Jeanne d'Arc (6 Januari 1412 - 30 Mei 1431, nama bahasa Inggeris: Joan of Arc) atau nama lamanya Jehanne D'arc adalah seorang pahlawan negara Perancis dan merupakan seorang santa dalam agama Kristian Katolik. Di Perancis dia digelar Jeanne la Pucelle yang bererti Jeanne "si dara" atau "si perawan".

Jeanne d'Arc

Beliau berasal dari sebuah keluarga petani yanghidup semasa berlakunya Perang Seratus Tahun, sebuah perang antara England dan Perancis. Pada kala itu, England menduduki Normandie, sebuah daerah di utara Perancis. Sekitar 1424, Jeanne mula mendapat visi mengenai Malaikat Mikail serta Santa Catherine dan Santa Margaret, yang menyuruhnya mengusir tentera Inggeris. Dia kemudian berusaha menghadap putera raja Charles VII di Chinon. Baginda menghantar beliau menyertai Pengepungan Orléans ketika beliau masih berusia 17 tahun sambil berkelengkapan seumpama kesateria lelaki dan menyertai misi bantuan ke Orléans. Dia berjaya mempengaruhi sekurang-kurangnya moral tentera Perancis sehingga berjaya mematahkan pengepungan itu pada Mei 1429, menukar gelombang peperangan beralih kepada tentera Perancis.

Pada Mei 1430, dalam satu peperangan kecil di Compiègne, sekutu tentera Inggeris, puak Burgundy berjaya menangkapnya[1] dan dia dibicarakan antara lain kerana dituduh menyeleweng dan memakai pakaian lelaki. Lalu dia dihukum mati dengan dibakar hidup-hidup,[2] dan abunya dibuang di Sungai Seine. 25 tahun selepas itu, suatu mahkamah penyiasatan yang diberi kuasa oleh Paus Callixtus III memeriksa perbicaraan tersebut mendapati beliau tidak bersalah; beliau diampunkan secara rasminya malah diisytiharkannya sebagai martir.[3] Jeanne dibeatifikasi pada 1909 dan dikanonkan pihak Paus pada 1920.

Riwayat hidup sunting

Masa kecil sunting

 
Tempat kelahiran Jeanne d'Arc yang sekarang dijadikan museum. Bangunan di sebelah kanan, di belakang pepohonan adalah gereja desa.

Jeanne dilahirkan di Domrémy pada tahun 1412 dari Jacques d'Arc dan Isabelle Romée[4]. Orang tuanya adalah petani yang memiliki lahan sekitar 50 hektare. Ayahnya juga menduduki jabatan kecil di pemerintah daerah setempat dan bertugas mengumpulkan pajak serta mengepalai keamanan kota[5]. Keluarga mereka tinggal pada suatu daerah terisolasi di wilayah timur laut yang tetap setia pada Perancis walaupun dikelilingi oleh daerah kekuasaan Burgundi. Beberapa penyerangan terjadi pada masa kecil Jeanne, di mana pada salah satu serangan, desanya dibakar.

Jeanne mengaku bahawa beliau mendapatkan pencerahan (vision) pertamanya sekitar 1424. Menurutnya, St. Michael, St. Catherine, dan St. Margaret menyuruhnya mengusir balatentera Inggeris dan membawa sang dauphin ke Reims untuk diangkat menjadi raja[6]. Pada umur enam belas tahun (1428), beliau meminta salah seorang keluarganya, Durand Lassois, untuk membawanya ke Vaucouleurs. Beliau meminta komandan garnisun setempat, Count Robert de Baudricourt, untuk izin mengunjungi balairong agung Perancis di Chinon. Jawaban sarkastik Baudricourt tidak menciutkan niatnya[7]. Beliau kembali lagi pada bulan Januari dan berhasil mendapat dukungan dua orang: Jean de Metz dan Bertrand de Poulegny[8]. Dengan dukungan mereka, beliau berhasil memperoleh kesempatan kedua untuk bicara di mana beliau berhasil membuat ramalan mengenai kekalahan di Pertempuran Herrings di dekat Orléans[9].

Awal kejayaan sunting

 
Jeanne d'Arc pada manuskrip tahun 1505. Dia memilih untuk membawa benderanya (standard) ke medan pertempuran.

Baudricourt mengabulkan permintaan Jeanne untuk menemaninya mengunjungi Chinon setelah mendapat kabar bahawa ramalan yang dibuat Jeanne terbukti tepat. Jeanne menggunakan pakaian laki-laki sewaktu melakukan perjalanan berbahaya melalui wilayah Burgundi. Setelah tiba di balairung agung, beliau berhasil meyakinkan Charles VII setelah melalui pembicaraan pribadi. Charles lalu memerintahkan pemeriksaan latar belakang dan teologis terhadap Jeanne di Poitier untuk memverifikasi moralitasnya. Selama proses tersebut, ibu mertua Charles, Yolande dari Aragon, mendanai ekspedisi penyelamatan terhadap Orléans. Jeanne meminta izin untuk berangkat bersama tentara dan mengenakan peralatan seorang ksatria (knight). Karena beliau tak memiliki dana, Jeanne tergantung pada donasi untuk pengadaan baju zirah, kuda, pedang, pataka (banner), dan pengiringnya. Sejarawan Stephen W. Richey menjelaskan bahawa dia adalah satu-satunya harapan bagi rezim yang hampir runtuh.

"Setelah bertahun-tahun memperoleh kekalahan demi kekalahan, pemimpin militer dan sipil Perancis mengalami demoralisasi dan dipermalukan. Sewaktu Charles mengabulkan permintaan mendesak Jeanne untuk melengkapi persenjataannya dan menjadikannya sebagai pemimpin pasukan, keputusannya pasti didasarkan terutama oleh kenyataan bahawa semua kemungkinan ortodoks dan rasional telah dicoba dan mengalami kegagalan. Hanya suatu rezim yang berada pada ambang keputusasaan-lah yang bersedia membiayai seorang gadis petani buta huruf yang mengaku mendengar suara Tuhan serta memerintahkannya untuk memegang kendali pasukan negaranya dan membawa kemenangan."[10]

Jeanne d'Arc tiba di lokasi pengepungan Orléans pada 29 April 1429. Jean d'Orléans (dikenal sebagai Dunois), kepala keluarga bangsawan Orléans, pada awalnya tidak melibatkan Jeanne dalam dewan perang dan tidak memberitahukannya jika pasukan menyerang musuh. Jeanne mengatasi hal ini dengan mengabaikan keputusan para komandan veteran dan turut serta dalam setiap penyerangan, dimana beliau menempatkan dirinya pada garis depan dengan membawa patakanya. Pengaruh kepemimpinan militernya yang sebenarnya merupakan bahan perdebatan sejarah. Saksi mata melaporkan bahawa beliau sering kali memberikan usulan yang cerdas dalam medan pertempuran, tetapi pasukan dan komandannya menghargainya terutama karena menganggap kemenangannya merupakan persembahan bagi Tuhan. Sejarawan tradisional, seperti Edouard Perroy, berpendapat bahawa Jeanne sebenarnya hanyalah pembawa bendera biasa yang pengaruh utamanya adalah sebagai pembangkit semangat. Analisis ini terutama bersumber pada pengakuan pengadilan, di mana Jeanne d'Arc menyatakan bahawa beliau lebih memilih pataka dibandingkan pedangnya. Sejarawan modern, yang lebih terfokus pada pengadilan rehabilitasinya, lebih cenderung menyatakan bahawa para koleganya menghargainya sebagai perancang taktik dan stategi yang mahir. Stephen W. Richey menyatakan bahawa "Beliau berhasil memimpin pasukan melalui rangkaian kemenangan yang luar biasa yang membalikkan keadaan peperangan."[10] Walaupun ada dua pendapat tersebut, sejarawan setuju bahawa pasukan Perancis berhasil mencapai kesuksesan di bawah kepemimpinannya.

Kepemimpinan sunting

 
Jeanne d’Arc oleh pematung Victor Nicolas (model plester, 1947).
 
Katedral Reims, tempat tradisional penobatan raja Perancis.

Jeanne d'Arc tidak menuruti strategi hati-hati yang sebelumnya menjadi ciri khas kepemimpinan pasukan Perancis. Sebaliknya, beliau menerapkan penyerangan frontal terhadap benteng pertahanan musuh. Setelah beberapa pos pertahanan tersebut jatuh, pihak Inggris memfokuskan sisa pasukan mereka pada benteng dari batu (stone fortress) yang menjaga jembatan les Tourelles. Pada 7 Mei 1429, Perancis menyerang jembatan ini. Sejarawan modern mengakui kepahlawanan Jeanne dalam pertempuran ini, di mana pada suatu saat beliau harus menarik keluar anak panah yang menancap di bahunya, dan dengan lukanya tetap kembali untuk memimpin penyerangan terakhir.

Kemenangan di Orléans ini membawa banyak kemungkinan aksi penyerangan. Pihak Inggris menduga bahawa Perancis akan mencuba untuk merebut Paris atau menyerang Normandia; Dunois mengakui bahawa sebenarnya itulah rencana awal mereka, sampai Jeanne berhasil meyakinkan mereka untuk sebaliknya menuju Reims. Sebagai hasil dari kemenangan yang tak disangka tersebut, Jeanne mendesak Charles VII untuk memberikan kekuasaan sebagai komandan pasukan, bersama dengan Duke John II dari Alençon, serta mendapat izin untuk menjalankan rencananya merebut jembatan-jembatan sepanjan sungai Loire sebagai upaya pendahuluan menuju Reims dan penobatan (koronasi). Rencana ini merupakan suatu rencana yang berani, mengingat Reims dua kali lebih jauh dibandingkan Paris, dan berada jauh di dalam wilayah musuh.

Pasukan Perancis merebut Jargeau pada 12 Juni, Meung-sur-Loire pada 15 Juni, lalu Beaugency pada 17 Juni 1429. John II menyetujui semua keputusan Jeanne. Para komandan lain, termasuk Jean d'Orléans, telah terpesona pada kemampuan Jeanne di Orléans, dan menjadi pendukungnya. Alençon berhutang budi pada Jeanne karena menyelamatkan nyawanya di Jargeau, di mana Jeanne memperingatkannya akan bahaya serangan artileri. Pada pertempuran yang sama, Jeanne berhasil menahan lemparan batu yang menimpa pelindung kepalanya (helmet) sewaktu beliau menaiki tangga penyerangan (scaling ladder). Bala bantuan Inggris tiba di wilayah tersebut pada 18 Juni di bawah komando Sir John Fastolf. Pertempuran di Patay mungkin dapat dianggap sebagai kebalikan pertempuran Agincourt: Pasukan perintis (vanguard) Perancis menyerbu sebelum pasukan panah Inggris dapat menyiapkan pertahanan mereka. Timbul kekacauan yang menghancurkan pasukan utama Inggris dan menyebabkan sebagian besar komandannya terbunuh. Fastolf lolos dengan serombongan kecil pasukan dan dijadikan kambing hitam atas kekalahan Inggris ini. Di pihak lain, Perancis hanya menderita sedikit kerugian dari pertempuran ini.

Pasukan Perancis berangkat menuju Reims dari Gien-sur-Loire pada 29 Juni dan menerima status netral kota Auxerre yang dikuasai Burgundi melalui negosiasi pada 3 Juli. Semua kota sepanjang jalan menuju Reims menyerah tanpa syarat kepada pasukan Perancis. Troyes, tempat disepakatinya perjanjian yang berupaya menyingkirkan Charles VII, takluk setelah pengepungan empat hari, nyaris tanpa adanya pertumpahan darah.

Pasukan Perancis menderita krisis persediaan makanan pada saat mencapai Troyes. Edward Lucie-Smith mengutip bahawa hal ini merupakan contoh nyata bahawa Jeanne lebih tepat disebut "diberkati" daripada dikatakan memiliki kemampuan. Seorang pendeta pengelana bernama Brother Richard telah berkhotbah akan datangnya akhir dunia di Troyes dan meyakinkan penduduk setempat untuk menanam kacang-kacangan (bean) yang memiliki masa panen pendek. Pasukan Jeanne tiba tepat saat panen tiba.

Reims membuka pintu gerbangnya pada 16 Juli, dan penobatan diadakan besok paginya, 17 Juli 1429. Walaupun Joan dan Duke Alençon mendesak untuk bergegas menyerang Paris, balairung agung memutuskan negosiasi gencatan senjata dengan Duke Burgundi. Terbukti kemudian Burgundi hanya menggunakan ini sebagai taktik penguluran waktu untuk mempersiapkan pertahanan Paris. Pasukan Perancis bergerak maju melalui kota-kota di dekat Paris dan menerima penyerahan damai dari kota-kota tersebut. Duke Bedford memimpin pasukan Inggris dalam perlawanan terhadap serangan Perancis pada tanggal 15 Agustus. Serangan Perancis terhadap Paris terjadi pada tanggal 8 September, di mana Jeanne, walaupun menderita luka panah di kakinya, meneruskan memimpin pasukannya hingga akhir hari. Pagi berikutnya, beliau menerima perintah kerajaan untuk mundur. Banyak sejarawan menyalahkan grand chamberlain Georges de la Trémoille untuk kesalahan besar ini.

Penangkapan dan pengadilan sunting

 
Bangunan di mana Jeanne ditahan di Rouen sewaktu pengadilan berlangsung yang kemudian dikenal sebagai menara Jeanne d'Arc.

Setelah pertempuran kecil di La-Charité-sur-Loire pada bulan November dan Desember, Jeanne bertolak ke Lagny-sur-Marne pada bulan Maret, dan ke Compiègne pada 23 Mei 1430 untuk bertahan terhadap pengepungan pihak Inggris dan Burgundi. Pertempuran pada hari itu telah menyebabkan tertangkapnya Jeanne d'Arc. Sewaktu memerintahkan untuk mundur, sebagai kode kehormatan, beliau bertahan sebagai orang terakhir yang meninggalkan pertempuran. Pihak Burgundi mengepung para pelindungnya.

Adalah suatu kebiasaan bagi keluarga tawanan perang untuk mengumpulkan uang tebusan jika diizinkan. Sayangnya, pihak Burgundi tidak mengizinkan tebusan untuk Jeanne. Banyak sejarawan yang menyalahkan Charles VII karena tidak mengupayakan hal tersebut. Jeanne beberapa kali mencuba untuk lari dari tahanan. Duke Philip dari Burgundi akhirnya menyerahkan Jeanne ke pemerintah Inggris. Bishop Pierre Cauchon dari Beauvais, seorang partisan Inggris dan anggota dewan yang mengawasi pendudukan Inggris di utara Perancis, memiliki peranan penting pada negosiasi ini dan juga pada pengadilan Jeanne.

Pengadilan Jeanne atas tuduhan bidah berbau politis. Duke dari Bedford mengklaim tahta Perancis bagi keponakannya, Henry VI. Jeanne dianggap bertanggung jawab atas penobatan rivalnya. Menyalahkan Jeanne adalah suatu upaya untuk menjatuhkan rajanya. Proses hukum dilangsungkan pada 9 Januari 1431 di Rouen, di wilayah pendudukan Inggris. Proses ini dianggap memiliki beberapa aspek yang tak lazim.

 
Gambaran penyoalsiasatan terhadap Jeanne. (lukisan oleh Gillot Saint-Èvre, Louvre, Paris, 1835)

Untuk menyimpulkan beberapa masalah utama, Bishop Cauchon tidak memiliki yurisdiksi untuk bertindak sebagai hakim pada pengadilan tersebut. Penunjukannya lebih disebabkan karena dukungannya terhadap pemerintah Inggris yang membiayai keseluruhan proses pengadilan. Walaupun pihak penuntut, Nicolas Bailly tidak bisa mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan terhadap Jeanne, pengadilan tetap dilangsungkan.

Catatan pengadilan membuktikan intelektualitas Jeanne. Transkrip dialog yang terjadi mencerminkan hal tersebut. "Sewaktu ditanya apakah beliau tahu bahawa beliau berada dalam lindungan Tuhan (God's grace), beliau menjawab: 'Jika tidak, semoga Tuhan menempatkan saya di sana; dan jika iya, semoga Tuhan tetap melindungi saya.'" Pertanyaan ini adalah jebakan. Doktrin gereja mengatakan bahawa tidak ada seorangpun yang bisa yakin bahawa beliau berada dalam lindungan Tuhan. Jika Jeanne menjawab iya, maka beliau akan dituduh melakukan bidah. Jika tidak, maka beliau mengakui kesalahannya. Boisguillaume belakangan bersaksi bahawa pada saat pengadilan mendengar jawaban ini, "Mereka yang menginterogasinya menjadi takjub" dan langsung menunda interogasi pada hari itu. Dialog ini menjadi terkenal dan digunakan pada banyak karya modern mengenai subyek ini.

Beberapa pejabat pengadilan belakangan bersaksi bahawa banyak bagian transkrip yang diubah untuk menjatuhkan Jeanne. Terjadi penekanan terhadap para petugas pengadilan, termasuk interogator, Jean LeMaitre. Beberapa orang bahkan sempat diancam akan dibunuh oleh pihak Inggris. Dalam pedoman interogasi, seharusnya Jeanne ditahan dalam penjara eklesiastik (agama) dalam pengawasan penjaga perempuan (yaitu biarawati). Sebaliknya pihak Inggris menahannya di penjara sekuler (umum) yang dijaga oleh prajurit Inggris sendiri. Bishop Cauchon menolak permintaan banding Jeanne kepada Dewan Basel dan Paus, yang seharusnya akan dapat menghentikan proses pengadilan tersebut.

Dua belas tuduhan yang menyimpulkan temuan pengadilan bertolak belakang dengan isi catatan pengadilan. Jeanne yang buta huruf terpaksa menandatangani dokumen abjuration yang tidak beliau mengerti dengan ancaman eksekusi langsung jika tidak menyetujuinya. Dalam catatan resmi, dokumen itu diganti oleh dokumen lain oleh pengadilan.

Tuntutan atas penampilan tak pantas sunting

Bidah bisa dihukum mati jika dilakukan berulang kali, sehingga pengadilan kemudian mengajukan tuntutan atas penggunaan pakaian laki-laki oleh perempuan (cross dressing). Masalahnya, saat di ruang sidang Jeanne setuju untuk menggunakan pakaian perempuan, sehingga menimbulkan masalah saat penuntutan.

Beberapa hari kemudian, menurut pengakuan Jeanne, beliau mendapatkan percubaan perkosaan oleh seorang bangsawan Inggris di dalam penjara. Beliau kemudian mengenakan kembali pakaian laki-laki sebagai perlindungan terhadap pelecehan seksual dan juga, menurut kesaksian Jean Massieu, karena pakaiannya telah dicuri dan beliau tidak memiliki apa-apa untuk dikenakan. Pakaian militer yang digunakan laki-laki pada saat itu memungkinkan menghalangi pemerkosa dengan mudah membuka pakaian korbannya, berbeda dengan pakaian perempuan yang mudah dibuka paksa.

Penggunaan pakaian laki-laki oleh perempuan sebenarnya bisa dibenarkan oleh ajaran Katolik atas alasan mendesak, salah satunya melindungi diri dari perkosaan. Beliau juga boleh saja menggunakan pakaian perang laki-laki untuk melindungi diri dalam pertempuran, walaupun membuatnya tampak menjadi kesatria laki-laki. Rambut pendeknya juga dipermasalahkan, yang kemudian mendapat pembelaan dari pendukungnya, misalnya ahli teologi Jean Gerson, bahawa hal tersebut hanya untuk kepraktisan.

Namun bagaimanapun tuntutan mengada-ada ini tetap diteruskan sehingga diputuskan beliau melakukan bidah berulang dan pantas dihukum mati. Saat pengadilan tahun 1431, keputusan atasnya dijatuhkan. Sejarahwan Beverly Boyd menulis bahawa pengadilannya begitu tidak adil sehingga transkrip sidang sampai dipakai untuk bukti kanonisasinya pada abad 20.

Eksekusi sunting

Saksi mata menggambarkan suasana eksekusi pada 30 Mei 1431. Terikat pada tiang tinggi, beliau meminta dua petugas, Martin Ladvenu dan Isambart de la Pierre untuk memegang salib di belakangnya. Seorang prajurit Inggris juga membuatkan salib kayu untuk ditempatkan di dadanya.

Beliau berulangkali berkata "dengan suara keras menyebut nama Yesus dan memohon dan berdoa tanpa henti untuk bantuan orang suci dari surga." Setelah meninggal, orang-orang Inggris membongkar arang dan menunjukkan tubuhnya yang telah hangus hingga memastikan bahawa tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim bahawa beliau selamat dari hukuman, lalu membakar ulang tubuhnya hingga menjadi abu dan mencegah pengumpulan relik. Mereka membuang abu tersebut ke sungai Seine. Belakangan, algojo Geoffroy Therage menyatakan bahawa beliau "... sangat takut dikutuk karena beliau telah membakar wanita suci."

Pengadilan ulang sunting

Pengadilan ulang diadakan setelah perang berakhir. Paus Kallixtus III mengesahkan proses ini, yang sekarang dikenal sebagai "pengadilan rehabilitasi", atas permintaan Inquisitor-General Jean Brehal dan ibunda Jeanne, Isabelle Romée. Penyelidikan dimulai dengan pemeriksaan terhadap Guillaume Bouille. Brehal melakukan penyelidikan pada tahun 1452. Permohonan banding resmi diajukan pada November 1455. Proses ini melibatkan banyak pihak dari seantero Eropa dan mengikuti prosedur standar pengadilan. Panel ahli teologi menganalisis kesaksian dari 115 saksi mata. Brehal menyampaikan simpulan akhirnya pada Juni 1456, yang menggambarkan Jeanne sebagai seorang martir dan menuduh almarhum Pierre Cauchon dengan bidah karena telah menjatuhkan hukuman kepada perempuan yang tak berdosa demi balas dendam sekuler. Pengadilan memutuskan Jeanne tak bersalah pada 7 Juli 1456.

Pengaruh sunting

 
Reruntuhan kastil di Chinon di mana Jeanne bertemu Charles VII. Satu-satunya menara yang utuh sekarang digunakan sebagai museum bagi Jeanne d'Arc.

Perang Seratus Tahun berlanjut selama 22 tahun sejak kematian Jeanne. Charles VII berhasil mempertahankan legitimasinya sebagai raja Perancis walaupun pada Desember 1431 Henry VI dinobatkan juga pada ulang tahunnya yang ke sepuluh. Sebelum Inggris dapat membangun kembali militernya yang hancur pada tahun 1429, negeri itu kehilangan persekutuannya dengan Burgundi pada Perjanjian Arras pada tahun 1435. Duke dari Bedford wafat pada tahun yang sama sehingga menjadikan Henry VI raja termuda Inggris yang memerintah tanpa wali (regent). Perjanjian tersebut dan lemahnya kepemimpinan Henry VI mungkin merupakan faktor terpenting yang mengakhiri konflik. Kelly DeVries mengungkapkan argumentasi bahawa penggunaan artileri dan penyerangan frontal yang dilakukan Jeanne d'Arc memengaruhi taktik Perancis selama sisa perang.

 
Tanda tangan Jeanne.

Sumber utama informasi mengenai Jeanne adalah melalui catatan-catatan terpisah. Lima manuskrip asli dari pengadilannya ditemukan sekitar abad ke-19. Tak lama setelah itu, sejarawan juga menemukan catatan lengkap pengadilan rehabilitasinya, yang mengandung kesaksian di bawah sumpah dari 115 saksi berikut juga catatan asli dalam bahasa Perancis, terjemahan dari transkrip pengadilan awalnya. Berbagai surat juga berhasil ditemukan, tiga di antaranya mengandung tanda tangan "Jehanne" yang kelihatannya dibuat oleh tangan orang yang belajar menulis. Melimpahnya ketersediaan naskah sumber pertama yang tak lazim ini merupakan salah satu alasan DeVries mengatakan, "Tidak ada seorang pun dari Abad Pertengahan, baik laki-laki atau perempuan, yang menjadi subyek penelitian melebihi Jeanne d'Arc."

Beliau datang dari desa terpencil dan menjadi terkenal sewaktu beliau baru saja melepas masa kanak-kanaknya dan beliau melakukan itu dengan status sebagai golongan petani yang tak berpendidikan. Raja-raja Perancis dan Inggris membuat pembenaran terhadap perang yang terjadi melalui perang interpretasi terhadap hukum Salic yang telah berumur ribuan tahun. Konflik yang terjadi adalah sengketa waris antara kedua monarki. Jeanne memberikan arti pada ketulusan, sehingga Jean de Metz berucap, "Haruskah raja diusir dari kerajaan; dan kita menjadi orang Inggris?" Meminjam kata-kata Stephen Richey, "Beliau mengubah apa yang tadinya hanyalah sengketa antar dinasti yang membuat rakyat jelata tak tergerak, kecuali untuk kesengsaraan mereka sendiri, menjadi suatu perjuangan populer yang penuh semangat demi pembebasan negeri." Richey juga menggambarkan:

"Orang-orang yang yang datang lima abad setelah kematiannya berupaya untuk memberi segala macam cap pada dirinya: pengikut iblis, penyihir, boneka kekuasaan yang lugu dan tragis, pencipta dan simbol nasionalisme modern, pahlawan yang dicintai, orang suci. Beliau bersiteguh, bahkan sewaktu diancam dengan siksaan dan dihadapkan pada kematian dengan dibakar, bahawa beliau dibimbing oleh suara Tuhan. Benar atau tidak, apa yang dicapainya telah membuat siapapun yang mengetahui kisahnya akan menggelengkan kepala dengan penuh kekaguman."

Jeanne menjadi simbol Liga Katolik pada abad ke-16. Félix Dupanloup, uskup Orléans dari 1849 sampai 1878, memimpin suatu upaya yang berujung pada beatifikasi Jeanne pada 1909. Kanonisasi terhadap dirinya dilakukan pada 16 Mei 1920. Beliau menjadi salah satu santa paling populer di gereja Katolik Roma.

Jeanne d'Arc bukanlan feminis. Beliau bertindak dalam lingkup tradisi keagamaan yang mempercayai bahawa orang terpilih dari strata sosial manapun dapat memperoleh panggilan rohani. Beliau mengusir perempuan dari tentara Perancis dan mungkin saja telah memukul seorang pengikut yang keras kepala dengan pedang. Walaupun demikian, beberapa penolong utama terhadapnya berasal dari perempuan. Ibu mertua Charles VII, Yolande dari Aragon, mengkonfirmasikan keperawanan Jeanne dan membiayai keberangkatannya ke Orléans. Joan dari Luxemburg, bibi dari Count dari Luxemburg yang menahan Jeanne di Compiègne, memperbaiki kondisi penahanannya dan kemungkinan telah menunda penjualannya ke Inggris. Terakhir, Anne dari Burgundi, istri dari wali Inggris, menyatakan bahawa Jeanne adalah seorang perawan sewaktu sidang pendahuluannya. Secara teknis, hal ini menghalangi pengadilan untuk menuduh Jeanne sebagai penyihir. Hal ini sedikit banyak kemudian juga menjadi dasar bagi pembersihan nama dan pengangkatan Jeanne menjadi santa. Kaum perempuan melihat Jeanne sebagai contoh positif perempuan yang keberanian dan keaktifan perempuan.

 
Bendera pemerintahan Charles de Gaulle dalam pengasingan selama Perang Dunia II. Salib dari Lorraine digunakan sebagai Referensi simbolis kepada Jeanne d'Arc.

Jeanne d'Arc telah menjadi simbol politis di Perancis sejak zaman Napoleon. Kaum liberal menekankan pada asal keturunannya yang sederhana. Kaum konservatif awal menekankan pada dukungannya terhadap monarki. Kaum konservatif belakangan mengenang nasionalismenya. Selama Perang Dunia II, baik Vichy Regime maupun French Resistance menggunakan simbol dirinya: Vichy melakukan propaganda mengenang perjuangannya melawan Inggris dengan poster yang menunjukkan pesawat tempur Inggris membom Rouen dan tulisan "Mereka Selalu Kembali ke Tempat Mereka Melakukan Kejahatan." Kaum perlawanan menekankan penjuangannya melawan pendudukan asing dan daerah asalnya di Provinsi Lorraine, yang telah jatuh dalam kekuasaan Nazi.

Katolik tradisional, terutama di Perancis, juga menggunakannya sebagai sumber inspirasi, sering membandingkan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap uskup agung Marcel Lefebvre (pendiri Society of St. Pius X dan penentang reformasi Vatikan II) dengan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap Jeanne. Tiga kapal milik angkatan laut Perancis telah diberi nama dari namanya, termasuk satu helikopter pengangkut yang saat ini masih aktif bertugas. Saat ini, partai politik kontroversial Perancis, Front National, mengadakan pawai di patungnya, menggunakan figurnya dalam publikasi partai, serta menggunakan api triwarna, yang sebagian menyimbolkan pengorbanan Jeanne, sebagai lambang partai. Libur nasional Perancis untuk penghormatan dirinya diadakan pada hari Minggu kedua di bulan Mei.

Nota sunting

  1. ^ Le Procès de Jeanne d'Arc, in Série "Les grands procès de l'histoire", Ministère de la Justice (France), 6 Julai 2012: http://www.justice.gouv.fr/histoire-et-patrimoine-10050/proces-historiques-10411/le-proces-de-jeanne-darc-24376.html
  2. ^ Régine Pernoud, "Joan of Arc By Herself And Her Witnesses", m/s. 228
  3. ^ Andrew Ward (2005) title di Pangkalan Data Filem Internet (IMDb)
  4. ^ "Pengadilan pengutukan (condemnation trial), hal. 37". Diarkibkan daripada yang asal pada 2006-09-13. Dicapai pada 2020-01-10.
  5. ^ Pernoud dan Clin, hal. 221.
  6. ^ Pengadilan pengutukan], hal. 58 - 59. [1] Diarkibkan 2006-09-13 di Wayback Machine
  7. ^ DeVries, hal. 37–40.
  8. ^ Kesaksian Jean de Metz pada pengadilan penghapusan (nullification)
  9. ^ Oliphant, bab 2
  10. ^ a b Richey, "Joan of Arc: A Military Appreciation"

Pautan luar sunting