Jerenang adalah sejenis resin yang dihasilkan dari beberapa spesies rotan dari genus Daemonorops. Resin berwarna merah ini telah sejak lama diperdagangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan pewarna, membuat setanggi, dan bahan ubat tradisional. Terutama dihasilkan dari Sumatera dan Kalimantan, sebutannya dalam berbagai daerah di antaranya adalah jernang, jerenang, jeranang, jeronang, dan lain-lain.[1] Dalam pada itu, juga diperoleh di luar Indonesia dari tetumbuhan lain selain rotan jerenang; dari Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan.[2][3]

Jerenang Daemonorops draco parut halus (kiri) dan resin beku (kanan)
Rotan jerenang Daemonorops draco, pelat botani dari Kohler (1897)

Pengertian sunting

Jerenang diperoleh dari lapisan lilin (resin) yang melindungi buah-buah muda dari beberapa spesies rotan Daemonorops. Jenis-jenis rotan penghasil jerenang itu di antaranya:[4][5]

  • Daemonorops didymophylla Becc.
  • Daemonorops draco Blume
  • Daemonorops draconcellus Becc.
  • Daemonorops mattanensis Becc.
  • Daemonorops micracanthus Becc.
  • Daemonorops micranthus Becc.
  • Daemonorops motleyi Becc.
  • Daemonorops propinquus Becc.
  • Daemonorops rubra (Reinw. ex Blume) Mart.
  • Daemonorops sabut Becc.

dan juga,

Sifat-sifat sunting

Jerenang merupakan resin beku yang keras dan padat, merah, dengan struktur amorf, larut dalam alkohol, minyak lemak dan minyak esensial. BJnya antara 1,18-1,20, dengan bilangan asam yang rendah dan bilangan ester sekitar 140; titik didihnya 120°C.[4]

Komponen kimia utama jerenang adalah resin ester dan dracoresinotannol. Ia mengandung dracoresen, dracoalban, resin tak terlarut, residu, asam benzoat, asam benzoilasetat.[6] Juga dracohodin, dan beberapa jenis pigmen seperti nordracorhodin dan nordracorubin.[4][7]

Pemanfaatan dan produksi sunting

Jerenang secara tradisional dimanfaatkan sebagai bahan ubat. Di samping itu, jerenang dimanfaatkan sebagai pigmen dan sapang dari dulu hingga sekarang; meskipun sekarang tidak lagi sebanyak dulu pemanfaatannya. Beberapa barang seni dan tukangan masih menggunakan pewarna ini, misalnya untuk mengemaskan muka biola yang siap ditukang.[2]

Ekspor terbesar jerenang adalah dari Indonesia; yang rata-rata mengeksport lebih dari 50 tan setahun di antara 1988-93, dengan puncaknya sebanyak 90 tqn pada tahun 1991. Data penggunaan dalam negeri Indonesia tidak diketahui, sehingga tidak diketahui pula perkiraan produksi selurruuh dari tahun ke tahun.[2]

Rujukan sunting

  1. ^ Heyne, K. 1922. De Nuttige Planten van Nederlandsch-Indië tevens synthetische catalogus der verzamelingen van het Museum voor Economische Botanie te Buitenzorg. d. I: 354. Batavia: Ruygrok.
  2. ^ a b c Coppen, J.J.W. 1995. Gums, resins and latexes of plant origin. In: Non-Wood Forest Products (FAO), no. 6 Diarkibkan 2013-08-31 di Wayback Machine. Forest Products Div., FAO, Rome (Italy). 141 p.
  3. ^ Pearson, J. 2002. Dragons Blood. The Horticulturist, 11(2) Spring 2002: 10-12 Diarkibkan 2012-10-12 di Wayback Machine.
  4. ^ a b c MoF. 2007. Guideline on Harvesting and Extraction Techniques of Dragon BloodTemplat:Pranala mati. Development of Sustainable Rattan Production and Utilization through Participation of Rattan Smallholders and Industry in Indonesia (Project). Ministry of Forestry, Republic of Indonesia, Jakarta.
  5. ^ Dransfield, J. & N. Manokaran (Editors). Rattans. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 6: 108. Bogor: Prosea Foundation.
  6. ^ Grieve, M. 2006. Dragon's Blood. Botanical.com: A modern herbal. Diakses 06/V/2013
  7. ^ Gupta, D., B. Bleakley, & R.K. Gupta. 2008. Dragon’s blood: Botany, chemistry and therapeutic uses. J. Ethnopharmacology 115 (2008): 361–380Templat:Pranala mati