Nafiri
Rencana ini tidak memetik apa-apa sumber atau rujukan. |
Nafiri (Jawi: نفيري ) merupakan alat muzik tradisional dalam kalangan masyarakat Melayu semenanjung Malaysia dan Sumatera dan Riau di Indonesia. Ia mempunyai bentuk badan yang panjang dengan hujung mulutnya yang mengembang hampir mirip trompet.
Ia digunakan bersama alat-alat muzik lain seperti kompang, gendang, gong dan sebagainya untuk pelbagai tujuan seperti mengiringi pertunjukan tradisi (misalnya: makyong), adat resam malah juga sebagai alat komunikasi umum untuk memberitahukan tentang adanya bencana atau berita tentang pengebumian.
Sejarah
suntingAsal usul alat-musik tersebut belum begitu jelas. Ada suatu pendapat bahwa alat musik ini berasal dari India karena mirip dengan alat musik untuk memainkan ular, lalu muasalnya dapat diketahui daripada pemerkenalan alat ini oleh para pedagang yang singgah di Melaka menyeberangi selat Melaka. Selain itu ada juga pendapat bahwa alat ini berasal dari daerah Timur Tengah karena adanya kemiripan nama yaitu naifr.
Dari kesultanan Melakalah asas alat ini mula dikembangkan dan kemudiannya tersebar ke kawasan sejauh kepulauan Riau; sejak dahulu kepulauan sudah ditempati oleh orang-orang Melayu pada masa kerajaan Sriwijaya. Pergaulan yang terjadi antara masyarakat Melayu dengan suku bangsa Padang, Jawa, Minangkabau, Bugis, Banjar dan Batak sehingga budaya-budaya sesama suku ini saling mempengaruhi budaya yang saling didedahkan, termasuklah alat muzik.
Pembuatan
suntingSepotong kayu yang telah dikerat menurut ukuran yang dikehendaki (berukuran kira-kira dari 25 sampai 45 sentimeter) sambil pangkalnya ditoreh besar sehingga bentuknya mirip dengan telur yang sudah dipotong bahagian hujungnya untuk membolehkan alat ini menghasilkan bunyi dengan kelantangan lebih besar.. Kemudian diberi bebatang, proses tersebut yang disebut dengan balan atau bakal nafiri. Balan tersebut diperhalus dengan menggunakan pisau raut dan digesek untuk dihaluskan dengan daun trap atau kelopak bunga sukon yang hanya ditemukan di daerah Sumatera.
Badan batang ni dilubangi dengan menggunakan gerudi kecil dan pahat meronggakan dalaman badan sehingga tebal kulitnya kurang lebih setengah centimeter. Pada batang nafiri dibuat lubang-lubang jari dengan menggunakan besi yang dipanaskan. Lubang-lubang tersebut ditebuk kira-kira sebesar biji jagung untuk mengatur tinggi rendahnya nada.
Hujung balan nafiri dipasangkan dengan bahagian mulutnya menggunakan batas yang terbuat dari tempurung kelapa. Hujung mulut nafiri pula doipasangkan "lidah" terbelah dua diperbuat dari daun kelapa yang muda atau ruas bambu yang sudah kering; lidah ini bertindak seakan rid yang menggetar lalu mengeluarkan suara atau bunyi-bunyian. Musik yang dikeluarkan terdengar seperti meronta-ronta daripada melodi yang jelas untuk didengar.
Tatamain
suntingNafiri lazim ditiup hanya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang bahagian bawah badan ia.
Pemain nafiri dipilih berdasarkan kebolehan menahan pernafasan pada masa yang panjang dan lama serta sihat badannya, mereka turut dibantu teknik khusus yang membolehkan peniupan nafiri berterusan tanpa putus - lazimnya selama dua atau tiga jam. Cara memainkan dan membuat Nafiri diturunkan secara terus menerus dari generasi ke generasi oleh masyarakat Melayu Riau.
Kegunaan
suntingSebagai alat muzik umum
suntingPemainan alat ini sering dilakukan mengiringi seberapa tarian tradisional tertentu seperti tari Inai, tari Jinugroho dan tari Olang. Ia turut menjadi alat musik yang utama di dalam musik robat yang merupakan musik yang dimainkan di lingkungan masyarakat Riau. Tambahan lagi, irama yang dialunkan turut dimanfaatkan dalam pergerakan silat untuk menentukan pergerakan lincah sesama lawan dalam pertunjukan seni ini. Alat ini turut digunakan sebagai penanda spiritual untuk memanggil dewa, roh, atau arwah nenek moyang.
Pada zaman kerajaan dulu, nafiri digunakan sebagai alat untuk menyatakan peperangan terhadap kerajaan lain. Selain itu juga, nafiri digunakan untuk memberitakan tentang kematian raja, diangkatnya raja. Alat ini juga digunakan untuk mengumpulkan rakyat, agar mereka segera datang ke alun-alun istana untuk mendengarkan berita atau pengumuman dari rakyat mereka. Oleh karena itu, alat ini dijadikan sebagai barang pusaka kerajaan.
Sebagai alat kebesaran
suntingPada zaman kerajaan-kerajaan, nafiri merupakan salah satu alat yang penting untuk digunakan pada acara penobatan raja selain sebagai alat musik di istana. Pada kerajaan melayu dulu alat pusaka Nobat seperti nafiri, gendang, sirih esar, dan cogan merupakan lambang negara atau yang biasa disebut dengan regelia kerajaan yang dijadikan sebagai kekuatan spiritual dan kehormatan kerajaan bersama dengan adat istiadat. Tanpa adanya alat-alat tersebut penobatan seorang raja tidak dapat disahkan.
Ada kepercayaan pada zaman dahulu jika kedua kekuatan spiritual tersebut rusak, maka akan hancur dan runtuhlah harkat dan harga diri bangsa tersebut. Bagi kerajaan-kerajaan Melayu di rantau itu, sebuah kerajaan boleh saja ditaklukan, direbut, dan dikuasai oleh pihak lain sambil raja atau sultannya bisa saja terusir dan melarikan diri ke negara atau daerah lain mencari perlindungan. Namun, jika alat kebesaran kerajaan yang dianggap sakti dan keramat tidak dirampas mahupun direbut malah masih dipegang oleh rajanya, maka kedaulatan negeri itu masih tegak dengan sultannya yanis bisa mendirikan kerajaan di mana saja, dan dijadikan raja di mana saja.
Atas kepentingan inilah sesiapapun yang memegang dan diberi tugas menjaga alat kebesaran itu dianggap kuat dan perkasa jauh di atas kekuasaan lain, termasuk sultannya sendiri. Biasanya orang tersebut merupakan penasihat raja.
Mengikut kawasan
suntingSemenanjung Melayu
Alat ini lazim dilihat pada nobat diraja yang wujud di sesetengah negeri di Semenanjung Melayu (dalam kawasan Malaysia) untuk mengiringi lagu-lagu daerah dan juga upacara adat.
Di Kedah nafiri bersama dengan alat-alat musik nobat lainnya disimpan di dalam sebuah tempat yang bernama Balai Nobat. Balai Nobat sendiri merupakan bangunan yang khas dengan seni bina Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kubah di atasnya. Bangunan ini telah seringkali direnovasi terutama pada zaman pemerintahan Sultan kedah yang ke-25 iaitu Sultan Ahmad Tajuddin Mukarram Shah yang telah menduduki takhta mulai tahun 1854 hingga 1879.
Kepulauan Riau
Semasa rantau kepulauan ini masih dikuasai banyak sultan dan raja, nafiri digunakan bersama beberapa alat-alat lain bagi memainkan lagu iringan raja yang sedang bertakhta, sebagai penanda diangkatnya seseorang sebagai bangsawan, mahupun dalam pupcara besar tertentu (misalnya Majelis Perapatan Adat Melayu) Saat ini fungsi nafiri menjadi lebih berkurang karena hanya digunakan pada acara-acara kerajaan atau perayaan-perayaan yang dilakukan oleh masyarakat melayu.
Menurut kepercayaan orang Riau, para pemain alat musik ini dikatakan akan dirasuki oleh para dewa, mambang dan peri lalu jasad-jasad para pemain dikatakan akan diperlihatkan seolah-olah mereka menyampaikan pesan akan terjadinya bahaya atau kejadian penting lainnya. Oleh kerana itu, nafiri yang bakal dimainkan perlu dipusung terlebih dahulu - yakni diasapi di atas pedupaan
Rujukan
sunting- Hermawan. Agus. Budaya dan Adat Istiadat Riau. 1987. Jakarta: Resist Book
- Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara. Profil Provinsi Repubik Indonesia: Riau. 1992. Jakarta: Yayasan Bhakti Nusantara