Sutan Syahrir, juga dieja sebagai Soetan Sjahrir (5 Mac 1909 –  9 April 1966) ialah seorang cendekiawan dan negarawan revolusioner Indonesia selaku Perdana Menteri Republik yang pertama tahun 1945.[1][2]

Sutan Syahrir
Dalam jawatan
14 November 1945 – 20 Jun 1947
PresidenSoekarno
Digantikan olehAmir Sjarifoeddin
Maklumat peribadi
Lahir200px
(1909-03-05)5 Mac 1909
Padang Panjang, Sumatra Barat, Hindia Timur Belanda
Mati9 April 1966(1966-04-09) (umur 57)
Zürich, Swiss
Tempat semadi200px
Parti politikParti Sosialis Indonesia
Ibu bapa Ralat ungkapan: Aksara tanda baca "[" tidak dikenali
  • 200px
Bidang pengkhususanAhli politik
TandatanganTandatangan

Beliau adalah bekas Ketua Parti Sosialis Indonesia (PSI). Beliau juga pernah mengetuai perwakilan Republik Indonesia untuk Perundingan Linggarjati. Namun, beliau ditahan atas kedudukanya mengancam Sukarno; beliau meninggal dunia di Zürich, Switzerland semasa mendapatkan rawatan dalam buangan.[2]

Awal hidup

sunting

Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Mac 1909[3][4] Beliau anak sulung dua adik beradik dalam suatu keluarga Minangkabau hasil perkahwinan Puti Siti Rabiah dan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih; ayahnya Mohammad Rasad menjawat sebagai penasehat sultan Deli dan ketua hakim atau "kepala jaksa" (landraad) di Medan. Syahrir juga mempunyai seorang adik iaitu Soetan Sjahsam, seorang makelar saham pribumi paling berpengalaman di masanya.[5] Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kuddus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Keluarga mereka mendiami Koto Gadang di Agam.[6]

Pendidikan

sunting
 
Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)

Syahrir berpeluang mendapat persekolahan terbaik hasil pendapatan keluarga mereka; beliau memasuki sekolah dasa dan sekolah menengah terbaik di Medan di mana beliau banyak didedahkan kepada banyak bacaan tinggi termasuk buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Pada sebelah malamnya pula beliau bekerja sambilan di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu Eropah.

Pada 1926, beliau melanjutkan pelajarannya memasuki sekolah lanjutan asas di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang beliau dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.

Di kalangan siswa sekolah menengah Bandung, Syahrir menjadi seorang bintang. Syahrir bukanlah jrnis siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah. Beliau aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.

Penggiatan politik

sunting

Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politik. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927, Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.

Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi kerana didapati membaca akhbar yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; akhbar yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.

Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh beliau berkutat dengan teori-teori sosialisme. Beliau akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar. (Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam Boediardjo).

Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari teman-teman radikal berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif – saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi sitaan dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Beliau dan Hatta rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.

"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan," katanya.

Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Jun 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar beliau praktikkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh. Beliau memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Beliau juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Ogos 1932, segera pula beliau memimpin PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justeru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup sebanding dengan organisasi Barat. Meskipun PNI tidak menggunakan kaedah pemaksaan, mereka lama-kelamaan mendidik kader-kader pergerakan yang berkesannya siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.

Kerana takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Masa pendudukan Jepun

sunting

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerjasama dengan Jepun, Syahrir membangun jaringan gerakan anti-fasis dengan keyakinan bahawa Jepun tak mungkin memenangkan perang, oleh kerana itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.

Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:

Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepun makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak boleh menangkap berita luar negeri kerana disegel oleh Jepun. Berita-berita tersebut kemudian beliau sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepun.

Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Ogos kerana Jepun sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepun, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepun yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepun. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.

Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko menyebabkan kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepun lalu kemerdekaan Indonesia dianggap hasil buatan Jepun. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Ogos. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Ogos.

Zaman Revolusi

sunting

Revolusi menciptakan persekitaran amarah dan ketakutan, kerana itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategik meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepun, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.

Pada masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia Kedua. Perjuangan Kita muncul menyentak kesedaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justeru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan kerana itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.

Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan."

Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Penculikan

sunting

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Jun 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda kerana sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%) yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura. Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan bersama dengan Panglima besar Jendral sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras.

Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Julai 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Pada hari berikutnya, tentara Divisi 3 pimpinan Mayor Jendral Soedarsono menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan kesemua 14 orang diculik. Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini kerana dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig).

Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan kesemua bekas tebusan di markas resimen tentara di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto memujuk Mayjen Soedarsono dan para pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta. Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.

Tanggal 3 Julai 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Julai 1946 yang gagal.

Diplomasi Syahrir

sunting
 
Perangko Sutan Syahrir 15 Rupiah edisi tahun 1969

Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.

Tanpa Syahrir, Soekarno boleh terbakar dalam lautan api yang telah beliau nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahawa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa. Syahrir mengakui bahawa Soekarnolah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Kerana agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar tenaga itu tak meluap dan justeru merosak. Sebagaimana hujahan Bung Hatta bahawa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang menggoncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.

Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), beliau mengubah kabinet Indonesia yang sebelumnya berpresiden menjadi sistem berparlimen yang bertanggungjawab kepada KNIP sebagai lembaga yang mempunyai fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia Kedua, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.

Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahawa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia Kedua. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahawa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll. Kerana itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia Kedua. Mematahkan propaganda itu, Syahrir memulakan penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dikhabarkan oleh para wartawan luar negeri.

Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Disember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Kerana geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab boleh berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kem-kem tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.

Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.

Urusan di Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu

sunting

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Julai 1947. Aksi Belanda tersebut justeru menghantarkan Indonesia ke sidang Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu. Setelah tidak lagi menjawat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York sambil singgah di New Delhi dan Kaherah untuk menggalang dukungan India dan Mesir.

Pada 14 Ogos 1947, Syahrir berpidato di muka sidang Majlis Keselamatan PBB menghadap para wakil bangsa sedunia mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Majlis Keselamatan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.

Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Majlis Keselamatan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat. Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.[7]

Partai Sosialis Indonesia

sunting

Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun beliau menentang sistem kenegaraan Kesatuan Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia.

Akhir hidup

sunting

Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958[8], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960.

Pada tahun 1962 Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili. Ketika dalam tahanan ini Syahrir didapati menderita angin ahmar lalu diizinkan untuk mendapatkan rawatan di Zürich, Switzerland. Beliau berangkat ke sana pada 1965 ditemani Sugondo Djojopuspito, salah seorang kawan dekat yang pernah menjawat wakil ketua PSI mengantarkannya di Bandara Kemayoran.

Sjahrir meninggal dunia di Zurich pada tanggal 9 April 1966 ketika berusia 57 tahun. Jenazahnya dibawa kembali ke Indonesia di mana beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

  1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
  2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
  3. Perjuangan Kita, tahun 1945
  4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938). (Versi digital dan dbnl)
  5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin)
  6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
  7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
  8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953)
  9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
  10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
  11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas)

Jawatan

sunting
  1. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia
  2. Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)
  3. Ketua delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Linggarjati
  4. Duta Umum Republik Indonesia

Rujukan

sunting

Bacaan lanjut

sunting
  • Legge, J.D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993.
  • Lampau dan Datang. Pidato Mohammad Hatta pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, 1956.
  • Mangunwijaya, Y.B. Dilema Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Prisma, Ogos 1977.
  • Mengenang Sjahrir, disunting oleh H. Rosihan Anwar. Jakarta, Gramedia, 1980.
  • Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Pautan luar

sunting

Templat:Wikiquote-id