh-tumbuhan tersebut kemudian dikembangbiakkan secara merata ke seluruh wilayah kerajaan. Dewi Sri kemudian keluar dari tubuh Dewi Damanastiti dan merasuk ke dalam tanaman padi.

Terciptanya hama padi sunting

Walau dalam bentuk babi hutan, Kala Gumarang terus mencari dan mengejar Dewi Sri yang sudah bersatu dengan tanaman padi. Dia datang melewati kawasan persawahan, menginjak-injak padi dan menjungkirbalikkan tanah. Dewa Wisnu yang terus memburu Kala Gumarang, melepaskan anak panahnya. Panah tersebut menembus badan Kala Gumarang dan dia pun tewas seketika. Dari darahnya yang keluar muncul segala macam hama yang membahayakan padi seperti:

  • Wereng
  • Lodhoh
  • Tubumi
  • Walang sangit
  • Walang angin
  • Pusar gawah

Kala Gumarang sendiri musnah menjadi hama padi yang disebut dengan "menthek". Kala Gumarang juga merasuk ke dalam tikus, babi, kera, kerbau hutan, banteng, serta kijang untuk membantu merusak tanaman padi. Namun semuanya dapat dikalahkan oleh Raja Makukuhan yang merupakan titisan Dewa Wisnu.

Asal mula Pasrean sunting

Disebutkan kemudian bahawa Raja Makukuhan mempunyai dua orang anak. Dari Dewi Darmanastiti mempunyai anak perempuan yang diberi nama Sri (berbeda dengan Dewi Sri isteri dari Dewa Wisnu). Sedangkan dari isteri yang kedua, yang bernama Dewi Subur, mempunyai anak laki-laki yang diberi nama Sadana. Kedua anak tersebut saling jatuh cinta dan tidak ingin menikah kecuali dengan saudaranya. Karenanya, mereka diusir dari istana. Yang pertama pergi adalah Sadana, yang disusul oleh Sri yang berusaha mencari keberadaan adiknya. Seperginya Sri dan Sadana, datanglah utusan dari Prabu Pulaswa,[7](p110) raja raksasa untuk melamar Sri. Karena Sri sudah tidak berada di istana, maka Raja Makukuhan mempersilahkan Prabu Pulaswa untuk mencari Sri sendiri. Para raksasa yang dipimpin oleh Kalandaru, raksasa yang memiliki penciuman yang sakti, menemukan keberadaan Sri di hutan dan mengejarnya. Mengetahui bahawa dia sedang dikejar para raksasa, Sri lari dan berlindung di desa Medangwangi, di dalam rumah Bawadha dan istrinya, Patani. Sri meminta kepada Patani untuk menyediakan ruang tengah sebagai kamar tidurnya. Sri juga mengajarkan kepada Patani tata cara menata ruang tengah agar mendapatkan makanan dan pakaian yang melimpah. Ruang tengah ini yang kemudian dinamakan sebagai Pasrean. Sri menetap di Medangwangi hingga para raksasa datang ke desa tersebut.

Ular sawah sebagai penjaga sunting

Setelah mengetahui bahawa para raksasa sudah mendekat, Sri meninggalkan desa Medangwangi dan melanjutkan pelariannya. Setelah melewati beberapa desa, Sri akhirnya bertemu dengan Sadana. Mereka berdua kemudian membangun desa Sri Ngawanti dan bertahan di sana dari serangan para raksasa. Sadana sendiri berhasil mengalahkan Prabu Pulaswa. Prabu Makukuhan membujuk kedua anaknya untuk kembali ke istana, tetapi ditolak oleh mereka. Atas perkataan Prabu Makukuhan yang menyamakan mereka dengan ular sawah dan burung sriti, maka kedua anaknya berubah bentuk. Sri berubah menjadi ular sawah, sedangkan Sadana menjadi burung sriti. Mereka berdua pun terpisah kembali.

Setelah menjadi ular sawah, Sri mendatangi sebuah desa.[7](p112) Di sana terdapat pasangan Kyai Wrigu dan istrinya yang mandul, Ken Sanggi. Seorang pertapa memberitahukan bahawa Ken Sanggi dapat mempunyai titisan Dewi Tiksnawati sebagai anak bila dia meminum air "yoga" dari empat sumber: Dari bumi, langit, tanaman, dan nyawa. Setelah Ken Sanggi hamil beberapa bulan, pertapa tersebut memberikan perintah agar Kyai Wrigu menangkap dan memelihara seekor ular sawah di kamar tengah dan memberikan tata cara yang sama seperti yang diminta oleh Dewi Sri di Medangwangi. Ken Sanggi pun melahirkan. Lewat mimpi, ular sawah peliharaannya memberikan nama "Raketan" kepada putrinya yang baru lahir.

Disaat yang bersamaan, Kahyangan dalam keadaan kacau dikarenakan Dewi Tiksnawati menitis ke bumi tanpa ada ijin dari Batara Guru. Batara Guru memutuskan untuk mengirim seorang dewa ke bumi untuk membunuh bayi titisan Tiksnawati. Yang pertama diutus adalah Batara Kala, turun sebagai srigala. Tetapi Sri muncul di dalam mimpi Kyai Wrigu dan memberitahukan upacara dan persembahan yang dapat melindungi sang bayi dari Batara Kala. Setelah Batara Kala gagal, Batara Guru mengutus Batara Brahma ke bumi sebagai kerbau Gumarang. Sri kembali mengajarkan kepada Kyai Wrigu cara untuk melindungi diri dari Batara Brahma. Dewa ketiga yang diutus adalah Dewa Wisnu, yang mengubah diri menjadi babi hutan. Dia pun dikalahkan dengan cara yang serupa dengan dua dewa sebelumnya. Akhirnya Batara Guru sendiri turun ke bumi bersama dengan 14 dewa dengan berbagai rupa binatang yang dipimpin oleh Batara Kala dengan wujud raja ikan. Mereka menyerang sebanyak tiga kali dalam tiga perwujudan yang masing-masing menyebabkan sawan sarap. Akan tetapi serangan tersebut sekali lagi dipatahkan oleh campur tangan Sri.

Sri menjadi dewi padi sunting

Batara Guru kembali ke Kahyangan dan mengutus para bidadari untuk membujuk Sri ikut ke Kahyangan menjadi bidadari. Utusan tersebut juga mengatakan bahawa Sadana sudah menjadi dewa setelah diruwat. Mendengar hal tersebut, Sri meminta dirinya untuk diruwat seperti itu juga. Wujud Sri sebagai ular sawah kemudian berubah menjadi Dewi Sri sebagai bidadari, bukan Sri sebagai manusia lagi.

Sebenarnya Sadana diruwat pada hari yang sama dengan Sri. Sadana yang diberitahukan bahawa Sri sudah pergi ke Kahyangan menjadi bidadari, membiarkan dirinya dibujuk oleh seorang pertapa untuk menikahi putrinya, Subadha. Subadha kemudian hamil dan Sadana menunggu anaknya lahir sebelum ia pergi ke Kahyangan.

Dewi Sri masih ingin menjaga Raketan kerana khawatir menjadi sasaran pasukan dewa kembali. Para bidadari menjelaskan bahawa Raketan diserang kerana Dewi Tiksnawati menitis ke dalam Raketan tanpa seijin Batara Guru. Dewi Sri kemudian mengomentari bahawa Batara Guru sebagai penguasa tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya, terutama untuk mengekang Dewi Tiksnawati, atau manusia akan terus memberontak. Para bidadari tidak bisa menjawab dan kembali ke Kahyangan.

Setelah beberapa lama, utusan dari Khayangan kembali menemui Dewi Sri dan memberitahukan bahawa anak-anak Batara Waliswara yang bernama Dewa Daruna dan Dewi Daruni sudah mengotori Kahyangan dengan melakukan hubungan antara kakak-adik. Dewa Daruna akan menitis ke dalam anak Subadha, sedangkan Dewi Daruni akan menitis ke dalam Raketan menggantikan Dewi Tiksnawati. Setelah dewasa, Raketan akan menikahi anak dari Subadha. Mereka akan mempunyai seorang putri yang kemudian menjadi permaisuri dari raja Wiratha. Dari merekalah yang akan menurunkan semua raja-raja Jawa.

Dewi Sri akhirnya bersedia dibawa ke Kahyangan asalkan dia mengendarai pedati merah menyala yang ditarik oleh lembu Gumarang dan diberikan cemeti ular naga Serang. Bila cemeti tersebut di pecut, maka akan mengeluarkan cairan benih yang akan menyebar ke langit dan jatuh menyuburkan bumi. Hal ini menyiratkan bahawa Dewi Sri ingin diangkat menjadi dewi pertanian. Kahyangan setuju dan Dewi Sri beserta Dewi Tiksnawati pergi menuju Kahyangan.[7](p113-116)

Dalam versi ini, Dewi Sri dikaitkan dengan ular sawah sedangkan Sadana dikaitkan dengan burung walit (sriti). Ular sawah dikaitkan dengan sang dewi dan cenderung dihormati, mungkin kerana kearifan lokal dan kesadaran ekologi purba yang memahami bahawa ular sawah memangsa tikus yang menjadi hama tanaman padi. Di banyak negara Asia lain seperti di India dan Thailand, berbagai jenis ular terutama ular sedok pun dihubungkan dengan mitos kesuburan sebagai pelindung sawah.

Lihat juga sunting

Rujukan sunting

  1. ^ Skeat, Walter William (1900). "4: The Malay Pantheon - Gods". Malay Magic. London: Macmillan and Co., Limited. m/s. 83–93 – melalui Internet Archive.
  2. ^ Early Mythology - Dewi Sri.
  3. ^ "(Indonesian) Mitos Nyi Pohaci/Sanghyang Asri/Dewi Sri". Diarkibkan daripada yang asal pada 2010-10-03. Dicapai pada 2010-10-03. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)
  4. ^ Rassers, W. H. (2014-11-14). Pañji, the Culture Hero: A Structural Study of Religion in Java (dalam bahasa Inggeris). Springer. ISBN 9789401766555.
  5. ^ Suyami, Dra (1998). Kajian Nilai Budaya Naskah Kuna Cariyos Dewi Sri. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
  6. ^ Pemberton, John (1994). On the Subject of "Java" (dalam bahasa Inggeris). Cornell University Press. ISBN 0801499631.
  7. ^ a b c Headley, Stephen (2004). Durga's Mosque: Cosmology, Conversion and Community in Central Javanese Islam (dalam bahasa Inggeris). Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 9789812302427.

Jika anda melihat rencana yang menggunakan templat {{tunas}} ini, gantikanlah ia dengan templat tunas yang lebih spesifik.